Masa "Senyap": Ada Uang, Ada Suara!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 13 Februari 2024 18:53 WIB
Ilustrasi - Masa tenang pemilu (Foto: Karikatur MI/GEC)
Ilustrasi - Masa tenang pemilu (Foto: Karikatur MI/GEC)

ADA UANG, ADA SUARA, masih menjadi tantangan di Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. 

Meski perilaku ini masuk ke dalam tindakan money politik yang mesti dihilangkan dari arena demokrasi, namun susah untuk "move one".

Tidak dapat dipungkiri bahwa uang, sebagai alat tukar yang kuat, seringkali digunakan untuk mempengaruhi pemilih atau bahkan calon-calon yang akan terpilih.

Ketika pemilih merasa bahwa suara mereka dapat "dibeli," mereka mungkin kehilangan motivasi untuk benar-benar memahami masalah-masalah politik dan memilih berdasarkan penilaian rasional.

"Ada uang ada suara," kata Rahmat (30) pemilih muda kepada Monitorindonesia.com, Selasa (13/2).

Calon yang menggunakan uang secara besar-besaran mungkin cenderung mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok mereka daripada kepentingan publik.

"Jangan salah dong, nanti kalau sudah duduk di kursi empuk. Mereka memikirkan bagaimana caranya agar balik modal," beber Rahmat.

Jika membiarkan "ada uang, ada suara" terus menjadi norma, mungkin tidak akan melihat perubahan nyata dalam kepemimpinan dan kebijakan negara ini. 

Oleh karena itu, sudah saatnya untuk bersama-sama menentang money politik dan memperjuangkan pemilihan umum yang lebih adil, transparan, dan berintegritas.

Lantas siapa yang membiasakan politik dagang suara ini ?

Ada yang menyebut para calon sendiri yang menawarkan dan membiasakan masyarakat, dalam pertemuan sosialisasi, kampanye, tidak jarang para calon maupun timnya membagi-bagi amplop, bagi sembako.

Pada akhirnya kebiasaan itu menjadikan sejumlah masyarakat menjadi terbiasa, sehingga “ada uang, ada suara” membuat masyarakat tak lagi melihat kualitas, kapabilitas calonnya, yang penting “cair” itu yang menjadi pilihannya. 

Para calon dan timnya pun banyak yang memanfaat kebiasaan masyarakat itu dengan praktik money politik.

Walaupun tidak semua masyarakat seperti itu, tapi banyak, semakin banyak mungkin akan tambah banyak.

Ternyata pemahaman money politik tidak hanya soal pemberian uang, tapi juga dalam bentuk barang adalah pelanggaran Pemilu bisa dipidana baik yang memberi maupun yang menerima.

Banyak juga para calon yang tidak paham, yang akan membagikan paket sembako saat kampanye. 

Paket sembako akan dikemas dalam satu paket yang di dalamnya ada kartu nama, stiker ataupun alat peraga kampanye (APK) lainnya.

Masyarakatpun juga banyak yang tidak paham, sehingga dalam setiap pertemuan sosialisasi atau kampanye selalu berharap ada amplop atau paket sembako. 

Kalau tidak ada siap-siap akan dicap calon pelit, kata orang Muna "kaoro".

Padahal secara aturan, dalam sosialisasi atau kampanye pemberian konsumsi baik berupa kue atau makanan semua ada batasannya. 

Bagi para calon memberi uang, memberi paket sembako jelas adalah politik uang, jika ditemukan bukti dipastikan akan diproses oleh Bawaslu.

Jangan gara-gara “ada uang, ada suara” pemberi dan penerima terpaksa berurusan dengan hukum, Pidana Pemilu.

Calon terancam pidana dan didiskualifikasi, si penerima akan repot ikut dipanggil dan diperiksa.

Kini pencoblosan tinggal beberapa jam lagi, yuk gunakan hak pilihmu sesuai hati nurani. Jangan Golput ya!