Kemenangan 02: Guyuran Bansos dan Efek Jokowi

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 9 April 2024 22:19 WIB
Seorang pemilih menunjukan jari kelingking yang sudah dicelup tinta (Foto: MI Repro Antara)
Seorang pemilih menunjukan jari kelingking yang sudah dicelup tinta (Foto: MI Repro Antara)

Jakarta, MI - Bantuan sosial atau Bansos adalah upaya pemerintah untuk memberikan dukungan kepada masyarakat yang membutuhkan, misalnya orang miskin, mengalami bencana, atau dalam situasi khusus yang memerlukan bantuan segera. 

Dalam konteks ini, bansos adalah bagian dari tanggung jawab sosial pemerintah kepada warganya. Bansos dari Kementerian Sosial atau Kemensos sebagaimana diungkapkan Tri Rismaharini dihadapan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa bansos yang dikelola oleh kementerian yang ia pimpin disalurkan dalam bentuk tunai (cash) yang ditransfer langsung ke rekening penerima manfaat dan tidak ada dalam bentuk barang.

“Bahwa bansos di Kementerian Sosial itu bentuknya cash transfer. Jadi, tidak ada dalam bentuk atau natura. Jadi semua transfer ke rekening penerima manfaat, 100 persen,” kata Risma dalam sidang lanjutan sengketa Pilpres 2024 di Gedung I Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, Jumat (5/4/2024).

Bansos ini bukan dalam bentuk sembako seperti yang dananya pernah dicuri kader PDIP Juliari Batubara. Mantan Mensos itu pun sudah dipenjara (tidak dihukum mati seperti diindikasikan sebelumnya lantaran korupsinya dilakukan di tengah kondisi bencana nasional Covid-19).

Dalam sengketa hasil Pilpres 2024, kubu Anies Baswedan-Muhaimin  Iskandar (AMIN) 01 dan Ganjar Pranowo-Mahfud  Md, 03 sama-sama menuding ada praktik politisasi bansos menjelang Pilpres 2024. 

Mereka mendalilkan penggelontoran bansos merupakan salah satu faktor yang membuat pasangan Prabowo-Gibran meraup suara terbanyak pada Pilpres 2024.

Efek Jokowi
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Vid Adrison mengatakan, jika tanpa ada cawe-cawe Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan guyuran bantuan sosial (bansos), pasangan nomor urut 2 Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka hanya meraih 42,38 persen suara di Pilpres 2024.

Vid melakukan penelitian untuk melihat kasualitas pembagian bansos menjelang Pilpres 2024 dan efek Jokowi terhadap perolehan suara Prabowo-Gibran. Perolehan suara sebesar 42,38 persen itu hampir sama dengan hasil survei yang dilakukan Charta Politika pada periode 4-11 Januari 2024 yakni sebesar 42,2 persen.

Menurutnya, hal ini berhubungan dengan perilaku myopic di tengah masyarakat, yakni lebih mempertimbangkan tindakan Jokowi menjelang Pilpres 2024 ketimbang kegiatan atau program pemerintah yang dilakukan dua atau empat tahun lalu.

“Ada perilaku myopic di tengah masyarakat. Orang lebih memikirkan, mempertimbangkan yang lebih dekat terjadi. Misalnya, sebulan terakhir seseorang berbuat baik, maka yang saya ingat adalah kebaikan,” kata Vid dalam keterangannya, Senin (8/4/2024).

Vid menjelaskan, pembagian bansos yang sangat masif menjelang pencoblosan pada 14 Februari 2024 menimbulkan kompetisi tidak adil. Dia menuturkan, bansos memang berasal dari pemerintah dengan sasarannya adalah masyarakat miskin.

Namun, dari hasil penelitiannya menunjukkan ada pola belanja untuk program perlindungan sosial (Perlinsos) proporsinya meningkat setahun menjelang Pemilu seperti pada tahun 2008, tahun 2013, tahun 2018.

Tetapi, kenaikan anggaran itu mengalami kenaikan drastis pada kurun waktu 2022 hingga 2023 menjelang Pemilu 2024. “Ketika terjadi kenaikan begitu drastis, apapun alasan sudah ada pembahasan dengan DPR, tetapi ini suatu pola. Apakah ini akan punya dampak? Studi menyebut memang ada dampaknya karena perilaku myopic,” ujar Vid.

Artinya, pendistribusian bansos bisa meningkatkan seseorang untuk memilih kembali orang yang memberi atau membagikan bansos.

