Melahirkan di Rumah Kena Denda Ratusan Ribu Rupiah! Bagaimana Aturan Kemenkes?

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 17 Desember 2023 15:59 WIB
Ilustrasi Bayi (Foto: MI/Net/Ist)
Ilustrasi Bayi (Foto: MI/Net/Ist)
Jakarta, MI - Di Muna Barat (Mubar), Desa Guali Kecamatan Kusambi, Sulawesi Tenggara (Sultra) salah seorang ibu rumah tangga inisial LS (30) terpaksa harus membayar kepada pihak pusat pelayanan masyarakat (Puskesmas) ratusan ribu rupiah/sekitar Rp 700 ribu.

Padahal, berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Muna Barat Nomor 2 Tahun 2022 tidak dicantumkan besar dari pada sanksi administrasi itu.

Adalah pada Bab IX Sanksi Administrasi, Pasal 34 berbunyi: 

(1) Bagi sarana pelayanan kesehatan dan Tenaga kesehatan ibu, bayi baru lahir, bayi dan anak balita yang melanggar atau tidak memberikan pelayanan sesuai dengan Peraturan Daerah ini akan dikenakan sanksi administrasi.

(2) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa peringatan lisan, peringatan tertulis, penutupan sementara, pencabutan izin, dan penutupan kegiatan.

(3) Tata cara pemberian sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Monitorindonesia.com, pada beberapa waktu lalu saat berbincang dengan salah satu keluarga LS itu menyatakan bahwa, saat pandemi covid-19 lalu, banyak yang dikenai denda jika melahirkan di rumah sendiri.

"Banyak sekali mereka bayar itu hari, Tapi emang sih saya dengar-dengar kalau lahirnya di rumah itu dikenakan denda," kata S.

S pun menambahkan bahwa, LS saat itu membayar Rp 700 ribu karena dalam proses melahirkannya dibantu dengan dua Bidan. "Dia bayar Rp 700 ribu karena dia pake dua orang bidan. Tapi kalau melahirkan di puskesmas gratis," tambah S.

Pada beberapa bulan yang lalu, Monitorindonesia.com menanyakan hal ini kepada warga setempat, apakah ratusan ribu rupiah itu bayar kepada pihak Puskermas?  "Itu saat pandemi covid-19, mereka bayar ada yang Rp 700 hingga Rp 600 ribu," kata warga inisial A.

Kendati, yang menjadi permasalahannya disini, lanjut A adalah, bukan soal sanksinya saja. Akan tetapi, apakah dengan menggunakan dukun beranak akan dilarang juga? Dan belum lagi, jika di Puskesmas mengantri hingga berjam-jam.

"Ya kalau dia mendadak mau melahirkan bagaimana? harus membawa lari ke puskemas yang lokasinya jauh dari rumah, misalnya dia tinggal di kebun atau jauh dari pukesmas itu. Ini mungkin saja tidak di Muna Barat saja, bagaiamana di daerah lainnya," ungkap A.

Atas hal ini Monitorindonesia.com, mencoba membandingkan dengan di daerah lainnya, apakah aturan itu serupa. Monitorindonesia.com, Minggu (17/12) melakukan wawancara dengan salah warga Lubuk Kuyung Desa Sukamulya, Tanggamus, Provinsi Lampung. Yakni Ahmadi (50) mengatakan bahwa, baru mengetahui ada aturan seperti itu. 

"Di sini nggak ada sih, dan saya baru dengar, kok orang ngelahirin di rumah sendiri itu kena denda ya. Ya mungkin saja, semua daerah berbeda-beda pertaruannya," kata Ahmadi.

"Masa iya sih tega orang melahirkan di rumah kena denda sama pihak rumah sakit," tambah Ahmadi.

Adapun hal ini juga terjadi di Aceh Selatan pada tahun 2015 lalu. Bahwa ada peraturan yang diterapkan oleh Puskesmas Kampung Paya, Kecamatan Kluet Utara, Aceh Selatan berupa denda Rp 500.000 bagi ibu yang melahirkan di rumah.

Peraturan itu dimaksudkan agar masyarakat memanfaatkan fasilitas puskesmas untuk persalinan. Seorang warga Kampung Paya, Kecamatan Kluet Utara kepada Serambi, Rabu (1/4) menilai kebijakan itu terlalu dipaksakan.  

"Jangan dilarang masyarakat untuk melahirkan di rumah menggunakan jasa dukun beranak dan bidan yang menetap, kecuali bisa dijamin masyarakat memperoleh pelayanan yang baik di puskesmas,” katanya.

Sementara itu, Kepala Puskesmas Kampung Paya, Hj Zahdiaton SKM kebijakan tersebut semata–mata agar masyarakat bisa memanfaatkan fasilitas kesehatan yang disediakan secara gratis oleh pemerintah.

“Benar, aturan yang mewajibkan pasien melahirkan di puskesmas tersebut kami buat agar ibu yang melahirkan bisa memanfaatkan fasilitas gratis yang disediakan pemerintah. Apalagi di setiap desa sudah ada polindes dan pustu,” kata Zahdiaton.

Tak hanya itu, seorang ibu rumah tangga (IRT) di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, juga dikenai denda oleh bidan puskesmas karena melahirkan di rumah dengan bantuan dukun. 

Hal ini dialami oleh Susanti (17), warga Desa Padangloang, Kecamatan Cina, ini bermula saat ia hendak melahirkan bayi perempuannya pada Sabtu, 14 Mei 2016 lalu di rumahnya dengan bantuan seorang dukun. 

