RUU Perampasan Aset Tak akan Berdebu Lagi di Meja DPR! Baleg Tunggu Distribusi dari Pimpinan DPR

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 23 Oktober 2024 21:05 WIB
Ketua Badan Legislasi DPR RI Bob Hasan (kiri) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (23/10/2024)
Ketua Badan Legislasi DPR RI Bob Hasan (kiri) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (23/10/2024)

Jakarta, MI - Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI saat ini masih menunggu pimpinan DPR RI mendistribusikan pembahasan undang-undang. Termasuk Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset.

"Kami kan di baleg ini menunggu. Jadi konteksnya ini kita berbicara tentang distribusi. Distribusi dari pimpinan sampai saat ini dari pimpinan memang belum sampai ke baleg," kata Ketua Baleg DPR RI, Bob Hasan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (23/10/2024).

Begitu dia disapa, Bob memastikan pihaknya akan kembali melanjutkan pembahasan ketika sudah ada yang menginisiasinya. Ia menyampaikan alasan tersebut meskipun DPR RI periode sebelumnya memastikan RUU Perampasan Aset akan dibahas oleh mereka.

"Nanti biasanya kalo prosedural itu penyampaian inisiasi itu kalo di dpr dari komisi-komisi. Nanti apakah dari komisi akan mengajukan ke baleg nanti setelah itu baru kita godok baru kita proses di baleg ini. Kita rancang kembali," pungkasnya.

Berdebu di Meja DPR RI

Pemerintah menyerahkan Surat Presiden (Surpres) untuk Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset ke DPR RI pada 4 Mei 2023 lalu.

RUU Perampasan Aset ini sudah lama berdebu di meja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI 

RUU yang sudah dibahas sejak 2006 itu sebenarnya dipercaya bisa merampas aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber penambahan kekayaan yang tidak dapat dibuktikan.

DPR sempat berjanji akan membahasnya setelah masa resesi berakhir dan memasuki sidang pada 15 Mei 2023. 

Bahkan mantan Menko Polhukam, Mahfud Md mengatakan pemerintah menargetkan RUU Perampasan Aset bisa disahkan pada Juni 2023.

Namun, pada faktanya dalam pidato pembukaan masa sidang V 2022-2023, RUU Perampasan Aset nyatanya sama sekali tidak dibahas. 

Alasannya, menurut Ketua DPR RI, Puan Maharani, Surpres untuk pembahasan RUU tersebut perlu dikaji lebih dulu.

"Dalam pembukaan pidato Ketua DPR di masa sidang tidak dibacakan karena belu masuk mekanisme," kata Puan kala itu.

Pada November 2023, Mahfud Md tampaknya sudah mulai jengah dengan sikap DPR RI yang menyinggung para wakil rakyat tersebut belum bisa diajak berkonsentrasi untuk menyelesaikan RUU Perampasan Aset. 

Menurut dirinya, hal tersebut lantaran ada perkembangan situasi politik jelang Pemilu 2024. 

Mahfud mengatakan, penyelesaian RUU tersebut kini tergantung DPR. Kata dia, pemerintah sudah beritikad baik.

Penundaan pembahasan dan pengesahan RUU Perampasan Aset kembali terjadi dengan berbagai alasannya. 

Hingga kini yang pada akhirnya DPR sama sekali tidak menyinggung dalam sidang paripurna terakhir 6 Februari 2024. 

Namun, pengesahan UU Pilkada 2024 bisa dibahas dan segera disahkan oleh DPR RI.

Dalam draf RUU Perampasan Aset yang sempat beredar pada 2015 lalu, penelusuran aset yang dapat dirampas dilakukan oleh penyidik yang bisa berasal dari kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), maupun pegawai negeri sipil.

Penyidik dapat melakukan kerja sama dengan lembaga yang melaksanakan analisis transaksi keuangan.

Pada 2003, Indonesia menandatangani Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Melawan Korupsi dan melakukan ratifikasi dengan membuat Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006.

RUU Perampasan Aset atau yang juga dikenal dengan istilah asset recovery merupakan salah satu aturan yang harus ada ketika suatu negara sudah menandatangani konvensi tersebut.

Sejak saat itu hingga kini, Indonesia belum juga memiliki aturan hukum soal perampasan aset.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Laoly saat itu mengatakan pihaknya sudah selesai melakukan "harmonisasi" draf RUU tersebut.

Selain Kementerian Hukum dan HAM, ada beberapa kementerian dan lembaga lain yang juga harus melakukan harmonisasi. 

Ketika semua kementerian dan lembaga sudah menyetujuinya, presiden akan mengirimkan surat ke DPR untuk kemudian dilakukan pembahasan.

Pada Februari 2023, Presiden Joko Widodo alias Jokowi meminta RUU Perampasan Aset dibahas dan disahkan segera.

Menurutnya, RUU ini mendesak untuk dilakukan.

"Saya menghargai langkah cepat DPR dalam menanggapi situasi yang berkembang (revisi UU Pilkada). Respons yang cepat adalah hal yang baik, sangat baik, dan harapan itu juga bisa diterapkan untuk hal-hal yang lain juga, yang mendesak, misalnya seperti RUU Perampasan Aset," kata Jokowi melalui tayangan video ditukil Monitorindonesia.com, Senin (2/9/2024).

