Harga Beras Polemik Berulang! Petani Beberkan Hal Ini

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 29 Februari 2024 16:16 WIB
Ilustrasi - Petani Padi (Foto: MI/Net/Ist)
Ilustrasi - Petani Padi (Foto: MI/Net/Ist)

Jakarta, MI - Kenaikan harga dan kelangkaan beras selalu menjadi polemik yang berulang, terutama pada periode akhir dan awal tahun. Alasan yang kerap disebut memicu persoalan tahunan ini adalah kondisi cuaca.

Pun pemerintah menggelontorkan beras dari gudang Perum Bulog dengan klaim untuk menurunkan harga beras di pasar. Untuk menjamin ketersediaan beras, pemerintah sejak Maret 2023 juga memberikan jatah 10 kilogram beras untuk 22 juta keluarga setiap bulan, hingga Juni 2024. 

Namun hingga saat ini harga beras masih "mencekik leher". “Harga beras saat ini mencekik leher," kata Arman (30) salah satu warga di Kebumen, Jawa Tengah (Jateng) saat berbincang dengan Monitorindonesia.com, Kamis (29/2).

Meski Arman tidak membeli beras di warung-warung, namun dia kerap mendapat keluhan warga lainnya bahwasanya harga memang tinggi pasca pemilu 2024 kemarin.

"Waah saya belum pernah beli beras, masih punya sendiri," tambah Arman.

Di sisi lain, selain dipengaruhi kondisi cuaca, Arman menyatakan abhwa salah satu pendorong masalah pangan adalah dengan kesediaan pupuk yang saat ini sulit didapat. Sehingga, produksi hasil pangan pun menjadi kesulitan. "Kalau pupuk emang susah," tukas Arman.

Hal ini juga sempat dikatakan oleh Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi bahwa permasalahan-permasalahan yang kerap ditemui saat ini terkait dengan pupuk. Pupuk menjadi salah satu faktor penyebab harga beras meningkat, sehingga pemerintah sedang berupaya memenuhi kebutuhan pupuk. 

"Kalau harga gabahnya itu baik, pupuk komersial akan lebih dibesarkan porsinya," kata Arief belum lama ini.

Lonjakan harga beras dipicu produksi gabah yang menurun pun diungkapkan juga Henry Saragih selaku Ketua Umum Serikat Petani Indonesia.

Anjloknya produksi gabah disebabkan faktor iklim seperti El Nino yang menyebabkan kekeringan serta La Nina yang meninggikan curah hujan dan potensi banjir di Indonesia. Henry tidak memungkiri faktor alam yang turut disebut Jokowi memicu mundurnya masa panen awal 2024.

Penurunan produksi gabah juga dipicu harga pupuk nonsubsidi yang melambung pada tahun 2023. Menurut Henry, selama tahun 2023 jatah pupuk subsidi untuk juga berkurang.

Pemicu nonalam selain pupuk, kata Henry, adalah alih fungsi lahan pertanian padi. Setiap tahun 90 ribu sampai 100 ribu hektare sawah berubah fungsi, menurut data Kementerian Pertanian tahun 2022.

Padahal, setiap tahun pencetakan sawah baru hanya mencapai 60.000 hektare, berdasarkan catatan Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Dalam hitungan Litbang Kompas, dari selisih sawah yang hilang setiap tahun itu saja, produksi gabah di Indonesia turun hingga 174.000 ton per tahun.

Alih fungsi sawah menjadi lahan pertanian lain seperti jagung, juga disebut Henry sebagai tren meluas yang menyebabkanya produksi gabah turun.

Di Kecamatan Ampek Nagari, Kabupaten Agam, Sumatra Barat, misalnya, petani mengubah sawah mereka menjadi lahan jagung karena biaya produksi gabah yang tinggi ketimbang jagung. Dalam riset Dwi Fitriandhini, mahasiswa di Universitas Negeri Padang, pada tahun 2022, pendapatan petani meningkat hingga Rp9 juta setelah beralih dari padi ke jagung.

Di tempat lain, sawah juga dikonversi menjadi lahan pertanian selain padi. Di Kecamatan Kembangbahu, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, selama periode 2017-2020 petani mengubah sawah mereka menjadi kebun tebu. 

Merujuk riset tiga mahasiswa Universitas Muhammadiyah Gresi, Maya Suwahyuni, Anita Handayani, dan Wasti Reviandani—alasan para petani di Lamongan untuk beralih menenam tebu adalah potensi pendapatan yang lebih tinggi daripada gabah.

Penurunan Produksi Gabah Setiap Tahun

Prof Dwi Andreas Santosa, pengajar di Insitut Pertanian Bogor sekaligus Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) menilai bahwa penurunan produksi gabah di Indonesia setiap tahun rata-rata mencapai 1%, kata 

Penurunan ini konstan terjadi karena petani enggan terus-menerus menanggung kerugian karena harga jual tak sebanding dengan biaya produksi.

”Selama 10 tahun terakhir, petani merasakan kerugian pada lima tahun di antaranya. Lalu buat apa mereka menanam padi? Itu yang membuat banyak dari petani berhenti menanam padi,” kata Andreas.

Menurut Andreas, kerugian itu dipicu kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan konsumen ketimbang petani. Wujud dari ketimpangan itu, kata dia, terwujud dalam harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah kering panen yang dipatok lebih rendah daripada biaya produksi yang ditanggung petani.

Saat ini HPP gabah kering panen berada di nominal Rp5.000 per kilogram. Sebagai perbandingan, biaya produksi yang dikeluarkan petani pada tahun 2022 mencapai Rp5.700 kilogram. 