Hal ini juga terkonfirmasi hasil penelitian Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 19-21 Februari 2024, yakni sebanyak 24,8 persen responden mengaku menerima bansos dari pemerintah. Dari jumlah itu, 69,3 persen mengaku mencoblos capres-cawapres nomor urut 02, Prabowo-Gibran.

“Memang pola peningkatan belanja untuk diskresi termasuk Perlinsos meningkat menjelang Pemilu dan ada bukti statistik hal itu meningkatkan keterpilihan,” ungkap Vid.

Vid menyebut, Perlinsos digunakan sebagai alat pemenangan untuk meningkatkan suara Prabowo-Gibran karena tidak ada regulasi. Kemudian, sumber dana Perlinsos berasal dari masyarakat melalui pajak yang dibayarkan.

Karenanya, Vid menegaskan, sesungguhnya adalah hak dari orang miskin untuk mendapatkan perlinsos. “Jadi tidak boleh dipersonalisasi. Pemerintah kan sudah transfer. Senang yang dapat bansos, maka efek lebih besar. Ketemu dikasih langsung atau tidak (oleh Jokowi)? Kalau dikasih langsung bisa dipersonalisasi, kalau dibagikan oleh sistem senang tetapi tidak personalisasi,” ucapnya.

Vid menuturkan, dari hasil penelitian yang dilakukan, efek Jokowi lebih signifikan dibanding efek Prabowo dalam menentukan perolehan suara paslon nomor urut 2. Menurutnya, pasangan yang didukung petahana mendapatkan persentase suara lebih tinggi di daerah dengan angka kemiskinan lebih tinggi.

Untuk menilai efek Jokowi, kata Vid, penelitian telah memperhitungkan unsur fanatisme. Dia mengukur suara Jokowi sebagai proksi untuk perolehan suara Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024. Ketika dia menggunakan perolehan suara Prabowo pada Pilpres 2019 untuk Pilpres 2024, ternyata tidak signifikan. Artinya, militansi bukan kepada Prabowo tetapi kepada Jokowi.

“Artinya memang kuat bukti statistiknya, efek Jokowi efek lebih kuat daripada efek Prabowo," ungkap Vid.

Soal dampak kunjungan Jokowi ke daerah Jawa Tengah, Vid menyebut bahwa orang nomor satu di Indonesia tersebut mengunjungi 30 kabupaten/kota sepanjang Oktober 2023 hingga Februari 2024.

Dari 30 kabupaten/kota itu, 15 di antaranya berlokasi di Jawa Tengah. Sementara itu, Prabowo-Gibran hanya mengunjungi 9 kabupaten/kota.

Hasil penelitian menemukan, tidak ada bukti perolehan suara Prabowo pada Pilpres 2019 berhubungan dengan perolehan suara pada Pilpres 2024. Sebaliknya, Vid menemukan bahwa kunjungan Jokowi efektif meningkatkan suara Prabowo pada Pilpres 2024.

Vid menambahkan, ada hubungan yang kuat antara penggelontoran bansos dan efek Jokowi terhadap perolehan suara Prabowo-Gibran.

Alokasi bansos
Sedikit kembali ke belakang atau sebelum pesat pilpres lalu, jika ditotal, alokasi anggaran perlindungan sosial untuk 2024 mencapai Rp496,8 triliun. Jumlah itu jauh lebih tinggi dibandingkan anggaran 2023 yang sebesar Rp 433 triliun.

Bahkan tetap lebih tinggi jika dibandingkan pada masa pandemi Covid-19, yaitu Rp468,2 triliun (2021) dan Rp460,6 triliun (2022). Pada saat sesi tanya-jawab, wartawan bertanya kepada Sri Mulyani soal "kebijakan populis" yang akan digelontorkan pemerintah di tahun politik 2024.

Sri Mulyani menjawab, semua bisa dicek di APBN 2024 yang telah disahkan menjadi undang-undang.

Pertanyaan tersebut relevan karena pada hari yang sama, hanya dua jam sebelum konferensi pers Sri Mulyani, pasangan Prabowo dan Gibran resmi mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai calon presiden dan wakil presiden untuk Pemilu 2024. Prabowo adalah menteri pertahanan. Gibran adalah anak sulung Jokowi yang menjabat wali kota Surakarta.

Jejak dugaan politisasi bansos
Pada 6 November 2023 lalu, nama-nama tim kampanye nasional Prabowo-Gibran diumumkan. Ada dua menteri dan dua wakil menteri aktif di sana. Mereka adalah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto; Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan; Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Afriansyah Noor; dan Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang, Raja Juli Antoni.

