Konflik Pulau Rempang, Pemerintah Lawan Pancasila?

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 22 September 2023 17:46 WIB
Jakarta, MI - Konflik lahan di Pulau Rempang sebenarnya terjadi pada tahun 2001 berawal dari diterbitkannya Hak Pengelolaan Lahan (HPL) oleh pemerintah pusat dan BP Batam. HPL tersebut diterbitkan untuk perusahaan swasta, yang kemudian HPL tersebut berpindah tangan ke PT. Makmur Elok Graha. Dalam perencanaannya di kawasan Pulau Rempang ini akan dibangun kawasan industri, jasa, dan pariwisata dengan nama Rempang Eco City. Bahkan proyek rempang ini masuk kedalam kategori Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dikelola oleh pemerintah pusat. Teranyar, konflik dipulau Rempang ini mulai muncul lagi saat pemerintah pusat, BP Batam, dan perusanaan pemegang HPL PT Makmur Elok Graha mulai menggarap proyek bernama Rempang Eco City, proyek yang digadang-gadang bisa menarik investor besar ke kawasan ini. Lantas mengapa sekarang diramaikan lagi menjelang pemilu 2024? Pakar hukum tata negara, Tomu Pasaribu saat berbincang dengan Monitorindonesia.com, Jum'at (22/9), menyatakan bahwa berdasarkan kaca matanya, konflik ini menunjukan Pancasila sedang bekerja menjelang hari Kesaktian Pancasila yakni tanggal 1 Okteber 2023. "Persoalannya sekarang kalau dilihat perusahaan ini yang tandatangani, bagi saya mereka ini sudah candu, kecanduan dengan hal-hal seperti itu. Kita lihat pada tahun 2021 menurut pemerintah, dalam aturan HPL itu jelas ada 5 tahun dan diperpanjang lagi 5 tahun, 20 tahun kurang lebih HKL dikasi ke satu perusahaan tidak melakukan usaha apa pun disana," ujar Tompas begitu dia disapa. Kenapa baru diujung masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), baru ini dijadikan alasan dari segala macam cara? Beberapa media, bahkan pengamat mengatakan bahwa ini tidak terlalu besar perusahaan ini. Lalu Menteri Investasi mengatakan 35 ribu orang tidak ada masalah. [caption id="attachment_564903" align="alignnone" width="730"] Ratusan warga memblokir jalan menolak tim gabungan yang hendak melakukan pengukuran lahan di Pulau Rempang (Foto: Doc BP Batam)[/caption] Yang menjadi persoalan cuma 11,6 dolar AS atau setara Rp 173 triliun kecil itu. "Cuman Indonesia kenapa transaksi siluman Rp 349 triliun kemarin di Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Rp 47,1 triliun korupsi komoditas emas, kemudian Rp 8,32 triliun korupsi BTS Kominfo. Kalau ditotal korupsi yang terbongkar ditahun 2023 ini tidak imbang dengan 173 triliun itu. 2.800 baru Rp 381 triliun investasinya, kan nggak nyambung ini pemikirannya," ungkap Tompas. Makna berpikirnya dimana? Maka dari itu Tompus menegaskan bahwa Pancasila sedang bertarung terhadap pemerintah saat ini. Bukan masyarakat dimanfaatkan. "Salah target mereka itu, biasanyakan begitu. Kita ambil contoh saja SCBD berhasil dicaplok gitu, PIK berhasil dicaplok dirugikan tanah negara juga, sekarang jadi milik siapa PIK?" tanya Tompas. Menurut Tompas, ini pemerintah sudah kencaduan seperti pengguna narkoba. "Ini yang sudah candu seperti pengguna narkoba, orang pencandu kan, pesan terus, akan itu bermainnya. Sekarang pemerintah kena batunya, akhirnya Pemerintah bukan bertarung melawan rakyat, tetapi melawan Pancasila NKRI," jelas Tompas. "Itu tarungannya dan investor berapa sih, Rp 173 triliun seperti yang saya katakan, tahun ini saja apa hasil dari korupsi itukan? Kan