Tidak hanya dalam kesempatan tersebut, sebelumnya Jokowi juga pernah mendesak DPR RI untuk segera membahas dan mengesahkan RUU Perampasan Aset tersebut. 

Sayangnya sejak Surpres tentang RUU Perampasan Aset diserahkan Pemerintah ke DPR pada Mei 2023, hingga kini beleid tak kunjung disahkan.

Sebelumnya, Jokowi menekankan pentingnya UU Perampasan Aset untuk memaksimalkan upaya penyelamatan dan pengembalian uang negara. 

Salah satu urgensi regulasi ini adalah, kata dia juga untuk memperkecil terjadinya tindak pidana pencucian uang (TPPU). 

Pihaknya mendorong DPR segera mengesahkan RUU menjadi Undang-Undang.

"Kita telah mendorong mengajukan UU Perampasan Aset pada DPR dan juga UU Pembatasan Uang Kartal ke DPR, dan bolanya ada di sana," kata Jokowi dalam agenda peringatan 22 tahun Gerakan Nasional Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU) PPT di Istana Negara.

Adapun RUU Perampasan Aset telah diinisiasi oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan pada 2008 di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY. 

Dengan demikian, RUU Perampasan Aset telah diusulkan lebih dari satu dekade lamanya, tetapi beleid tak kunjung jadi.

Lebih baik jadi program Prabowo 
Eks pimpinan KPK yang berpendapat bahwa RUU Perampasan Aset lebih baik menjadi program 100 hari Prabowo. 

Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Laode Muhammad Syarif mengatakan RUU tersebut menjadi program untuk 100 hari Prabowo.

"Mungkin sebaiknya ketika bulan-bulan pertama, mungkin akan lebih bagus dijadikan program 100 hari Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Undang-Undang Perampasan Aset tesebut," kata La Ode.

Dia menyampaikan opininya tersebut usai Presiden Jokowi mendorong DPR RI untuk segera menyelesaikan pembahasan dan pengesahan RUU Perampasan Aset tersebut.

"Kalau itu sih dari zaman saya di KPK memang kami sudah push (dorong) terus Undang-Undang Perampasan Aset itu segera diselesaikan," jelas La Ode.

Sementara itu, pakar hukum tindak pidana pencucian uang (TPPU) Yenti Garnasih menjelaskan RUU Perampasan Aset akan mengatur mekanisme mulai dari penelurusan, penyitaan dan pemblokiran aset yang diduga hasil kejahatan, sampai pengelolaan aset yang telah dirampas.

RUU Perampasan Aset, kata Yenti, mencakup hal-hal yang belum diatur dalam perampasan aset pada Undang-undang Tipikor maupun Undang-undang TPPU.

Dalam Undang-undang Tipikor pasal 18 disebutkan adanya uang pengganti, yang kata Yenti bisa disubsidiarkan dengan hukuman penjara jika tak kunjung diganti. Itu berarti “uang tidak kembali”.

Begitu juga perampasan aset dalam Undang-undang TPPU, lanjut Yenti.

“Tidak ada asset recovery. Waktu sudah dirampas tidak dimaksimalkan, tidak dikelola dengan baik, bahkan hilang. Lihat Indosurya, ada beberapa yang menjadi masalah.”

RUU Perampasan Aset memungkinkan aset-aset hasil kejahatan itu diatur dan diawasi dengan baik sehingga tidak ada lagi aset yang nilainya turun, lelangnya tidak jelas, sampai kehilangan barang bukti.

Bahkan untuk aset hasil kejahatan yang, misalnya, sudah menjadi pabrik atau hotel, akan dikelola sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam RUU Perampasan Aset.

”Itu tidak bisa ditutup begitu saja, akan dikelola oleh negara, hotelnya tetap jalan, hanya pengurusannya, keuangannya, langsung diberikan kepada yang berhak. Sehingga masyarakat yang bekerja di situ tidak jadi korban. Mereka juga bagian korban karena negara tidak tegas dan tidak cerdas waktu menganggarkan dan mengamankan anggaran itu,” kata Yenti.

Yenti mengatakan kondisi penuntasan kasus korupsi saat ini “tidak menjerakan” para koruptor, bahkan setelah mereka dihukum penjara.

Perlu diketahui bahwa, koruptor itu memang takutnya dimiskinkan.

Itu terbukti dalam kasus korupsi jenderal polisi Djoko Susilo, yang melakukan peninjauan kembali terhadap perampasan aset setelah dia dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi simulator SIM.

Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) Djoko Susilo terhadap perampasan asetnya, tapi dia tetap mendapatkan hukuman pidana 18 tahun penjara. 

Hasilnya, kekayaan yang didapatkan Djoko Susilo sebelum kasus korupsi dikembalikan. Karena mereka akan upayakan berbagai hal untuk mempertahankan kekayaan mereka. Jadi, kalau memang mau mencari apa kira-kira jenis hukuman yang paling menjerakan, itu pemiskinan, bukan pidana badan. 

Maka, harus berubah perspektif penegak hukumnya juga. (wan)

Topik:

DPR Baleg DPR RUU Perampasan Aset