Konflik Pulau Rempang Lebih Buruk dari VOC: Mengatasnamakan Dagang, Menginvasi, Memaksa dan Menguasai Ekonomi!

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 21 September 2023 14:30 WIB
Jakarta, MI - Ekonom Anthony Budiawan menilai konflik di Pulau Rempang lebih buruk daripada Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Pasalnya, ada dugaan kuat sikap pemerintah lebih memihak kepada investor dan mengabaikan hak-hak masyarakat. “Lebih buruk dari VOC. Ini mengatasnamakan dagang, menginvasi, memaksa, dan menguasai ekonomi,” ujar Anthony dalam diskusi yang bertajuk ‘Konflik Tanah Pulau Rempang, Antara Hak Rakyat, Kepentingan Swasta, dan Dilema Hak Guna Usaha’, melalui live streaming YouTube dikutip Monitorindonesia.com, Kamis (21/9). Konflik Pulau Rempang terjadi karena adanya keberpihakan pemerintah terhadap Proyek Rempang Eco City yang masuk daftar Proyek Strategis Nasional (PSN). Hal itu yang membuat pemerintah bergegas mempersiapkan lahan untuk dikosongkan. “Dengan adanya status Proyek Strategis Nasional (PSN) pemerintah punya wewenang mengusir warga,” kata Anthony. Padahal, lanjut dia, investasi ini seharusnya berdasarkan keadilan yang tidak mengorbankan masyarakat setempat. Dirinya juga berharap kepada pemerintah agar proyek Pulau Rempang ini bisa dibatalkan. “Jangan sampai rakyat kecil jadi korban dan ini yang harus diperhatikan. Semoga ini dihentikan dan menghimbau kepada pemerintah untuk melakukan investasi berdasarkan hak asasi manusia,” kata Anthony. Janji Pemerintah Pemerintah Indonesia telah memberikan janji-janji penting kepada warganya yang akan direlokasi dari Pulau Rempang ke Pulau Galang. Janji-janji tersebut bertujuan untuk mendorong warga agar bersedia meninggalkan pulau mereka yang terdampak proyek Rempang Eco City demi kesejahteraan mereka di masa depan. Proyek Rempang Eco City sendiri adalah bagian dari upaya untuk memajukan kesejahteraan masyarakat dan mengoptimalkan potensi wilayah tersebut. Janji pemerintah itu adalah pemberian rumah seharga Rp 120 juta dan tanah seluas 500 meter persegi kepada setiap kepala keluarga yang direlokasi. Selanjutnya, lahan seluas 450 hektare telah disiapkan untuk membangun 2.700 rumah, lengkap dengan sarana olahraga seperti lapangan sepak bola, sarana pendidikan, kantor pemerintah, dan dermaga. Juga, akan dibangun jalan masuk utama untuk memudahkan akses ke kawasan relokasi. Selain rumah dan tanah, pemerintah juga menawarkan bantuan keuangan kepada warga yang direlokasi. Setiap individu akan menerima uang tunggu transisi sebesar Rp1,2 juta dan biaya sewa rumah sebesar Rp1,2 juta. Masyarakat akan dibayar sampai rumahnya selesai. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Hadi Tjahjanto, memberikan informasi bahwa tempat relokasi untuk masyarakat Pulau Rempang telah dipersiapkan di Dapur 3, Pulau Galang, dengan luas mencapai 500 hektare. Janji yang tak kalah penting adalah pemberian hak pengelolaan tanah (HPL) kepada warga yang direlokasi. Hal ini mengindikasikan bahwa warga akan memiliki hak untuk mengelola tanah tersebut, yang dapat berpotensi meningkatkan kesejahteraan mereka di masa depan. Selain janji itu, pemerintah telah berkoordinasi dengan Wali Kota Batam Muhammad Rudi untuk proses pemberian sertifikat tanah kepada masyarakat Pulau Rempang yang akan direlokasi. Proses inventarisasi dan identifikasi sudah dilakukan, dan 16 titik subjek telah ditentukan. Pemerintah berencana untuk langsung menyerahkan sertifikat tanah kepada pemiliknya, sambil melanjutkan pembangunan di kawasan relokasi dan memastikan pemiliknya terus diawasi. (An)