Kritik Civitas Akademika ke Presiden Jokowi Dinilai untuk Kepentingan Bangsa

Dhanis Iswara
Dhanis Iswara
Diperbarui 7 Februari 2024 11:40 WIB
Pengamat Politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin (Foto: MI/Dhanis)
Pengamat Politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin (Foto: MI/Dhanis)

Jakarta, MI - Pengamat Politik Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Ujang Komarudin, menilai gerakan sejumlah civitas akademika yang mengkritik Pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas dugaan keterlibatannya dalam Pemilu 2024 merupakan murni gerakan seorang akademisi.

"Saya si melihat ada 2 pola gerakan akademisi yang bisa saya baca. Tapi, ini betul-betul murni yaa, betul-betul gerakan moral, gerakan untuk kepentingan bangsa, untuk menjaga demokrasi," kata Ujang saat dihubungi Monitorindonesia.com, Rabu (7/2).

Menurut Ujang, apa yang dilakukan oleh para civitas akademika sudah tepat. Pasalnya, kritik itu dilayangkan kepada agar demokrasi Indonesia bisa berjalan sesuai jalurnya dan pemerintah tidak kebablasan dalam berdemokrasi.

"Mengkritik pemerintah agar tidak salah arah agar tidak salah jalan, agar tidak kebablasan, agar demokrasinya on the track," ujarnya.

Sebagai seorang akademisi, Ujang pun menilai, lahirnya gerakan tersebut ditenggarai oleh pemerintah yang dianggap tak mengindahkan moralitas dalam berpolitik. Sehingga gerakan tersebut diharapkan dapat didengar oleh pemerintah saat ini agar adanya perbaikan.

"Jadi dalam konteks itu ya para guru besar melakukan gerakan moral itu, karena dianggap pejabat saat ini tidak mengindahkan moralitas dan etika politik. Maka bergerak dari kampus membangun gerakan moral agar didengar pejabat negeri ini," ujarnya.

Kata Ujang, dirinya juga tak memungkiri adanya partisan politik dalam akademisi kampus. Namun, meski begitu jumlahnya terlalu sedikit ketimbang gerakan yang lahir dari seorang akademisi murni yang menginginkan perbaikan bagi demokrasi Indonesia 

"Yang kedua, polanya yang akademisi partisan pasti ada tapi jumlahnya lebih kecil karena kan akademisi yang berpolitik juga enggak banyak, sedikit. Kebanyakan yang akademisi murni," jelasnya. (DI)