Menanti Ujung Praperadilan Firli Bahuri

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 16 Desember 2023 23:33 WIB
Firli Bahuri (Foto: MI/Net/Ist)
Firli Bahuri (Foto: MI/Net/Ist)

Jakarta, MI - Penetapan tersangka terhadap Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif Firli Bahuri dalam kasus dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL) berujung saling klaim antara pihak Polda Metro Jaya dan KPK itu sendiri. Gugatan praperadilan yang dijaukan kubu Firli Bahuri pun bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Teranyar sidang gugatan ini berlanjut pada Jum'at (15/12) kemarin. Dalam sidang itulah Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) penetapan Firli Bahuri tersangak dibeberkan. Pihak kepolisian melalui AKP Denny Siregar selaku Penyidik Subdit III Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dittipidkor) Bareskrim Polri.

Denny membenarkan ada sprindik baru yang dikeluarkan pada 23 November 2023. Sprindik tersebut memuat Firli sebagai tersangka, berbeda dengan Sprindik sebelumnya yang belum mencantumkan tersangka. Ini yang dipermasalahkan oleh kubu Firli Bahuri.

Pengacara Firli Bahuri, Ian Iskandar dalam ruang sidang itu bertanya "Apakah saksi tahu setelah ada penetapan tersangka terhadap pemohon (Firli Bahuri), ada keluar lagi Sprindik baru tanggal 23 November dan SPDP baru yang dikeluarkan penyidik?"

Denny menjawab "Bahwa saya tahu penerbitan Sprindik baru tanggal 23 November, tentunya merujuk pada SPDP terdahulu yamg belum mencantumkan tersangka. Maka, menindaklanjuti daripada gelar perkara dan sudah menemukan tersangkanya, kami menerbitkan administrasi penyidikan sebagaimana yang disebutkan pemohon."

Dalam repliknya, kubu Firli mempersoalkan hal tersebut. Menurut Ian, penetapan tersangka terhadap kliennya tidak sah karena ada Sprindik baru yang diterbitkan. "Bahwa setelah dilakukannya penetapan tersangka terhadap pemohon oleh termohon [Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Karyoto] berdasarkan Surat Ketetapan tentang Penetapan Tersangka Nomor: S.Tap/325/XI/RES.3.3./Ditreskrimsus Tanggal 22 November 2023, termohon mengeluarkan lagi Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP.Sidik/7539/XI/RES.3.3/2023/Ditreskrimsus Tanggal 23 November 2023 sekaligus mengirimkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan tertanggal 23 November 2023," isi replik Firli.

"Tentu menimbulkan pertanyaan besar, kenapa termohon menerbitkan lagi Surat Perintah Penyidikan yang baru untuk nama yang sama yaitu pemohon, serta keseluruhan Pasal yang disangkakan sama pula? Ini membuktikan masih kurangnya bukti yang dimiliki oleh termohon pada saat menetapkan pemohon sebagai tersangka," lanjut replik Firli.

Denny pun membeberkan empat alat bukti yang dimiliki penyidik untuk menjerat Firli sebagaimana ketentuan Pasal 184 KUHAP. Yaitu keterangan saksi, surat, petunjuk, dan keterangan ahli.

Jika hanya merujuk pada pasal 184 KUHAP, lanyas bagaimana dengan pasal mengatur penyidikan dan penyelidikan lainnya? dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014?

Dalam Pasal 17 KUHAP menguraikan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana, dimana wewenang penangkapan tersebut dilakukan oleh penyelidik atas perintah penyidik, penyidik dan penyidik pembantu

Pasal 21 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa pejabat yang berwenang menahan dapat menahan tersangka/terdakwa apabila menurut penilaiannya si tersangka/terdakwa di khawatirkan hendak melarikan diri, menghilangkan barang bukti serta dikhawatirkan mengulangi tindak pidana lagi.

Ketentuan ini disinggung oleh Pakar Hukum Pidana Universitas Pancasila, Agus Surono. Bahwa, dia menilai penetapan tersangka terhadap Firli Bahuri tidak dilakukan dengan prinsip kehati-hatian atau prudent, sehingga tidak memenuhi proses hukum yang adil atau due process of law.

“Berdasarkan ketentuan Pasal 17 jo Pasal 21 ayat (1) KUHAP, dalam proses penyidikan suatu perkara pidana haruslah dilakukan secara prudent (kehati-hatian), yang sangat penting sebagai wujud dari implementasi asas due proses of law dalam penegakan hukum perkara pidana,” tutur Agus kepada wartawan, Sabtu (16/12).

