"Presidential Threshold" dan Peran DPD dalam Percaturan Politik Nasional

Nicolas
Nicolas
Diperbarui 10 Juli 2022 16:51 WIB
Jakarta, MI - Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan 14 Februari 2024 sebagai tanggal pelaksanaan Pemilu 2024. Menjelang Pemilu tersebut dinamika politik di kalangan politisi terlihat jelas memanas. Pembicaraan soal aturan pemilu dan pencalonan presiden tidak hanya terdengar di kalangan para politisi dan anggota DPR yang merupakan perwakilan partai politik di parlemen, tapi juga di antara para anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). berbagai diskusi dalam bentuk Focus Group Discussion (FGD) pun digelar untuk memecahkan berbagai persoalan terkait aturan Pemilu dan Pilpres 2024. Sebagai catatan, parlemen Indonesia yang diwujudkan dalam Majelis Permusyawaran Rakyat (MPR), terdiri dari 575 anggota DPR dan 136 anggota DPD. Dengan jumlah 711 orang, mereka merupakan kekuatan penentu dalam setiap regulasi maupun perhelatan politik, termasuk Pemilu 2024. Persoalan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) terus menjadi persoalan. Kendati demikian, persoalan klasik selalu muncul pada setiap perhelatan lima tahunan tersebut. Apalagi kalau bukan masalah perundang-undangan terkait pemilu. Terkait pemilihan presiden, Pasal 222 UU Pemilu menyatakan “Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada pemilu legislatif sebelumnya. Dalam konteks ini tentu yang dimaksud kursi adalah anggota DPR yang jumlahnya 575 atau kursi yang ada di DPR dengan porsi masing-masing sesuai perolehan suara pada Pemilu 2019. Tidak dapat dibantah, pengajuan calon presiden dan wakil presiden yang hanya dapat dilakukan melalui partai politik atau gabungan partai politik telah membatasi hak asasi warga negara untuk ikut serta secara perseorangan dalam kontestasi pemilihan presiden dan calon wakil presiden. Isu itu tidak hanya menjadi perbincangan berkaitan dengan kontestasi politik, tapi juga menjadi pembahasan dalam setiap perdebatan hukum menyangkut hak asasi manusia. Padahal, dengan pemilihan pemimpin nasional, negara harus dapat melindungi, menghormati, dan memfasilitasi hak-hak yang dimiliki oleh warga negara. Hak itu termasuk untuk mendapat kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Karena itulah, mengacu pada instrumen hak asasi manusia yang diakui secara internasional, negara wajib menghormati, melindungi, dan memfasilitasi hak asasi manusia setiap individu untuk mengajukan diri sebagai calon presiden dan calon wakil presiden. Atas dasar itu pula maka negara harus dapat memberikan ruang bagi calon presiden dan calon wakil presiden yang tidak diusung oleh partai politik alias calon perseorangan. Artinya, hak para anggota DPD yang notabene merupakan para senator, tidak bisa diabaikan begitu saja untuk menentukan calon pemimpin nasional pada Pemilu 2024. Dengan demikian, nilai-nilai demokrasi dalam ajang pemilihan presiden tidak dapat didegradasi atau dibagi habis melalui jalur partai politik. Apalagi dengan adanya presidential threshold atau syarat ambang batas pencalonan presiden yang dinilai sebagian kalangan lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Pasalnya, ambang batas itu telah mengamputasi hak politik warga yang seharusnya dijamin oleh negara. Presidential threshold sendiri tidak lain adalah merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang merupakan buah dari amendemen UUD 1945. Karena itu amendemen konstitusi dari tahun 1999 sampai 2002 menjadi dasar lahirnya undang-undang yang membuat Indonesia memiliki wajah politik seperti hari ini, tidak seperti yang diperjuangkan para pendiri bangsa yang mendasarkan pemilu pada azas musyawarah untuk mufakat sebagaimana tercantum pada sila keempat Pancasila. Persoalan lain juga muncul. Ambang batas presiden juga telah membuat kemungkinan terbentuknya lebih dari tiga pasangan capres-cawapres atau lebih mengecil. Padahal, dengan lebih dari 270 juta penduduk, apa yang salah kalau calon presiden bisa mencapai lebih dari empat atau lima pasangan agar keterwakilan politik warga juga lebih tinggi mengingat tingginya keragaman etnis, agama, golongan maupun budaya bangsa. Bukan hanya itu, bahkan persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR, atau 25% dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya, sebenarnya tidak relevan lagi dengan syarat pencalonan presiden pada Pemilu 2024. Alasannya, karena pemilihan umum tersebut dilaksanakan secara serentak antara pemilu legislatif dan pemilu eksekutif atau pemilihan presiden. Artinya, tiket yang digunakan oleh partai politik untuk memenuhi syarat guna mengusung para calon presiden pada dasarnya sudah kedaluwarsa dan tidak lagi mewakili aspirasi saat pemilihan presiden dilaksanakan. Pragmatisme Partai Politik Pada sisi lain, UU Pemilu juga telah memunculkan "permainan politik tidak sehat" akibat kuatnya sikap pragmatis dari partai politik peserta pemilu. Ada partai politik yang