Pada 21 November 2023, Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 53/2023 yang membuat Prabowo dan Gibran tak perlu mundur dari jabatan masing-masing sebagai menteri dan wali kota meski telah masuk bursa Pilpres 2024.

Pada 22 November 2023, saat menyalurkan bantuan beras di Biak Numfor, Papua, Presiden Jokowi mengumumkan akan memperpanjang kembali periode bantuan tersebut dari Desember 2023 hingga Maret 2024 untuk "menjaga stabilitas harga".

Pada 15 Desember 2023, saat menyalurkan bantuan beras di Pekalongan, Jawa Tengah, kepala negara mengumumkan akan menaikkan jumlah keluarga penerima bantuan beras di 2024 dari 21,3 juta menjadi 22 juta.

Gencarnya penyaluran bantuan beras dan BLT El Nino inilah yang lantas digaungkan Zulkifli, yang juga menjabat ketua umum Partai Amanat Nasional (PAN), saat berkampanye di Kendal, Jawa Tengah, pada 26 Desember 2023.

"Yang kasih bansos sama BLT siapa?" tanya Zulkifli kepada para peserta acara, seperti terlihat di video yang banyak beredar di media sosial dan televisi nasional. Audiens lantas membalas, "Pak Jokowi!"

"Pak Jokowi itu PAN. PAN itu Pak Jokowi," kata Zulkifli.

"Makanya kita dukung Gibran. Cocok?"

Pada 9 Januari 2024, saat sidang kabinet di Istana Negara, Jokowi mengumumkan kembali perluasan program bansosnya. Kali ini, bantuan beras dan BLT El Nino sama-sama diperpanjang penyalurannya hingga Juni 2024.

Selewat enam hari, pada 15 Januari 2024, giliran Airlangga yang menggunakan "kartu bansos" saat menemui keluarga penerima bantuan beras di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.

"Bapak Presiden dalam sidang kabinet kemarin meminta agar BLT El Nino untuk dilanjutkan sampai bulan Juni," kata Airlangga, yang juga ketua umum Partai Golkar.

"Terima kasih nggak, Bu, sama Bapak Presiden? Terima kasih? Jadi tolong ibu bicara, 'Terima kasih, Pak Jokowi.' Tolong direkam. Bisa?"

Padahal, alasan penyaluran bantuan beras dan BLT untuk mengantisipasi dampak El Nino sudah tak relevan saat ini, kata Dwi Andreas Santosa, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Apalagi, katanya, musim hujan telah dimulai sejak November lalu. "Sekarang sudah mulai masa tanam padi juga dan, sebentar lagi, bulan Maret itu sudah mulai panennya," kata Dwi.

Adapun pemerintah mengumumkan skema BLT baru pada Senin, 29 Januari 2024. Pertama, namanya berubah dari BLT El Nino menjadi BLT Mitigasi Risiko Pangan, kata Airlangga saat konferensi pers.

Periode BLT pun dipersingkat menjadi hanya tiga bulan hingga Maret 2024, sebelum penerapannya dievaluasi kembali. Lalu, bantuan untuk jatah tiga bulan sebesar Rp600.000 akan langsung disalurkan seluruhnya di Februari, di bulan pelaksanaan pemilu.

"Memang ada indikasi tingkat politisasi bansos yang semakin masif di 2024, walaupun diklaim itu bukan politisasi bansos, tetapi program yang memang sudah dianggarkan dan berjalan," kata Titi Anggraini, dosen hukum pemilu Universitas Indonesia.

"Keterlibatan pejabat publik berlatar belakang politik itu dalam penalaran yang wajar memang punya intensi untuk mendapatkan insentif atau berkah elektoral."

Menurut Titi Anggraini, Presiden Jokowi dan para menterinya seharusnya bisa memisahkan kerja-kerja pelayanan publik dengan kampanye. Cara paling mudah, menurutnya, adalah dengan mengambil cuti.

Dengan mengambil cuti, para pejabat publik bisa meminimalkan penyalahgunaan fasilitas jabatan dan sumber daya negara, tegas Titi. "Problemnya adalah mereka tidak melakukan cuti, lalu melakukan kegiatan-kegiatan yang sifatnya unjuk publik, kegiatan-kegiatan dengan pelibatan massa besar dalam kapasitas mereka sebagai pejabat publik dengan menggunakan sumber daya negara," jelas Titi.

Akhirnya, publik pun curiga ada kecurangan politik yang berpotensi merugikan pasangan calon tertentu, kata Aisah Putri Budiatri, peneliti di Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Angga Putra Fidrian, juru bicara tim pemenangan pasangan capres Anies Baswedan dan cawapres Muhaimin Iskandar, mengatakan bansos semestinya diberikan atas nama rakyat, bukan pihak tertentu.