Penyidik Polda Metro Jaya, menurut Agus, tidak hati-hati dalam proses penyelidikan kasus Firli Bahuri, terutama soal mencari bukti permulaan yang cukup sebelum meningkatkan penyelidikan ke penyidikan dan menetapkan Firli Bahuri sebagai tersangka.

“Sebelum melakukan proses penyidikan dalam perkara pidana, harus didahului dengan proses penyelidikan terlebih dahulu untuk memastikan telah terjadi suatu tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagai wujud due process of law,” bebernya.

Agus mengatakan, proses penyelidikan dan penyidikan terhadap Firli Bahuri yang diduga tidak dilakukan sesuai asas due process of law telah membuat penetapan tersangka dapat dikualifikasi menjadi tidak sah dan cacat hukum.

“Oleh karena dalam dalam menetapkan tersangka dilakukan tanpa didasarkan pada alat bukti yang cukup sebagaimana Pasal 1 angka 14 jo Pasal 17 jo Pasal 21 KUHAP jo Pasal 183 JUHAP jo Pasal 184 KUHAP serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 adalah cacat hukum dan tidak sah penetapan Firli Bahuri sebagai tersangka,” jelasnya.

Agus menambahkan, bahwa dua alat bukti yang harus dibuktikan oleh Polda Metro Jaya bukan hanya terkait formalitas saja, namun juga dua alat bukti yang memiliki relevansi dengan yang dituduhkan.

“Apabila hal tersebut tidak terpenuhi yaitu terkait syarat kuantitas, kualitas (subtansi materilnya) dan ada relevansinya antara alat bukti dengan peristiwa pidana yang disangkakan kepada tersangka, maka proses hukum penetapan tersangka tersebut tidak sah dan cacat hukum,” ujarnya.

Dia pun mengulas Pasal 183 KUHAP yang berbunyi, ‘hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya’.

“Minimal dua alat bukti yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka, haruslah tidak hanya terpenuhi syarat formil yaitu berupa terpenuhinya minimal dua alat bukti sebagaimana tercantum dalam KUHAP, akan tetapi juga terkait subtansinya atau materilnya yang sering dimaknai sebagai kualitas alat bukti sebagai contoh alat bukti keterangan saksi, dimana saksi yang mempunyai kualifikasi kualitas sebagai saksi adalah mereka yang melihat, mendengar atau mengetahui adanya suatu peristiwa pidana,” beber Agus.

Di samping itu, subtansi keterangan saksi yang disampaikan terkait adanya suatu peristiwa pidana, selain mempunyai kualitas juga harus relevan dengan tindak pidana yang dipersangkakan.

“Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk dapat menetapkan seseorang menjadi tersangka atas perbuatan yang diduga dilakukan, harus terpenuhi syarat formil atau syarat kuantitas alat bukti sebagaimana dimaksud pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP, tetapi juga harus memenuhi subtansi (materil) alat bukti sesuai dengan kualitas masing-masing alat bukti dan masing-masing alat bukti yang memenuhi kualitas tersebut harus juga relevan dengan dengan mens rea maupun actus rea dari calon tersangka,” tuturnya.

Sebaliknya, apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka penetapan tersangka seseorang tersebut bisa dinilai tidak sah dan cacat hukum.

“Dengan demikian apabila penyidik tidak mampu membuktikan unsur-unsur delik yang disangkakan dan tidak dapat memenuhi ketiga syarat secara kumulatif sebagai alat bukti, maka seseorang tidak dapat dapat disangkakan telah melakukan tindak pidana karena unsur-unsur deliknya tidak terpenuhi,”  jelasnya.

Agus pun meminta Hakim Praperadilan di kasus Firli Bahuri tidak perlu ragu untuk memutuskan hasil tegas jika memang syarat formil dan materilnya tidak terpenuhi.

“Hakim Praperadilan yang putusannya menyatakan bahwa penetapan tersangka tidak sah atau penyidikannya tidak sah, maka Termohon wajib melaksanakan putusan tersebut dan atas dasar putusan Hakim Praperadilan tersebut menghentikan proses penyidikan dalam perkara aquo dan oleh karenanya mempunyai kewajiban menerbitkan SP3,” tandasnya.