Karena enggan rugi, banyak petani tidak bersedia bertransaksi dengan Bulog. Konsekuensi dari kecenderungan yang menahun ini, menurut Anderas, Bulog harus memenuhi kuota cadangan beras melalui skema impor.

“Dengan kapasitas gudang mereka sekarang, Bulog sebenarnya mampu menyimpan sektar 3 juta ton beras atau 10% dari produksi gabah nasional,“ ujar Andreas.

“Namun 10% gabah nasional itu harus dibeli Bulog dengan harga yang wajar. Beras hasil penggilingan gabahnya lalu bisa mereka gunakan untuk mengintervensi pasar, terutama pada masa akhir tahun sampai awal tahun ketika harga beras cenderung naik. Idealnya seperti itu,“ tuturnya.

Situasi dan peran Bulog yang tidak ideal seperti saat inilah, menurut Andreas, yang membuat pemerintah tidak akan pernah memiliki solusi berkelanjutan untuk persoalan ketersediaan dan harga beras.

Dengan status perusahaan umum, ungkap dia, Bulog akan sulit membeli gabah kering dari petani lokal dengan harga yang bersaing dengan perusahaan swasta. 

Selama bertahun-tahun terakhir, kata Andreas, petani lokal lebih memilih menjual gabah kering mereka kepada swasta. Alasannya, hanya perusahaan besar yang mempu membeli harga gabah kering panen dengan margin keuntungan untuk petani.

“Kembalikan Bulog ke posisi semula sebagai penyangga pangan. Bulog semestinya boleh rugi karena tugas menyangga pangan. Dengan begitu mereka membeli gabah dengan harga lebih tinggi dari harga pasar, lalu menjual beras yang mereka simpan saat paceklik dengan harga di bawah pasar".

“Sekarang Bulog harus untung karena mereka berstatus perusahaan umum. Kalau tidak boleh rugi, saat ada persoalan harga dan ketersediaan beras seperti hari-hari ini, buat apa pusing, mereka tinggal impor saja,“ tambah Andreas.

Berdasarkan Pasal 6 Peraturan Pemerintah 7/2003, Bulog bukan saja ditugaskan untuk memberikan manfaat kepada masyarakat melalui urusan pangan, tapi juga “memupuk keuntungan“.

Tak Perlu Khawatir

Direktur Utama Perum Bulog Bayu Krisnamurthi menghimbau agar masyarakat tak perlu khawatir akan kenaikan harga beras dan stok beras, yang belakangan ini menjadi polemik di dalam negeri. 

Menurutnya, saat ini harga mulai stabil dan normal kembali karena pasokan beras di Pasar Induk Johar Karawang mulai masuk dari Jawa Tengah yang mulai panen raya.

"Masyarakat tak perlu khawatir kini harga mulai normal dan stabil. Harga beras premium yang kemarin sempat tembus Rp17 ribuan, saat ini bertahap mulai turun dan kembali ke harga di kisaran Rp14 ribuan. Begitu juga beras medium, harga mulai stabil," kata Bayu dalam keterangan tertulisnya, dikutip Kamis (29/2).

Bayu menjelaskan, harga beras memang terkadang naik, lantas normal kembali itu sebenarnya sudah menjadi siklus tahunan, kalau dicermati. Itu juga terjadi pertengahan tahun lalu. Hanya saja tahun ini memang panen agak mundur, karena faktor alam.

"Memang faktor alam tidak bisa kita hindari. Badai El Nino yang melanda, mempengaruhi produksi yang sempat berkurang karena adanya gagal panen di sejumlah wilayah," jelasnya.

Selain faktor alam El Nino, Bayu juga menyinggung soal kebutuhan pupuk petani yang mahal. Hal itu juga mempengaruhi produktivitas padi petani, karena tidak semua kebutuhan pupuk petani terpenuhi. Kini, kata Bayu, pasokan beras mendekati normal menjelang Ramadhan dan Idul Fitri 1445 Hijriah. Jadi masyarakat tak perlu risau.

Berdasarkan prognosa neraca pangan nasional periode Januari-Desember 2024 yang telah disusun oleh Badan Pangan Nasional (Bapanas), kebutuhan beras Indonesia pada 2024 mencapai 31,2 juta ton.

Bayu menuturkan, kebutuhan beras hingga Juni sudah terpenuhi, sehingga menurutnya untuk 6 bulan ke depan stok beras nasional sudah aman.

"Kebutuhan setiap tahun memang kita lakukan per enam bulan," kata Bayu.

Ia memastikan, pihaknya akan terus melakukan berbagai langkah dan upaya dalam mengendalikan harga beras, sehingga dapat menjaga stabilitas di pasaran. "Diharapkan beras di pasaran dapat segera kembali ke kondisi normal untuk kesejahteraan masyarakat," harapnya.

Lebih lanjut, Bayu mengatakan komitmen Bulog untuk terus memantau perkembangan harga dan pasokan beras di pasar, serta melakukan langkah-langkah strategis demi menjaga stabilitas pasar dan kesejahteraan masyarakat, salah satunya dengan penyaluran beras program SPHP.

"Stok cadangan beras pemerintah di Bulog saat ini jumlahnya sangat cukup, untuk kebutuhan penyaluran kebutuhan selama puasa dan lebaran," ujarnya.

Bahkan, lanjut Bayu, stok beras yang saat ini ada di gudang Bulog mampu memenuhi kebutuhan penyaluran beras program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) yang disalurkan ke pasar induk, pasar tradisional dan ritel modern. Stok beras Bulog juga mampu untuk memenuhi kebutuhan penugasan penyaluran bantuan pangan beras 10 kg yang menyasar 22 juta keluarga Penerima Bantuan Pangan (PBP) yang direncanakan hingga Juni 2024.