RUU DKJ Menuai Banyak Pertanyaan, Dinilai Tak Masuk Akal

Dhanis Iswara
Dhanis Iswara
Diperbarui 7 Desember 2023 09:10 WIB
Pengamat Politik Sentral Politika, Subiran Paridamos (Foto: Ist)
Pengamat Politik Sentral Politika, Subiran Paridamos (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Direktur Eksekutif Sentral Politika Subiran Paridamos, menilai draf Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) yang telah ditetapkan sebagai usul inisiatif DPR dalam rapat paripurna menuai banyak pertanyaan. 

Diketahui dalam RUU tersebut pada Pasal 10 ayat 2 dikatakan, Gubernur dan Wakil Gubernur ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh Presiden dengan memerhatikan usul atau pendapat DPRD.

Menurutnya kekhususan Jakarta selama ini yang menjadi Ibukota Negara dan Pemerintahan sudah tereduksi, karena IKN dipindahkan ke Kalimantan Timur. Namun yang menjadi pertanyaannya, apakah pemilihan Gubernur di Jakarta adalah kekhususan yang kemudian harus dicabut juga?

 "Apakah masuk akal merubah suksesi pemilihan Gubernurnya? Justru seharusnya jangankan Gubernur, Walikota saja sudah seharusnya dipilih oleh rakyat sebagaimana daerah lain di Indonesia," kata Subiran kepada Monitorindonesia.com, Kamis (7/12).

"Nah ini kita kembali lagi ke sistem pemilihan proporsional tertutup. Persoalan mendasarnya apa urgensinya? Sistem pemerintahan di Jakarta pasca tidak lagi jadi ibukota malah kembali pemilihan tertutup di DPR," tambahnya. 

Kata Subiran, jika kepala daerah tak dipilih langsung oleh rakyat justru akan berbahaya bagi kelangsungan demokrasi. Sebab, kedaulatan rakyat secara politik harus mengimbangi kekuatan kapital ekonomi. 

"Justru berbahaya kalau pemimpin politiknya tidak dipilih langsung oleh rakyat. Sebab segala kepentingan bisnis dan ekonomi dominan akan selalu menguntungkan pemilih kapital, dan rakyat perlu berdaulat secara politik untuk mengimbangi kekuatan kapital ekonomi tersebut," ujarnya. 

Subiran menilai, daerah dengan format khusus dan istimewa seharusnya tidak selalu dimaknai khusus dari segi sistem pemerintahan, kecuali yang ada di Jogja dan Aceh. 

"Itu beda lagi karena histori dan kearifan lokalnya beda," ucap penulis buku Negara Katanya itu.

Untuk itu, kata Subiran, terkait kekhususan Jakarta pasca tidak lagi menjadi Ibu Kota, harusnya hanya terletak pada posisi Jakarta sebagai pusat bisnis dan ekonomi. Bukan justru merubah sistem pemerintahannya. 

"Sehingga kalau mau mengatur kekhususan, seharusnya dari segi bisnis dan ekonomi, bukan merubah sistem pemerintahan," pungkasnya. (DI)