lenyap artinya begini bahwa terbongkar kasus kerugian Rp 600 triliun kan nguap. Kan menguap ini uang hanya kedengarannya gede hasilnya nanti yang disita sama negara yang Rp 800 miliar, paling banyak Rp 1 triliun," lanjutnya. Sisanya mengungkap, kata Tompas, dibandingkan dengan Rp 173 triliun, tetapi harus memusnahkan atau membuat menderita ribuan rakyat. "Sekarang kena ini Pemerintah. Dari itu kalau dilihat dari hukum tata negara memang Pancasila sedang menunjukkan kelemahan-kelemahan kesalahan pemerintah saat ini. Nanti kita melihat, berani tidak Pemerintah memaksakan hal ini. Apa yang akan terjadi setelah itu, kita lihat saja," tuturnya. Soal keabsahan tanah, tambah Tompas, itu merekalah pemiliknya. Pasalnhya, kata dia, Indonesia lahirnya pada tanggal 17 agustus 1945, artinya mereka sudah ada disana. Kalau mereka dikatakan tidak mempunyai sertipikat dan ini segala macam, pemerintahlah yang salah dengan negara. "Kenapa tidak diberikan kesempatan untuk mengurus itu. Tapi kalau pemerintah mengatakan kemarin seperti itu, pemerintah ada salahnya pemerintah. Kalau pemerintah dari awal konsisten ia dapat suara dari sananya yang dimanfaatkan untuk pemenangan pemilu, itu salah satu contohnya," bebernya. Tompas pun menjelaskan bahwa, sebagai warga negara harus mempunyai hak dan kewajiban. "Kewajiban mereka di Pulau Rempang saya kira sudah dipenuhi. Kewajibannya apa sebagai warga negara, KTP, lalu suaranya diterapkan ketiga pemilu dan segala macam. Kan harus ada sosialisasi untuk masalah sertipikat," ungkap Tompas. Tapi, tegas Tompas, terlepas dari itu tidak ada kapasitas pemerintah Indonesia mengambil hak warga rempang, karena sebelum pemerintah Indonesia ada mereka sudah berkuasa disitu. "Mereka punya hak, karena kemerdekaan itu proklamasi itu kesepakatan, pernyataan bersama. Artinya pemerintah mendengarkan mereka atau tidak mengakui mereka dalam pernyataan kemerdekaan itu ," lanjut Tompas. "Makanya saya bilang ini hati-hati, mau hukum tata negara mana diambil, kita kan tetap harus pancasila dan konstitusi. Kemerdekaan itu pernyataan bersama seluruh rakyat Indonesia yang kala itu nenek moyang kita lah itu, leluhur-leluhur kita itu, sekarang kita dan termasuk mereka. Tiba-tiba hanya untuk mengambil pulau itu dan segala macam," timpal Direktur Eksekutif Komite Pemantau dan Pemberdayaan Parlemen Indonesia (KP3-I) ini. Dengan demikian, Tompas menduga pemerintah sedang melakukan sebuah permainan atau trik. Tetapi ternyata Pancasila lah yang dilawan. "Kena dia, lawannya pancasila, makanya saya bilang hati-hati pemerintah. Ngotot pemerintah itu bisa lepas karena dia ada sebelum Indonesia berdiri, jadi nggak ada kapasitas pemerintah maksain," katanya lebih lanjut. Terakhir, Tompas menambahkan, bahwa jikalau dia ditawarkan sebagai konsultan hukum masyarakat Rempang, maka dia mengarahkan seperti itu. "Nggak ada masalah, sekarang kita ini kan harus fair, kok duit Rp 600 triliun dibuang begitu saja, menguap. Negara diam, pemerintah diam, penegak hukum malah "calo untuk menutup-nutupi". Hanya Rp 173 triliun. Pertanyaannya Rp 173 triliun kepentingan seluruh Indonesia atau Pilpres," katanya. "Kembali lagi kita bertanya, kenapa menjelang pendaftaran capres-cawapres ini dipaksa. Kalau mau jujur, berani nggak habis pemilu deh atau habis jabatan Presiden Jokowi baru kita urus itu. Berani nggak tuh, kalau kepentingan negara," tutup Tomu Pasaribu menimpali. (Lin/Wan)