Awalnya, Susanti rutin melakukan pemeriksaan di puskesmas setempat dan diharuskan melahirkan di sana juga. Namun karena tak punya biaya, apalagi suaminya, Suardi (40) merupakan penyandang tunanetra yang tak punya pekerjaan tetap, Susanti pun terpaksa melahirkan di rumahnya dengan bantuan dukun. 

Tiga hari kemudian, bidan setempat kemudian datang dan langsung memarahi Susanti lantaran tidak melahirkan di puskesmas. Tak hanya itu, Susanti diwajibkan membayar denda Rp 700.000. 

"Katanya ini aturan karena saya melahirkan di rumah bukan di puskesmas, padahal saya tidak punya uang jadi terpaksa saya harus mengutang sama tetangga," kata Suardi sambil memperlihatkan kwitansi pembayarannya. 

Sementara itu, bidan puskesmas, Asniati yang ditemui sejumlah awak media mengaku bahwa uang tersebut merupakan uang jasa baginya untuk dibagikan kepada petugas di puskesmas. 

Hal tersebut, kata dia, berdasarkan peraturan yang ditetapkan oleh puskesmas. "Itu uang jasa, dan itu sudah diatur dalam aturan puskesmas. Peraturan ini sudah berjalan sejak Februari tahun 2016 lalu," kata Asniati kepada wartawan, Rabu (18/5/2016) siang tadi. 

Lebih jauh, Asniati menjelaskan bahwa aturan yang dikeluarkan pihak puskesmas itu mewajibkan kepada warga yang menjalani proses persalinan di rumah, membayar uang jasa kepada petugas puskesmas. "Ini lampiran aturannya pak, silakan dilihat," ujar Asniati. 

Berdasarkan lampiran denda yang diperlihatkan Asniati tertera tarif pembayaran jasa yang nilainya jika dijumlahkan bervariasi, mulai dari Rp 700.000 hingga Rp 2,5 juta.

Bagaimana Aturan Kemenkes?

Permenkes No. 97 Tahun 2014 Pasal 14 ayat (1) yang berbunyi persalinan harus dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan (Fasyankes) tidak berarti adanya larangan bidan untuk melakukan persalinan di luar Fasyankes. Bidan justru dapat melakukan persalinan di luar Fasyankes jika Fasyankes tersebut sulit dijangkau oleh warga. Hal itu jelas dikatakan dalam PP No. 61 Tahun 2014 pasal 16 angka 4.

“Ketentuan ini muncul dengan dilatarbelakangi adanya disparitas geografis di negara kita baik dari sisi alam maupun transportasi yang tidak memungkinkan. Pelayanan kesehatan harus sama dilakukan di setiap daerah di Indonesia,” jelas Kepala Biro Hukum dan Organisasi, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Sundoyo, Minggu (23/7) lalu.

Hal ini merespons juga berita bahwa bidan tidak mau datang ke rumah pasien karena dilarang Permenkes No. 97 Tahun 2014 dan akan mendapatkan sanksi denda. Padahal, penafsiran atas Permenkes tersebut tidak seperti itu.

Ketentuan persalinan harus dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan merupakan kebijakan Pemerintah dalam menjaga kesehatan ibu dan mengurangi angka kematian ibu. Di samping adanya pengecualian pada kondisi tertentu dapat dilakukan di luar Fasyankes.

Selain itu, pada Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) menjelaskan adanya 5 aspek dasar dalam persalinan yang merupakan bagian dari standar Asuhan Persalinan Normal (APN), yakni, membuat keputusan klinik, asuhan sayang ibu dan sayang bayi, pencegahan infeksi, pencatatan (rekam medis) asuhan persalinan, dan rujukan pada kasus komplikasi ibu dan bayi baru lahir. Semua aspek tersebut hanya dapat dilakukan di Fasyankes.

“Ketentuan persalinan harus dilakukan di Fasyankes tidak melarang tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan dalam melakukan persalinan untuk menolong persalinan di luar Fasyankes, sehingga sejalan dengan ketentuan Pasal 16 ayat (4) PP No. 61 Tahun 2014,” kata Sundoyo.

Selanjutnya, tambah Sundoyo, Permenkes No. 97 Tahun 2014 tidak memiliki ketentuan sanksi apalagi sanksi pidana yang ketentuannya hanya ada di Undang-undang dan Peraturan Daerah. 

Tidak dicantumkannya sanksi dalam Permenkes ini dilatarbelakangi bahwa substansi pengaturan hanya berisi program-program kebijakan pemerintah. Tujuannya untuk menjaga kesehatan ibu dan mengurangi angka kematian ibu. Artinya, substansi dalam Permenkes merupakan tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah pada pelayanan kesehatan ibu.

“Dengan demikian apabila ditemukan ada Peraturan Daerah yang memberikan sanksi denda kepada tenaga kesehatan dalam melakukan pertolongan persalinan diluar Fasyankes adalah berlebihan dan tidak sesuai dengan NSPK (Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria) yang disusun oleh pemerintah, yakni PP No. 61 Tahun 2014, dan Permenkes No. 97 Tahun 2014,” tandasnya.

Monitorindonesia.com telah meminta komentar soal ini kepada Komisi IX DPR RI sebagai komisi yang mempunyai ruang lingkup tugas salah satunya di bidang kesehatan, namun belum ada respons. (Wan)