Dia bilang, sebenarnya aturan mainnya sudah jelas, bahwa presiden boleh berkampanye, tapi harus cuti dan tidak menggunakan fasilitas negara.

"Program bansos itu kan fasilitas negara. Jadi ya harusnya KPU dan Bawaslu sebagai wasit itu tegas terhadap aturan yang mereka buat sendiri," kata Angga.

Berhubungan dengan pilpres?
Di sisi lain, Viva Yoga Mauladi, juru bicara tim kampanye Prabowo-Gibran, mengatakan program bansos telah lama diagendakan dan tidak berhubungan dengan Pilpres.

Tuduhan terkait politisasi bansos, menurutnya, hanyalah narasi yang dibangun untuk mendiskreditkan Prabowo-Gibran. "Justru kami ingin agar bansos tidak dipolitisasi. Bansos ini hak rakyat, milik rakyat, dari pajak rakyat. Sudah, disebar aja seluruhnya sesuai dengan mekanisme yang ada di APBN," kata Via.

Memang sangat sulit untuk mengukur dampak politisasi bansos di lapangan, kata Aisah Putri Budiatri, peneliti di Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Namun, kata Aisah, praktik semacam ini tetap berpotensi memengaruhi pilihan publik, terutama para pemilih bimbang atau undecided voters yang jumlahnya relatif besar.

Pada Survei Litbang Kompas, Desember 2023 menunjukkan, 28,7% responden masih belum menentukan pilihannya untuk pemilihan presiden mendatang. Sebanyak 40,3% dari seluruh pemilih bimbang itu berasal dari kelas menengah bawah, sementara 40% dari kelas bawah. Sisanya dari kelas menengah atas dan atas.

"Politisasi bansos ini kan perilaku politik yang tidak baru. Ketika itu terus direplikasi, artinya dia sebelumnya punya efek dalam memengaruhi perolehan suara atau masuknya dukungan baru dalam pemilu," katanya.

Apalagi Jokowi rajin menyalurkan bansos di berbagai daerah di Jawa Tengah, termasuk menyerahkan bantuan Program Indonesia Pintar di Blora dan bantuan Rp8 juta per hektare untuk petani gagal panen di Grobogan di Januari.

Menurut survei Centre for Strategic and International Studies pada Desember 2023 lalu, elektabilitas pasangan capres Ganjar Pranowo dan cawapres Mahfud MD menyentuh 43,5% di Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Sementara itu, elektabilitas Prabowo dan Gibran di sana tercatat hanya 36,5%. "Ada tendensi untuk 'menghapus' jejak Ganjar di Jawa Tengah, dan kita tahu ada irisan antara pemilih PDI-P, pemilih Jokowi, dan pemilih Ganjar," kata Aisah.

"Karena ada gagasan tentang pemilu satu putaran, ini menggencarkan semua elemen untuk kemudian bekerja supaya benar-benar bisa terlaksana gagasan itu."

Juru bicara tim pemenangan Ganjar-Mahfud, Chico Hakim, mengatakan pihaknya "tidak terlalu ambil pusing" dengan langkah Jokowi. "Kami tidak punya keraguan sedikit pun terkait dominasi 'banteng' di Jawa Tengah," kata Chico, sembari menambahkan bahwa timnya mendukung program bansos pemerintah yang memang merupakan hak rakyat.

"Kami hanya berharap tidak ada politisasi."

KPK harusnya proaktif
Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto menegaskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK seharusnya proaktif dalam mengusut penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Termasuk dalam pemilu 2024, di mana KPU sebagai penyelenggaranya. Salah satunya soal dugaan kecurangan bansos.

"Harunya KPK proaktif di dalam mengusut berbagai kecurangan bansos, berbagai penyalahgunaan penggunaan anggaran," kata dia saat ditemui usai menghadiri diskusi bertajuk "Membuka Kotak Pandora Sirekap Saksi Bisu Kejahatan Pilpres 2024" di Kawasan SCBD, Jakarta, Minggu (7/4).

Selain itu, tambah dia, ada dana prakerja yang jumlahnya sekitar Rp 70 triliun, kejahatan perbankan. Kemudian ada informasi terkait dengan ilegal mining yang melibatkan orang-orang dekat kekuasaan.

Hal-hal tersebut seharusnya menjadi fokus KPK. Menurut Hasto, hal itu harus diusut karena KPK adalah penegak hukum.

