Konflik Pulau Rempang Jadi Sorotan Dunia, Apa Kata Pemerintah Indonesia?

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 21 September 2023 15:42 WIB
Jakarta, MI - Konflik yang terjadi antara warga Pulau Rempang dengan pemerintah juga ikut menjadi sorotan dunia. Ada beberapa kantor berita besar yang mulai membedah mengapa konflik di pulau itu akhirnya terjadi. Pengembangan Pulau Rempang mencakup kawasan industri, perdagangan, termasuk menjadi lokasi pabrik kaca terbesar kedua di dunia milik China Xinyi Group. Majalah di New York, Amerika Serikat (AS), Time, mengabarkan bahwa warga Rempang saat ini sedang berupaya untuk menolak masuknya investasi pembuatan pabrik yang dilakukan pihak produsen pasir kuarsa asal China, Xinyi Group. Mereka menyebut atas pembangunan itu, 7.500 warga terancam direlokasi. "Konfrontasi ini menyoroti meningkatnya ketegangan antara pihak berwenang dan masyarakat lokal di seluruh Indonesia terkait sejumlah proyek infrastruktur, banyak di antaranya didanai oleh perusahaan China, yang mengancam akan menggusur masyarakat adat," tulis Time dikutip Monitorindonesia.com, Kamis (21/9). Sementara itu, di Timur Tengah, media asal Qatar Al Jazeera juga membedah mengapa warga Rempang menolak investasi yang bernilai hingga ratusan triliun itu. Al Jazeera mengatakan pabrik itu dibangun di pusat perekonomian yang dijuluki Rempang Eco-City. Selain itu, media Malaysia, The Star, menulis laporan berjudul "Indonesia kerahkan polisi anti huru-hara usai protes tolak proyek yang didukung China" pada pekan lalu. Polda Kepulauan Riau menyatakan 200 petugas dari unit polisi anti huru hara atau disebut Brimob dan terkenal dengan taktik tangan besinya, dikirim ke lokasi kejadian. "Mereka berasal dari (unit) Brimob Provinsi Riau. Pengerahan ini untuk menciptakan keamanan," kata Kabid Humas Polda Kepri Zahwani Pandra Arsyad, dalam laporan tersebut. Zahwani lalu mengatakan, "Ini merupakan langkah yang hati-hati untuk menjaga keamanan karena Batam, Kepulauan Riau strategis (bagi) masyarakat untuk berbisnis dan berinvestasi." Zahwani juga menyebut lama pengerahan pasukan ini bergantung situasi di lapangan. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menjelaskan duduk perkara konflik pembebasan lahan di Pulau Rempang, Batam. Dia memastikan tindakan yang dilakukan di Pulau Rempang bukan penggusuran, tetapi pengosongan lahan, karena hak atas tanah itu telah diberikan oleh negara kepada entitas perusahaan sejak 2001 dan 2002. “Masalah hukumnya juga supaya diingat, banyak orang yang tidak tahu, tanah itu, [Pulau] Rempang itu sudah diberikan haknya oleh negara kepada sebuah perusahaan, entitas perusahaan untuk digunakan dalam hak guna usaha,” kata Mahfud MD, Jum'at (8/9). Sebelum investor masuk, lanjutnya, tanah ini belum digarap dan tidak pernah ditengok. Pada 2004 dan seterusnya menyusul dengan beberapa keputusan, hak atas penggunaan tanah itu diberikan kepada pihak lain untuk ditempati. Dia melanjutkan situasi menjadi rumit ketika investor mulai masuk ke Pulau Rempang pada 2022. Ketika pemegang hak datang ke sana, ternyata tanahnya sudah ditempati. “Kemudian, diurut-urut ternyata ada kekeliruan dari pemerintah setempat maupun pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian LHK [Lingkungan Hidup dan Kehutanan],” katanya. Oleh karena itu, kekeliruan tersebut pun diluruskan sehingga hak atas tanah itu masih dimiliki oleh perusahaan sebagaimana SK yang dikeluarkan pada 2001 dan 2002. “Proses pengosongan tanah inilah yang sekarang menjadi sumber keributan. Bukan hak atas tanahnya, bukan hak guna usahanya, bukan. Tapi proses, karena itu sudah lama, sudah belasan tahun orang di situ tiba-tiba harus pergi. Meskipun, menurut hukum tidak boleh, karena itu ada haknya orang, kecuali lewat dalam waktu tertentu yang lebih dari 20 tahun,” katanya. Dalam kesempatan yang sama, saat ditanya mengenai status tanah yang kemungkinan merupakan tanah ulayat, Mahfud mengaku tidak mengetahui itu. “Gak tahu saya. Gak tahu. Pokoknya proses itu secara sah sudah dikeluarkan oleh pemerintah,” kata Mahfud MD. Jika memang ada tanah ulayat di Pulau Rempang, Mahfud menyebut kemungkinan datanya ada di Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Pengembangan Pulau Rempang Terlepas dari konflik yang terjadi, ternyata Pulau Rempang yang memiliki luas sekitar 17.000 hektare bakal dikembangkan menjadi kawasan pengembangan terintegrasi untuk industri, jasa/komersial, agro-pariwisata, residensial, dan energi baru dan terbarukan (EBT). Pengembangan tersebut masuk dalam proyek strategis nasional (PSN) bernama Rempang Eco-City. Pengembangan kawasan tersebut dilakukan oleh PT Makmur Elok Graha (MEG), anak perusahaan Grup Artha Graha milik Tomy Winata. Proyek ini memiliki nilai investasi jumbo sebesar Rp381 triliun yang terus dikucurkan sampai dengan 2080 dan ditargetkan dapat menyerap 306.000 orang tenaga kerja. Proyek pengembangan Pulau Rempang diyakini akan memberikan keuntungan bagi negara dari sisi realisasi investasi, dan juga BP Batam selaku pemegang hak pengelolaan lahan di pulau tersebut dari sisi pemasukan pendapatan negara bukan pajak (PNBP). (An)