Perkara ini bermula ketika Polda Metro menerima aduan masyarakat (dumas) terkait dugaan pemerasan dalam penanganan perkara KPK di Kementerian Pertanian pada 12 Agustus 2023. 

Adapun kasus ini baru naik ke permukaan usai KPK dikabarkan menetapkan SYL sebagai tersangka pada awal Oktober lalu.

Direktur Reskrimsus Polda Metro Jaya Kombes Pol Ade Safri Simanjuntak menjelaskan, ketika menerima dumas terkait dugaan pemerasan oleh pimpinan KPK itu, pihaknya masih menelaah dan memverifikasinya. 

Barulah pada 15 Agustus 2023 atau tiga hari setelah dumas itu masuk, Polda Metro menerbitkan surat perintah pengumpulan bahan keterangan sebagai dasar pengumpulan keterangan atas informasi ataupun pengaduan masyarakat dimaksud. 

"Selanjutnya pada tanggal 21 Agustus 2023 telah diterbitkan surat perintah penyelidikan sehingga kemudian tim penyelidik subdit tipikor Dirreskrimsus PMJ melakukan serangkaian penyelidikan," jelas Ade, Kamis (5/10).

Penyidik kemudian melakukan klarifikasi atau permintaan keterangan ke beberapa pihak pada 24 Agustus 2023 hingga 3 Oktober 2023. Dalam hal ini, SYL telah diperiksa sebanyak tiga kali untuk memberikan klarifikasi. 

"Perlu disampaikan di sini bahwa 6 orang telah dimintai keterangan ataupun klarifikasi oleh tim penyelidik subdit Tipikor Direskrimsus PMJ termasuk salah satunya adalah bapak mentan [SYL]," pungkasnya. 

Selain SYL, lima orang lain yang sudah dimintai keterangan yaitu sopir dan sosok yang membantu seperti ajudan.

Di tengah tahap penyelidikan ini, beredar foto Ketua KPK Firli Bahuri duduk bersebelahan dengan SYL. Mereka tampak sedang mengobrol santai.

Meski demikian, Firli sempat membantah melakukan pemerasan kepada SYL seperti isu yang beredar. Mantan Kabaharkam Polri itu juga membantah kabar dugaan penyerahan sejumlah uang kepadanya. 

"Saya kira enggak ada orang-orang menemui saya apalagi ada isu sejumlah US$1 miliar, saya pastikan enggak ada. Bawanya berat itu, kedua, siapa yang mau kasih itu," ujar Firli dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (5/10).

Pada 7 Oktober 2023, dugaan pemerasan oleh pimpinan KPK ini resmi naik ke tahap penyidikan usai dilakukan gelar perkara.

Polda Metro menduga adanya pemerasan dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain oleh pegawai negeri, menyalahgunakan kekuasaan, memaksa seseorang memberikan sesuatu, menerima pembayaran dengan potongan, serta gratifikasi. 

Oleh sebab itu, diduga adanya pelanggaran terhadap pasal 12 huruf e atau pasal 12 huruf B atau Pasal 11 UU No. 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

Polda Metro Jaya pun membuka potensi untuk memeriksa Firli sebagai saksi atas dugaan pemerasan ini. Firli kemudian dipanggil Polda Metro tidak kurang dari dua kali. 

Pertama, pada Selasa 24 Oktober 2023. Kepolisian memeriksa Firli selama tujuh jam. Kedua, masuk ke pemeriksaan tambahan namun Firli mangkir dua kali karena tidak menghadiri panggilan Bareskrim. 

Alasannya, pada 7 November 2023 dia tidak hadir karena perjalanan dinas ke Aceh. Pada 13 November 2023 dia absen karena sudah agenda memenuhi panggilan Dewas KPK. 

Pada kesempatan yang sama Dewas KPK juga mengumumkan tidak bisa melakukan pemeriksaan ke Firli karena ada agenda rapat di luar kota. Akhirnya, Firli menghadiri pemeriksaan pada 16 November 2023. 

Dalam pemeriksaan keduanya di Bareskrim, Firli dicecar sebanyak 15 pertanyaan selama hampir 4 jam. Pemeriksaan itu juga membuahkan penyitaan dokumen ikhtisar LHKPN Firli Bahuri. 

Terakhir, pada 22 November 2023, Direktur Reskrimsus Polda Metro Jaya Ade Safri Simanjuntak mengumumkan penetapan tersangka Firli usai dilakukan gelar perkara kasus pada hari yang sama. (LA)