telah mendulang dukungan suara dan memilih berada di luar pemerintahan, kemudian setelah kalah dalam pemilu dengan enteng menjual kepercayaan pemilih di tengah jalan dengan memindahkan dukungan yang diperoleh ke pemerintah yang berkuasa. Bahkan belum ditemukan literaturnya di dunia politik modern di mana kontestasi politik yang terpolarisasi seperti pada 2019, tiba-tiba salah satu kubu bergabung ke dalam satu kabinet pemerintahan dengan mengabaikan aspirasi rakyat pemilih. Padahal kedua kubu memiliki platform politik, ekonomi, dan program sosial yang berbeda meski tetap memiliki irisannya. Hal menarik lainnya yang perlu disoroti adalah bahwa, meskipun di atas kertas didalilkan aturan pemilu bisa memunculkan tiga hingga empat pasang calon, tetapi tidak begitu dalam praktiknya. Buktinya, dalam dua pemilu terdahulu hanya muncul dua pasang calon akibat presidential threshold tersebut. Malah dua kali pemilihan presiden diwarnai oleh polarisasi pemilih yang menonjolkan politik identitas. Tentu pada Pemilu 2024 bisa saja kondisi lain terjadi. Dengan posisi parpol pendukung pemerintah yang sudah mendominasi 82 persen kursi di parlemen, setelah Partai Gerindra dan Partai Amanat Nasional (PAN) bergabung ke partai pendukung pemerintah, akan sulit diharapkan Indonesia akan menikmati permainan demokrasi yang sehat dengan banyak pilihan calon presiden. Peran Politik DPD Sebagai salah satu pilar demokrasi, DPD secara kelembagaan maupun personal seharusnya memainkan peran sentralnya sebagai wakil daerah. Daerah yang identik dengan kerajaan kerajaan Nusantara, selalu memegang peran sentral sejak negara ini dibentuk pada 1945 sebelum para politisi menyusun bentuk negara. Bagaimanapun juga, kepemimpinan nasional akan menentukan kemajuan satu daerah dan sebaliknya kemajuan daerah akan menentukan kepemimpinan nasional. Akan tetapi, peran anggota DPD di bidang politik sebagai perwakilan daerah sekaligus pemilik sah republik ini masih belum optimal kalau tidak mau disebut telah dikebiri. Dalam konteks inilah anggota DPD seharusnya terus menggugat presidential threshold tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK), terlepas dari menang atau kalah nantinya akibat kuatnya tarikan politik karena hal itu menyangkut masalah kekuasaan. Memang sejumlah gugatan telah dilakukan oleh sejumlah anggota DPD kepada MK, terutama terkait ambang batas pencalonan presiden dan calon perseorangan, namun hingga kini gugatan itu belum membuahkan hasil. Kalau Undang-undang Pemilu tetap dipertahankan maka akibat yang terjadi adalah bagi-bagi kekuasaan dan DPR menjadi legitimator kebijakan pemerintah. Inilah persoalan yang sebenarnya ada di hulu, bukan di hilir. Apalagi DPR memegang peran sentral dalam setiap pemilihan pimpinan lembaga negara, termasuk untuk pemilihan para anggota dan pimpinan MK. Dengan demikian, tidak ada jaminan tidak ada unsur kepentingan politk dalam hal itu, sesuatu yang tentunya tidak bisa dilakukan oleh DPD. Maka dari itu, yang dibutuhkan Indonesia adalah merevisi Undang-Undang Pemilu. Alasannya, kerjanya lebih mudah dan yang perlu diubah cukup pasal-pasalnya soal ambang batas tersebut. Mengapa cukup di langkah revisi? Karena ada kekhawatiran sejumlah pihak mengingat tidak ada yang menjamin amendemen tidak akan merusak sistem presidensil yang dianut Indonesia saat ini. Judicial Review Apalagi kuatnya tarikan politik dari pihak yang berkepentingan seperti dari partai politik dan anggota DPR yang menikmati aturan tersebut. Buktinya, sejumlah pihak sudah pernah mencoba mengajukan revisi UU Pemilu ke MK, akan tetapi barikade dari MK terlalu kuat dan gugatannya malah ditolak meski telah melalui kajian akademik segala. Padahal, banyak pengamat menilai presidential threshold Indonesia yang 20% itu paling tinggi di dunia. Bahkan ada beberapa negara yang tak memiliki ambang batas sama sekali. Seharusnya barikade itu bisa ditembus oleh DPD. Tapi DPD tidak bisa sendiri, harus dengan bantuan warga daerah yang diwakilinya. Bisa juga melalui gerakan mahasiswa atau organisasi masyarakat. Terakhir. Tidak ada alasan bahwa tidak ada urgensinya merevisi UU Pemilu. Alasan bahwa jika partai kecil mengajukan capres, atau calon presiden perseorangan maju maka mereka akan kalah dengan partai besar, sangat tidak masuk akal. Justru dengan banyaknya pesaing dari capres yang diusung partai kecil atau perseorangan, bahkan dari DPD sendiri, maka partai besar akan terdorong untuk mencalonkan kandidat terbaiknya. Dengan demikian akan terjadi kontestasi politik yang sehat. Indonesia membutuhkan sebuah kontestasi pimpinan nasional yang menghargai hak asasi manusia dan hak berpolitik yang tidak bersifat feodalistik maupun oligarkis. Lebih dari itu, Indonesia membutuhkan kontestasi politik nasional yang tidak bersifat pragmatis melalui "perdagangan tiket capres", apalagi yang suduh kedaluwarsa. DPR juga tidak boleh mengunci atau mengebiri hak politik DPD sebagai lembaga maupun perseorangan.[JO]