Revisi UU TNI Menuai Penolakan, Begini Respons Panglima TNI

Dhanis Iswara
Dhanis Iswara
Diperbarui 12 Juni 2024 14:33 WIB
Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto (Foto: MI/Dhanis)
Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto (Foto: MI/Dhanis)

Jakarta, MI - Revisi Undang-Undang (RUU) No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menuai penolakan dari masyarakat sipil. 

Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, merespons kekhawatiran masyarakat dalam revisi UU itu, yakni TNI akan menjadi super power.

Agus menyatakan berdasarkan UU TNI saat ini, diatur dan dijabarkan mengenai operasi militer selain perang.

"Dalam operasi militer selain perang, pasal 14a itu saya rasa semuanya itu sudah terjabarkan di situ tugas-tugas TNI, mulai dari mengatasi pemberontakan, mengatasi separatis, mengatasi teroris, membantu pemerintahan daerah, membantu polri, dan rescue," kata Panglima TNI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (12/6/2024).

Selain itu, lanjut Agus, operasi militer selain perang yakni mengamankan presiden dan wakil presiden dan keluarganya, serta mengamankan tamu negara setingkat presiden.

Namun, Agus tak mengungkapkan poin lebih lanjut perihal revisi UU TNI yang bergulir di DPR.

"Saya rasa itu tugas-tugas TNI yang harus dipahami oleh masyarakat, itu udah sesuai dengan Undang-Undang," tandasnya.

Sebelumnya, Direktur Imparsial Gufron Mabruri mendesak agar DPR dan Pemerintah menggantikan pembahasan Revisi Undang-Undang TNI (RUU TNI).

Sebab, berdasarkan draft RUU TNI versi Baleg DPR RI, terdapat usulan perubahan yang problematik. Pertama, kata dia, perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif. 

 

Hal tersebut, lanjutnya, dapat dilihat pada usulan perubahan Pasal 47 ayat (2) melalui penambahan frasa “serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian Prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden”.

"Penambahan frasa tersebut menjadi berbahaya karena membuka tafsir yang luas untuk memberi ruang kepada prajurit TNI aktif untuk dapat ditempatkan tidak terbatas pada 10 kementerian dan lembaga yang disebutkan di dalam UU TNI," kata dia.

"Dengan kata lain, Presiden ke depan bisa saja membuat kebijakan yang membuka penempatan prajurit TNI aktif di sejumlah kementerian lain, seperti Kementerian Desa, Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, dan lembaga-lembaga negara lainnya," sambung dia.

Usulan perubahan Pasal 47 ayat 2 UU TNI menurutnya jelas akan melegalisasi perluasan praktik Dwifungsi ABRI yang sejatinya secara perlahan mulai dijalankan terutama pada era pemerintahan Presiden Jokowi. 

Dengan kata lain, kata dia, usulan perubahan tersebut tidak lebih sebagai langkah untuk melegalisasi kebijakan yang selama ini keliru, yaitu banyaknya anggota TNI aktif yang menduduki jabatan sipil.

"Seperti di Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan bahkan di Badan Usaha Milik Negara," kata dia.