Komisi VIII DPR Bakal Cek Penyewaan Helikopter Pemadaman Karhutla oleh BNPB

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 8 November 2023 08:11 WIB
Ace Hasan Syadzily (Foto: MI/Dhanis)
Ace Hasan Syadzily (Foto: MI/Dhanis)

Jakarta, MI - Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI bakal mengecek penyewaan helikopter untuk pemadaman kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Pasalnya, penyewaan helikopter ini pada tahun 2022 sebesar 14.000 dolar AS per jam. Setelah diuadit Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), pada tahun 2023 ini turun menjadi 11.000 dolas AS per jam.

"Emang besar ya? Saya harus cek donk, besar itu harus ada standarnya donk. Pertanyaannya itu merupakan kebutuhan atau apa, kalau menurut saya si kebutuhan," ujar Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily saat ditemui Monitorindonesia.com di Komplek Parlemen, Selasa (7/11).

Menurut politisi partai Golongan Karya (Golkar) itu bahwa memang helikopter itu merupakan kebutuhan BNPB dalam penanggulangan karhutla, yang tentunya harga juga cukup mahal.

"Itu kebutuhan karena kita kan sering terjadi karhutla, kalau misalkan kebakaran hutan itu memang tidak bisa sifatnya permanen juga. Kalau misalkan harus memiliki helikopter sendiri kan harus, belum pemeliharaannya, belinya mahal. Ya mendingan sewa," ungkapnya.

Sementara itu, Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari menyatakan bahwa pihaknya menyewa helikopter itu kepada pengusaha heli. "Sesuai hasil audit BPK, jadi awalnya 14.000/jam, kemudian di tahun ini (2023) diturunkan menjadi 11.000/jam sesuai rekomendasi BPK. Jadi BNPB melaksanakan rekomendasi dari BPK," ujar Abdul Muhari saat dikonfirmasi Monitorindonesia.com, Senin (6/11).

Dikatakannya bahwa, hasil audit BPK, harga kewajaran sewa heli itu dari 9.000 dolar AS sampai dengan 11.000 dolar AS tergantung spesifikasi helikopternya.

"Kalau menyangkut operasional dari si pengusaha saya ga bisa konfirmasi, operasional mereka ya cuma mereka yang tau. BNPB secara prinsip hanya melaksanakan saran dan rekomendasi BPK, dan di awal 2023 sudah disampaikan ke pengusaha heli," beber Abdul Muhari.

Jika 11.000 dolar AS, maka Rp 171 juta per jamnya. Sementara pada tahun 2022 sebesar 14.000 dolar AS atau Rp 218 juta.

Dengan demikian selisihnya dari tahun 2022-2023 yakni 3.000 dolar AS atau Rp 46 juta per jamnya. Maka Tuntutan Ganti Rugi (TGR) yang harus dikembalikan ke kas negara.

Sampai saat ini, masih ada yang belum mengembalikannya ke kas negara. "Ada pengusaha yang sudah mengembalikan, ada yang belum. Meminta yang bersangkutan agar segera mengembalikan ke kas negara," kata Abdul Muhari.

Namun demikian, ketika dikonfirmasi lebih jauh soal jumlah uang yang belum dikembalikan pengusaha itu. Abdul Muhari mengaku bahwa pihaknya tidak mempunyai data. "Saya ga punya datanya," ungkapnya.

Selain itu, Abdul Muhari menepis anggapan pengusaha soal kemahalan sewa heli tersebut.

"BNPB yang nyewa ke pengusaha, kok bisa mereka yang bilang mahal? Harusnya BNPB yang bilang mahal. Jadi BNPB menyewa heli ke pengusaha heli setiap tahunnya untuk pemadaman karhutla," ungkap Abdul Muhari.

Sebelumnya, diberitakan Monitorindonesia.com, bahwa penyewaan helikopter di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam upaya penanganan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) dinilai terlalu mahal yakni US$ 11.000 dolar atau Rp 170 juta per jam dalam anggaran tahun 2023. 

Seorang pengusaha penyewaan helikopter kepada Monitorindonesia.com, Senin (6/11) mengaku, harga sewa heli pada tahun anggaran 2023 sudah turun US$ 3.000 per jam dibanding tahun sebelumnya.

Pada tahun 2022 misalnya harga sewa heli per jam yang ditetapkan sebesar US$ 14.000 per jam.

Heli tersebut didatangkan dari Vietnam. Heli tersebut digunakan untuk memadamkan api di sejumlah titik di provinsi Riau, Jambi, Palembang, Kalimantan dan lainnya.

Sumber tersebut mengungkap, pada 2022 lalu, Badan Pemeriksa keuangan (BPK) RI melakukan audit atas harga sewa heli tersebut.

Harganya terlalu mahal dan akhirnya pada 2023 diturunkan menjadi US$ 11.000 per jam.

Namun para pengusaha mengaku enggan mengembalikan sisa bayar sebagaimana saran dari BPK RI.

"Duitnya sudah habis dibagi kemana-mana. Kami (pengusaha) setidaknya menghabiskan US$ 9.000 per jam untuk operasional. Kalau US$ 11.000 per jam kami sisa US$ 2.000 per jam per jam. itulah yang kami gunakan untuk hal-hal lain," katanya.

Komponen dari US$ 9.000 per jam itu meliputi bayar sewa heli, bayar gaji pilot, biaya-biaya di bandara, avtur dan lainnya.

Ribuan jam operasional heli dianggarkan BNPB setiap tahun tergantung dari spot-spot api yang akan dipadamkan di berbabagi lokasi hutan di Indonesia. (An/DI)