Banteng Merah Tersandera

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 24 Oktober 2023 07:48 WIB
Pengamat politik muda Magister UNAS Didin Alkindi (Foto: MI/Aswan)
Pengamat politik muda Magister UNAS Didin Alkindi (Foto: MI/Aswan)

Jakarta, MI - Politik nasional ahir-ahir ini akan menjadi catatan sejarah yang begitu menyeramkan untuk dipahami. Dibalik desain stratak para pemimpin negara seakan-akan tergambarkan kita berada dalam sistem monarki raja di atas raja dan rakyat pada ahirnya jadi penonton terbaik.

Bagaimana tidak, Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai penjaga konstutisi diobrak-abrik oleh tangan-tangan tak terlihat, dimulai dari pembangunan konstruksi hukum yang secara cepat dan mendadak hingga pada putusan syarat capres-cawapres yang tiba-tiba disahkan atas dasar gugatan yang di lakukan oleh seorang mahasiswa Solo, pada Senin (16/10).

"Sebuah lingkaran yang cukup rumit untuk diprediksi, bagaiamana kemungkinan-kemungkinan yang mustahil terjadi itu bisa terjadi dengan pola yang tak terbaca dan waktu yang begitu cepat," kata Pengamat politik muda, Magister Universitas Nasional (UNAS), Didin Alkindi, Senin (23/10).

Di awali dari gerakan simpatisan Pro Jokowi (Projo) yang berpindah dukungan secara tiba-tiba, perseteruan supremasi hukum di Mahkama Konstitusi, hingga berpuncak pada pengusungan anak sulung dari anak presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka disandingkan dengan rival politiknya yang terkalahkan dua kali dalam pertarungan pada pemilihan presiden (Pilpres) Prabowo Subianto.

"Akibatnya, "jargon pengkhiatan" demi pengkhianatan tersumatkan dalam redaksi-redaksi para korban pemberi harapan palsu, sehingga  politik yang sehat tidak lagi memiliki ruang untuk berkembang dalam kebangsaan kita," lanjutnya.

"Saya melihat bahwa gerakan presiden ini sedang mencoba memasuki ruang-ruang kekuasaan yang tidak pernah dijejaki oleh siapapun hingga berakibat pada perubahan demokrasi yang tidak beridiologi lagi," sambungya.

Para kelompok penekan dari kalangan kiri mulai bermunculan di depan istana dengan lantunan tuntutan yang menggema dibalik pembatas singgasana kepresidenan, menuntut bahwa keadilan perlu ditegakan dan kebatilan harus dilenyapkan.

"Tetapi misi abuse of power tetap tak terhentikan, karena perlu ada tindakan penyelamatan generasi "si papa" untuk tidak lagi terdikotomi oleh kelompok tertentu".

"Pemegang political sistem kini tidak lagi menjadi petugas partai yang bisa dikendalikan oleh ''si tuan putri" sebagai pemegang kendali dalam partai, tetapi justru membangun kongsi baru yang begitu besar untuk merebut kemenangan satu putaran dalam pemilu 14 Februari 2024 nanti," ungkap Didin sapaannya.

Didin melihat bahwa tindakan seorang presiden hari ini menggambarkan sebuah ketidakpuasan dirinya terhadap tindakan dari seorang ketua partai yang selalu menganggap bahwa, seorang presiden dua periode tidak mempunyai kekuatan apapun tanpa ada partai pengusungnya. Ini adalah sebab diantara sebab-sebab yang lain.

"Padahal dalam sistem negara republik kita, seorang presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan memiliki kekuasaan tertinggi di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," lanjut Didin.

"Bahasa filosofis dari seorang akademi militer pernah mengatakan dalam bukunya "ketika kita mendambakan sebuah perdamaian, maka bersiaplah untuk berperang", karena dalam keselarasan interst maka perlu adanya satu titik temu yang betul-betul menyatukan semuanya, jika tidak maka persatuan itu adalah semu," timpal Didin.

Awalnya, seorang presiden ingin menyatukan antara "si banteng dan si kuda" dalam regu yang sama agar pertempurannya tidak menguras tenaga. "Tetapi hal itu terbenturkan oleh ego-ego trah dalam diri seorang politisi ulung yang saling ingin menjadi satu di antara yang dua," jelas Didin.

"Problem yang terjadi adalah kita kehilangan edukasi politik yang bijak, sehingga kekuasaan tidak lagi menjadi poros pembangunan manusia yang bermoral. Tetapi lebih mengarah kepolitik machavelli yang mengharuskan segala cara untuk merebut sebuah singgasana kekuasaan," imbuh Didin.