Semakin Terpuruk, Harga Batu Bara Ambruk 13,8% Sepanjang Januari

Zefry Andalas
Zefry Andalas
Diperbarui 26 Januari 2024 07:39 WIB
Ilustrasi - Bongkar muat batu bara. (Foto: ANTARA)
Ilustrasi - Bongkar muat batu bara. (Foto: ANTARA)

Jakarta, MI - Harga batu bara semakin ambruk hingga menyentuh posisi terendah sejak 8 Juni 2021 atau sekitar 2,5 tahun lebih. Kejatuhan harga batu bara ke bawah level psikologis US$ 120 terjadi seiring dengan proyeksi makin menurunnya permintaan.

Merujuk pada Refinitiv, harga batu bara ICE Newcastle kontrak Februari ditutup di posisi US$ 118,1 per ton atau melemah 2,9% pada perdagangan, Kamis (25/1).

Harga tersebut adalah yang terendah sejak 8 Juni 2021 (US$119 per ton). Pelemahan tersebut juga memperpanjang tren negatif harga batu bara yang sudah jatuh selama tiga hari beruntun dengan pelemahan mencapai 4,7%. Dan, sepanjang Januari tahun ini, harga batu bara sudah ambruk 13,8%.

Adapun, penurunan harga batu bara dipengaruhi oleh sejumlah faktor global yang signifikan, termasuk keputusan Jerman untuk mengeluarkan pembangkit listrik tenaga batu bara dari pasar demi keamanan pasokan, serta kendala transportasi melalui terminal batu bara terbesar di Afrika Selatan.

Menurut laporan dari Montel News, keputusan Jerman untuk mengeluarkan pembangkit listrik tenaga batu bara sebesar 5.980 MW dari pasar diharapkan memberikan sinyal positif terhadap harga batu bara di musim dingin mendatang.

Pembangkit tersebut dijadwalkan untuk keluar dari pasar tenaga listrik pada akhir Maret, setelah kapasitas sebesar itu dikeluarkan dari skema cadangan jaringan listrik pada tahun 2022. Langkah ini diambil sebagai respons terhadap pemangkasan pasokan gas dari Rusia sebagai dampak dari perang Rusia-Ukraina.

Sementara itu, laporan dari OilPrice menyebutkan bahwa Terminal Batu Bara Richards Bay (RBCT) di Afrika Selatan, yang merupakan terminal pengapalan batu bara terbesar di dunia, mengalami penurunan volume ekspor batu bara sebesar 6,2% secara tahunan pada tahun 2023. Ini merupakan level terendah sejak tahun 1992, yang disebabkan oleh tantangan dalam transportasi melalui jalur kereta api.

CEO RBCT, Alan Waller, menyatakan bahwa terminal tersebut hanya mengirimkan 47,2 juta ton batu bara pada tahun 2023.

Penurunan ekspor ini terutama disebabkan oleh tantangan transportasi melalui jalur kereta api yang terkendala di operator kereta api negara, Transnet SOC Ltd. Perusahaan ini mengalami kesulitan mengirimkan batu bara karena kekurangan lokomotif dan seringnya terjadi pencurian dan perusakan pada infrastruktur.

Pada tahun lalu, permintaan batu bara di Eropa menurun, sehingga pengiriman RBCT ke benua tersebut turun sebesar 57% secara tahunan.

India menjadi tujuan ekspor terbesar batu bara dari RBCT dengan jumlah sekitar 19,7 juta ton pada tahun lalu. Meskipun Transnet berharap mengirimkan 60 juta ton batu bara ke terminal ekspor pada 2023, target tersebut tidak tercapai. Untuk tahun 2024, RBCT menetapkan target ekspor sebesar 50 juta ton batu bara.

Tantangan dalam transportasi batu bara melalui kereta api semakin rumit setelah dua kereta bertabrakan hampir dua minggu yang lalu. Transnet harus bekerja keras untuk membersihkan jalur kereta api menuju RBCT. Meskipun demikian, perusahaan pertambangan batu bara besar, Thungela Resources, menyatakan bahwa mereka tidak mengharapkan insiden tersebut berdampak signifikan pada operasional mereka.

"Diharapkan bahwa tabrakan ini akan memiliki dampak terbatas pada operasional kami. Kami terus berkomunikasi dengan Transnet dan mengharapkan pembaruan mengenai kapan layanan akan pulih dalam waktu yang sesuai," ungkap Thungela (16/1/2023).

Dengan adanya perubahan signifikan dalam pemasok dan transportasi batu bara, pasar global saat ini tengah menghadapi dinamika yang kompleks yang berpotensi mempengaruhi harga dan pasokan energi dunia.