Honorer Diisi Keluarga Kepala Daerah dan Timses, Siapa Tutup Mata?

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 14 September 2023 16:45 WIB
Jakarta, MI - Pengamat politik, Fernando Emas, menyoroti tenaga honorer di lingkungan pemerintah daerah (Pemda) banyak diisi oleh tim sukses (timses) atau keluarga kepala daerah. "Adanya temuan yang disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian terkait tenaga honorer di lingkungan pemerintah daerah (Pemda) yang banyak diisi oleh tim sukses (timses) atau keluarga kepala daerah perlu segera dilakukan penataan ulang dan dibuatkan regulasi perekrutan honorer," ujar Fernando kepada Monitorindonesia.com, Kamis (14/9). Direktur Rumah Politik Indonesia ini begitu ia disapa, menyatakan bahwa honorer salah satu posisi untuk mengakomodir para relawan dan keluarga sehingga memboroskan anggaran belanja daerah, namun tidak memikiki tugas dan fungsi yang jelas. [caption id="attachment_555555" align="alignnone" width="1599"] Pengamat Politik, Fernando Emas (Foto: MI/Aswan)[/caption] Maka dari itu, tegas dia, Kemendagri harus membuat aturan untuk memperketat seleksi pengangkatan honorer di daerah. Sehingga, tegas dia, Kepala Daerah tidak sembarangan melakukan pengangkatan tenaga honorer hanya untuk mengakomodir timses dan keluarga. "Saya yakin persoalan tersebut sudah terjadi sejak pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung sehingga dapat dikatakan Kemendagri seolah "tutup mata" atas pengangkatan timses dan keluarga menjadi tenaga honorer hanya untuk kepentingan balas jasa," pungkasnya. Kata Mendagri Tito Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian tidak mempermasalahkan keberadaan tenaga honorer spesialis seperti tenaga kesehatan, perawat, dan guru yang memiliki peran khusus dalam sistem. Ia hanya merasa, bahwa pegawai honorer bagian administrasi yang memiliki latar belakang sebagai timses atau keluarga kepala daerah ini, seringkali tidak memiliki pekerjaan yang jelas atau keterampilan yang relevan. Tito mencatat bahwa jumlah tenaga honorer ini terus bertambah saat diadakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), dan kepala daerah di wilayah tersebut diganti. Hal ini menyebabkan, banyak orang baru yang memiliki latar belakang sebagai timses atau anggota keluarga sendiri, masuk ke dalam sistem administrasi daerah. “Dikasih kerjaan, jam 8 masuk, tidak punya keahlian, jam 10 sudah ngopi-ngopi, sudah hilang,” ungkap mantan Kapolri ini. Mengenai dampak dari banyaknya tenaga honorer, Tito menunjukkan bahwa hal ini menjadi salah satu metode yang digunakan kepala daerah, untuk meningkatkan anggaran belanja pegawai. Padahal, banyak daerah di Indonesia bergantung pada dana yang diterima dari pemerintah pusat, karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) mereka terbatas, hanya sekitar 2 hingga 3 persen dari total anggaran. Adapun pihaknya mengalokasikan sekitar 67 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk belanja operasional, sementara 90 persen sumber keuangan Pemda berasal dari pemerintah pusat. Namun, sebagian besar dari dana ini digunakan untuk belanja pegawai, termasuk gaji dan tunjangan. (An)