Bisakah Utusan Golongan Masuk Kembali ke MPR?

John Oktaveri
John Oktaveri
Diperbarui 27 Oktober 2022 16:46 WIB
Jakarta, MI - Ketua MPR Bambang Soesatyo mengatakan gagasan menghadirkan kembali kedudukan Utusan Golongan di lembaga tinggi negara itu harus mampu menjawab, mengoreksi, dan menjadi antitesis dari berbagai faktor yang melatarbelakangi dihapuskannya keberadaan elemen perwakilan rakyat tersebut. Bambang Soesatyo, yang akrab disapa Bamsoet, mengakui akhir-akhir ini wacana untuk menghadirkan kembali Utusan Daerah muncul kembali sebagai bentuk demokrasi yang menjunjung tinggi aspirasi rakyat. Karena itu, dia mengatakan pihaknya siap menyerap aspirasi dari berbagai kelompok masyarakat terhadap isu dan wacana apapun seputar konstitusi. "Termasuk wacana menghidupkan kembali Utusan Golongan dalam keanggotaan MPR yang pernah disuarakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, serta Majelis Tinggi Agama Konghucu (MATAKIN), dan berbagai kelompok masyarakat lainnya," ujarnya. Bambsoet mengatakan bahwa penyerapan aspirasi tersebut merupakan bagian dari tugas dan fungsi MPR RI sebagai 'rumah kebangsaan' sekaligus 'penjelmaan rakyat' yang harus mampu mewadahi berbagai arus pemikiran. Karena itu Bamsoet mengatakan bahwa MPR melalui Forum Aspirasi Konstitusi yang dipimpin Anggota MPR dari unsur Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Jimly Asshiddiqie yang juga merupakan pakar hukum tata negara juga siap menerima aspirasi itu dalam konteks menyikapi dinamika pemikiran kebangsaan sebagai bagian dari proses pendewasaan dan pematangan kehidupan demokrasi. "Dalam konteks ke-Indonesiaan, praktik kehidupan demokrasi dijiwai oleh sila keempat Pancasila yang mengamanatkan penegakan kedaulatan rakyat, serta melembagakannya dalam mekanisme permusyawaratan/perwakilan," ujarnya dalam diskusi bertajuk "Urgensi Utusan Golongan di MPR" yang diselenggarakan Institut Ekonomi Politik Soekarno-Hatta, di Jakarta, Kamis (27/10). Bamsoet menambahkan bahwa kedaulatan rakyat dalam lembaga perwakilan, idealnya dapat dimanifestasikan melalui beberapa jalur representasi. Antara lain representasi politik yang sudah terwadahi dalam DPR RI, representasi kedaerahan yang sudah terwadahi dalam DPD, serta representasi golongan/kelompok fungsional yang bisa terwadahi dalam utusan golongan," ujar Bamsoet. "Pembentukan Utusan Golongan dalam lembaga perwakilan, sejatinya adalah amanat yang telah diwariskan sejak cita-cita awal kemerdekaan. Kehadiran Utusan Golongan secara prinsipil mengakomodir karakteristik rakyat Indonesia yang sangat plural dan heterogen dalam segenap aspeknya," ujarnya. Dalam konteks kekinian, keberadaan Utusan Golongan dapat dipandang sebagai bagian dari ikhtiar untuk memenuhi keadilan peran politik secara menyeluruh, sekaligus dapat menjadi penyeimbang peran dari keterwakilan politik yang dipegang DPR dan keterwakilan daerah yang berada di tangan DPD," katanya. Dia menerangkan bahwa ada tiga hal yang menjadi latar belakang penghapusan utusan golongan pasca reformasi. Pertama, adanya pandangan bahwa pelaksanaan demokrasi langsung yang dimanifestasikan oleh pemilihan secara langsung dianggap lebih demokratis, sehingga keberadaan Utusan Golongan melalui penunjukan dianggap tidak sesuai. Kedua, adanya pandangan perlunya penyederhanaan sistem perwakilan, di mana hanya ada satu badan perwakilan tingkat pusat yang mewakili dua unsur representasi, yaitu representasi politik (DPR) dan representasi daerah (DPD). Sedangkan representasi golongan dapat diwakili dan disalurkan melalui lembaga perwakilan yang sudah ada, khususnya DPD, katanya. "Ketiga, dalam praktiknya, penunjukan Utusan Golongan oleh presiden dinilai cenderung mewakili kepentingan rezim pemerintahan yang mengangkatnya sebagaimana terjadi di masa lalu, dan bukan kepentingan rakyat atau golongan yang diwakilinya," ujar Bamsoet menjelaskan.

Topik:

MPR DPR DPD