Bentrokan Warga-Aparat di Pulau Rempang, Puan Maharani Ingatkan Nilai Kemanusiaan Tidak Dikesampingkan

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 10 September 2023 00:07 WIB
Jakarta, MI - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Puan Maharani menyayangkan bentrokan warga masyarakat dengan aparat keamanan di Pulau Rempang, Batam, Kepri. Bentrokan itu dipicu oleh penolakan masyarakat adat Pulau Rempang atas Pembangunan kawasan industri di lahan pulau seluas 17 ribu hektare. Proyek yang dilabeli dengan proyek strategis nasional untuk membangun kawasan industri, perdagangan, dan wisata itu merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) pada 2023 itu sebagai Rempang Eco City. Puan mengingatkan agar jangan sampai pelaksanaan tugas pengamanan mengesampingkan nilai kemanusiaan. Terutama dalam menghadapi masyarakat. Maka ia meminta aparat lebih humanis dan persuasif. "Apabila ada tindakan pidana, silakan diproses secara hukum. Tapi bukan berarti langkah represif aparat dibenarkan. Apalagi penggunaan gas air mata memiliki efek yang membahayakan bagi kesehatan, khususnya terhadap anak-anak,” ujar Puan kepada wartawan dikutip pada Sabtu (9/9). Lebih lanjut, politikus PDI Perjuangan ini berharap persoalan ini dapat menemukan jalan terbaik untuk semua, baik untuk masyarakat dan pelaksanaan pembangunan Rempang Eco City itu sendiri. "Kami di DPR akan berkomitmen mencari solusi atas permasalahan ini. Mari kita cari jalan keluar terbaik, yang tidak merugikan masyarakat. Kita upayakan secara persuasif,” ungkap Puan. Diketahui, bahwa pembangunan Rempang sebagai PSN 2023 tertuang dalam Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional dengan nilai investasi yang ditaksir mencapai Rp 381 triliun hingga tahun 2080. Puan pun berharap pembangunan tersebut dapat memberi dampak terhadap pertumbuhan ekonomi bagi Kota Batam serta kabupaten atau kota lain di Provinsi Kepulauan Riau. Namun, Pemerintah dan pihak terkait lainnya didorong untuk mengedepankan dialog dan konsultasi yang inklusif dengan masyarakat yang terdampak. "Ini harus melibatkan rasa karena warga sudah lama tinggal di sana. Dengarkan kegelisahan dan kekhawatiran mereka. Serta apa kebutuhan warga sebagai upaya mencari jalan keluar dari kebuntuan. Saat masyarakat merasa didengar, biasanya mereka akan merasa lebih terbuka,” tegas Puan. Masyarakat adat Pulau Rempang yang bertempat tinggal di 16 kampung tua menolak relokasi pembangunan Eco City. Warga menilai kampung mereka memiliki nilai historis dan budaya yang kuat, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Puan menyebut, diperlukan pendekatan yang berbeda saat menghadapi masyarakat adat dengan mengedepankan unsur persuasi. "Berikan masyarakat edukasi dan informasi tentang keuntungan adanya proyek strategis nasional. Ini akan membantu mereka dalam membuat keputusan yang tepat dan merasa lebih termotivasi untuk mendukung proses pembangunan di wilayah mereka," tutupnya. Kronologi Kejadian bermula ketika beredar kabar di antara warga Rempang pada Rabu (6/9) bahwa Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) beserta pihak berwenang akan memaksa masuk ke Rempang untuk melakukan pengukuran. Berdasarkan kabar tersebut, pada Kamis (7/9) pagi warga berkumpul di Jembatan 4 Barelang. Sekitar pukul 09:51 WIB, warga melihat ratusan aparat gabungan yang terdiri dari Satpol PP, Polisi, TNI, dan Ditpam Batam membentuk barisan di depan jembatan. Aparat gabungan kemudian bergerak ke arah warga yang berdiri di ujung jembatan. Kapolresta Balerang Kombes Pol Nugroho dengan pengeras suara meminta warga untuk mundur. “Kami imbau kepada warga jangan melawan petugas, karena itu melanggar hukum, sekarang dorong maju jalan," kata Nugroho. Ketika aparat mulai merangsek masuk ke kampung, terjadi lemparan batu dari arah warga. Aparat membalasnya dengan menyiramkan air dan menembakkan gas air mata. Gas air mata dilaporkan masuk ke kawasan sekolah, yaitu SMP 33 Galang dan SD 24 Galang. "Ketika di sekolah, warga dan guru meminta tidak ada penembakan gas air mata karena ada anak SD. Tiba-tiba asap gas air mata sudah sampai di atap sekolah," kata Bobi, salah seorang warga yang menyaksikan kejadian itu. Para guru dan murid di sekolah lari terbirit-birit ke luar sekolah, beberapa dari mereka lari ke atas bukit. Warga lainnya, Rohimah, mengatakan ada 11 siswa yang dilarikan ke rumah sakit. (An)