KPK Tak Kunjung Periksa Sri Mulyani di Kasus Korupsi DID Tabanan Bali, Mengapa?

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 27 April 2023 00:12 WIB
Jakarta, MI - Ada apa dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak kunjung memeriksa pegawai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Sri Mulyani sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pengurusan Dana Insentif Daerah (DID) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tabanan, Bali, yang menyeret Bupati Tabanan periode 2010-2015 dan 2016-2021, Ni Putu Eka Wiryastuti (NPEW)? Padahal, KPK sebelumnya (Selasa/17/5/2022) sempat ingin memeriksa Sri Mulyani, namun saat itu ada kekeliruan penulisan jabatan instansi saksi. Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri mengatakan, saat itu saksi yang dipanggil atas nama Sri Mulyani selaku Pengadministrasi umum pada subagian pengajaran dan pelatihan bagian administrasi umum IPDN Kampus Jakarta Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). "Yang bersangkutan tidak hadir dan informasi yang kami terima, terdapat kekeliruan yaitu nama saksi yang dibutuhkan penyidikan dimaksud bukan berprofesi ASN pada IPDN," ujar Ali kepada wartawan, Rabu (18/5/2022) lalu. Akan tetapi kata Ali, saksi Sri Mulyani yang dimaksud seharusnya Sri Mulyani yang bekerja di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). "Tim Penyidik selanjutnya akan mengagendakan pemanggilan saksi lain yang terkait dengan perkara ini," pungkas Ali. Menanggapi hal ini, Pakar Hukum Pidana dari Univeritas Indonesia (UI) Kurnia Zakaria, meragukan keberanian KPK memeriksa saksi yang diduga tahu akan kasus dugaan korupsi tersebut. Padahal, tegas dia, saat ini KPK tengah gencar-gencarnya menyeret oknum-oknum yang merampok uang rakyat. "Ada apa dengan KPK, bukannya saat itu keliru penulisan intasi, bakal memanggil ulang SM atau saksi lainnya. Sudah pergantian tahun juga tak kunjung dipanggil. Juga aneh KPK mengabaikan kehadiran saksi Sri Mulyani dipersidangan, KPK seharusnya memeriksanya," kata Kurnia kepada Monitor Indonesia, Kamis (27/4). Kasus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) mantan Bupati Tabanan Bali Ni Putri Eka Wiryastuti dalam gratifikasi suap ke pejabat Kementerian Keuangan merupakan pengembangan kasus terdahulu persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta . Sementara dalam persidangan Pengadilan Tipikor Denpasar Bali juga terungkap keterangan bahwa terdakwa mantan Bupati Tabanan sesuai Berita Acara Pemeriksaan (BAP). “Saat itu, ia menyatakan bahwa ada keterlibatan saksi Sri Mulyani selaku Staf Pengadministrasi Umum Institut Pemerintahan Dalam Negeri Kampus IPDN Jatinangor Sumedang yang berafiliasi sebagai Perguruan Tinggi Ikatan Dinas Kementerian Dalam Negeri RI yang kemudian hari ternyata dipindahtugaskan sebagai pegawai di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI di Jakarta karena mengikuti tempat tinggal suaminya salah seorang Direksi BUMD Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta,”demikian Kurnia Zakaria. Dalam kasus ini, majelis hakim Pengadilan Tipikor Denpasar dalam amar putusannya menyatakan, Ni Putu Eka Wiryastuti telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama dan berlanjut. Yakni terlibat bersama terdakwa I Dewa Nyoman Wiratmaja menyuap dua mantan pejabat Kementerian Keuangan dalam pengurusan DID Tabanan, Yaya Purnomo (terpidana) dan Rifa Surya (tersangka) sebesar Rp 600 juta dan 55.300 dolar Amerika. Sebagaimana dakwaan alternatif pertama, Eka Wiryastuti dijerat pidana dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU RI No. 20 tahun 2021 tentang Perubahan atas UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Ni Putu Eka Wiryastuti dan I Dewa Nyoman Wiratmaja merupakan pemberi suap, sedangkan penerima suap adalah Rifa Surya. Eka Wiryastuti yang menjabat Bupati Tabanan dua periode dalam melaksanakan tugasnya mengangkat tersangka I Dewa Nyoman Wiratmaja sebagai staf khusus bidang ekonomi dan pembangunan. Mantan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar saat itu mengatakan Ni Putu Eka awalnya mengangkat I Dewa Nyoman sebagai staf khusus bidang ekonomi dan pembangunan. Ni Putu Eka berinisiatif mengajukan permohonan DID dari pemerintah pusat senilai Rp65 Miliar sekitar Agustus 2017. “Untuk merealisasikan keinginannya tersebut, tersangka NPEW memerintahkan tersangka IDNW menyiapkan seluruh kelengkapan administrasi permohonan pengajuan dana DID yang dimaksud,” kata Lili dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (24/3). Lili menyebut I Dewa Nyoman kemudian berkoordinasi dengan pejabat Kemenkeu ketika itu, Yaya Purnomo dan Rifa. Keduanya diduga memiliki kewenangan dan dapat mengawal usulan DID untuk Kabupaten Tabanan 2018. Yaya Purnomo dan Rifa menyanggupi permohonan tersebut. Namun, mereka diduga mengajukan syarat khusus untuk mengawal usulan DID Kabupaten Tabanan dengan meminta sejumlah fee alias “dana adat istiadat”. Menurut Lili, I Dewa Nyoman lantas meneruskan permintaan ini kepada Ni Putu Eka dan mendapat persetujuan. Adapun nilai fee yang ditentukan oleh Yaya Purnomo dan Rifa sebesar 2,5 persen dari alokasi dana DID untuk Kabupaten Tabanan. Selanjutnya, pada sekitar Agustus-Desember 2017, diduga dilakukan penyerahan uang secara bertahap oleh I Dewa Nyoman kepada Yaya Purnomo dan Rifa di salah satu hotel di Jakarta. “Pemberian uang oleh tersangka NPEW melalui tersangka IDNW ini diduga sejumlah sekitar Rp600 juta dan US$55.300,” kata Lili. Lili memastikan pihaknya masih mendalami aliran uang kepada para pihak yang diduga punya andil dalam pengurusan DID Kabupaten Tabanan tahun 2018. Monitor Indonesia telah beberapa kali menngofirmasi terkait rencana pemeriksaan terhadap Sri Mulyani itu, namun hingga saat ini belum ada respons dari lembaga antirasuah itu.  (Wan)