02 bisa menang tanpa efek bansos?
Pada pemilu 2024 berlangsung, semua tahapan diikuti oleh semua paslon, masing-masing berkampanye, saling berdebat, publik menilai, sampai akhirnya pemungutan suara. Hasilnya? 58,58% untuk Prabowo-Gibran, 24,95% untuk Anies-Muhaimin, dan 16,47% untuk Ganjar-Mahfud. Telak. 

Apakah ada kecurangan? "Kita tidak mendahului Keputusan sidang MK," ujar Direktur Eksekutif, Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta, Andre Vincent Wenas kepada Monitorindonesia.com, Selasa (9/4/2024).

Pasalnya, hingga saat ini proses gugatannya sedang berlangsung. Termasuk pemanggilan keempat Menteri dari kabinetnya Jokowi. Masing-masing memberi keterangan. 

"Kita tunggu saja hasil sidang MK nanti. Apakah diputuskan ada kecurangan yang terstruktur, sistematis dan massif (TSM) seperti yang dituduhkan. 
Tapi prosesnya dapat kita tonton bersama".

"Bagaimana para saksi menyampaikan kesaksiannya. Para saksi ahli pun didatangkan dan didengarkan bersama argumentasi dari kesaksiannya. Semua transparan," tandasnya.

Kendati, menurut pakar hukum tata negara dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, bahwa kemenangan 02 bagian daripada efek bansos yang dibagi-bagikan Jokowi. 

"Menurut saya kemenangan 02 itu juga efek bansos yang dibagi pak Jokowi. Meskipun menggunakan dana taktis kepresidenan, tapi pak Jokowi tidak etis membagi bansos pada masa kampanye," kata Abdul Fickar Hadjar saat disapa Monitorindonesia.com selepas takbiran, Selasa (9/4/2024). 

"Apalagi ada salah satu menteri (Mendag) yang menyatakan bahwa bansos ini dari presiden pak Jokowi bapaknya Gibran. Jadi menang benar-benar curang dan tidak etis," tambahnya mengakhiri.

Alasan Jokowi suka bagi-bagi bansos di daerah
Jokowi kerap melakukan pembagian bantuan bansos secara simbolik ke sejumlah daerah. Dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK), Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy memberikan penjelasan.

"Mengenai bapak presiden, jadi sebetulnya kunjungan bapak presiden bukan sekarang saja, yaitu memang satu pola kepentingan beliau," kata Muhadjir pada persidangan MK, Jumat (5/4/2024) kemarin.

Muhadjir mengaku sangat paham dengan pola itu karena sudah menjadi menteri sejak 2016. Sebelum menjabat Menko PMK, Muhadjir merupakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

"Ketika membagikan KIP, bapak presiden selalu memastikan kebijakan beliau memang landed, memang ter-delivered. Bapak presiden selalu menekankan segera belanja APBN pada awal tahun karena itu diberikan pada November bahkan September sehingga pada Januari sudah takeoff semua program termasuk bansos," Muhadjir menjelaskan.

"Di situlah bapak presiden turun lapangan untuk mengecek apakah semua sudah ter-delivered sekaligus mendapat feedback dari para penerima bansos itu," ia melanjutkan.

Muhadjir lantas mencontohkan jika Jokowi berkunjung ke 100 titik dan membagi Program Keluarga Harapan (PKH). Tercatat ada 10 juta keluarga penerima manfaat (KPM) PKH. "Kalau 40 titik, itu taruhlah 2.000. Satu titik berapa? 800 ribu. Masa 800 ribu beliau bisa memengaruhi seluruh Indonesia," kata Muhadjir.

Dia lantas melanjutkan, ketika Jokowi ke daerah, tidak hanya satu titik yang dikunjungi, melainkan lima titik. Apalagi, menurut Muhadjir, tahun ini merupakan tahun terakhir Jokowi menjabat.

"Pasti beliau ingin memastikan seluruh proyek strategis sekarang sudah tuntas. Beliau betul-betul wanti-wanti tidak boleh meninggalkan proyek mangkrak. Sekarang beliau kalau berkunjung pasti meresmikan proyek-proyek strategisnya, bersamaan dengan mengecek keadaan bansos, keadaan lain. Jadi biasanya lebih dari lima titik," ujar Muhadjir.

"Biasanya menurut saya, kalau ada daerah yang sering dikunjungi bapak presiden kemungkinan besar di situ banyak proyek strategis nasional yang diberikan kepada daerah itu. Sekali lagi saya ingin sampaikan terlalu mustahil kalau hanya 100 kunjungan untuk secara simbolik membagi bansos kemudian memengaruhi secara nasional. It doesn't make sense," demikian Muhadjir. (wan)