Penanganan Konflik Rempang Bisa Jadi Bumerang

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 23 September 2023 13:42 WIB
Karikatur - Penanganan Konflik Rempang Bisa Jadi Bumerang Proyek pengembangan Rempang Eco-City menjadi bagian dari Program Strategis Nasional (PSN) yang akan mengintegrasikan kawasan industri, pariwisata, energi baru dan terbarukan (EBT). Proyek ini mendapat penolakan dari sejumlah warga setempat. Bentrokan antara aparat dan warga terjadi di Rempang Galang, Batam, Kamis (7/9). Penolakan warga yang menolak relokasi disambut aparat yang berusaha menerobos barikade. Aparat membawa water canon dan gas air mata untuk membubarkan massa. Sementara massa mencoba melawan dengan melempari aparat menggunakan batu. BP Batam berencana melakukan pengukuran dan mematok lahan yang akan digunakan untuk investasi di Pulang Rempang dan Galang. Ribuan rumah warga yang terkena proyek strategis nasional itu rencananya akan direlokasi ke sebuah lokasi di Sijantung. BP Batam berencana melakukan pengembangan Rempang Eco City. Pengamat kebijakam publik Agus Pambagio menduga ada tumpang tindih terkait dengan kepemilikan lahan sehingga mengakibatkan konflik agraria di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Menurut Agus sebaiknya Kementerian ATR/BPN bisa memperbaiki data atas kepemilikan lahan di Pulau Rempang yang diduga ada tumpang tindih. "Saya curiga setelah adanya rencana pengembangan Pulau Rempang di tahun 2000 an, kemudian banyak yang mencari tanah disana dan dikasih surat sehingga kepemilikannya pun tumpang tindih. Nah ini yang harus dirapikan oleh pihak ATR/BPN," begitu kata Agus. Agus mengatakan bahwa perencanaan adanya proyek di Pulau Rempang memang sudah sejak lama sekitar Tahun 2000-an. Namun, proyek tersebut tak kunjung digarap dan lahan itu dibiarkan begitu saja, sehingga dijadikan tempat pemukiman masyarakat. "Tapi perlu kita ketahui, di Indonesia mayoritas itu kepemilikan tanahnya itu kurang jelas, karena dari awal dulu surat menyurat itu mereka ngga punya, karena itu tanah negara, tapi sudah digarap ditinggali puluhan tahun begitu," ungkapnya. Bahkan Agus menyebut bahwa secara legal, tak ada peraturan yang mengharuskan pemerintah melakukan ganti rugi terhadap tanah milik negara yang ditinggali masyarakat. "Karena dalam peraturan kalau tanah milik negara kayak HGB dan sebagainya kalau diminta negara masyarakat harus pergi," imbuhnya. Masalah konflik agraria itu menjadi bumerang bagi masyarakat terkait adanya statement janji kampanye Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tahun 2019 lalu yang disebut akan memberikan sertifikat kepada masyarakat. "Tadi saya lihat ada program kalo presiden kampanye pada tahun 2019 bahwa janji kasih sertifikat kaya gitu lho, dan itu tidak dikomunikasikan dengan baik," lanjutnya. Ketika investor ingin membangun lahan tersebut menjadi terhambat karena kurangnya data studi sosial antropologi. Menurutnya, dalam hal ini pemerintah tak mengkaji terkait dengan studi ilmu sifat manusia dan lain sebagainya. Agus juga menduga adanya konflik kepentingan dibalik permasalahan agraria yang ada di Pulau Rempang. (Wan/Gatot Eko Cahyono)