Korupsi Impor Garam Industri, Aksi Serampangan M Khayam Petik Untung!

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 19 Desember 2023 20:24 WIB
Mantan Dirjen Kemenperin Muhammad Khayam mengenakan rompi tahanan Kejagung (Foto: Dok MI)
Mantan Dirjen Kemenperin Muhammad Khayam mengenakan rompi tahanan Kejagung (Foto: Dok MI)
Jakarta, MI - Aksi serampangan terdakwa kasus dugaan korupsi impor garam industri, Muhammad Khayam selaku mantan Dirjen Kemenperin, bersama-sama Fredy Juwono, Yosi Arfianto, Frederik Tony Tanduk, Yoni dan Sanny Wikodhiono alias Sanny Tan  merugikan negara sekitar Rp 7.623.116.842,68, (Rp 7,6 miliar).

Hal ini terungkap dalam sidang persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (19/12). Bahwa terdakwa M Khayam telah memanipulasi jumlah data kebutuhan garam lokal/ konsumsi penambahan kuota impor dan meminta kepada PT. Sucofindo agar dalam melaksanakan verifikasi tidak secara rigid dengan menggunakan data-data tidak benar yang diterima dari PT. Sumatraco Langgeng Makmur (SLM).

Tujuannya tak lain adalah agar mendapatkan kuota impor garam menjadi lebih besar yang tidak sesuai dengan kebutuhan dalam negeri. Meskipun PT Sucofindo telah memberikan hasil verifikasi. Namun faktanya hasil verifikasi PT Sucofindo terkesan diabaikan oleh M Khayam sebagai pejabat di Kemenperin.

Untuk mendapatkan keuntungan ilegal tersebut, terdakwa M Khayam bersama Yosi Arfianto, Fredy Juwono, Yoni, Sanny Wikodhiono alias Sanny Tan dan Frederik Tony Tanduk telah memanipulasi rencana kebutuhan garam impor yang mengakibatkan PT SLM menerima kuota garam impor yang lebih besar.

Selain itu Yoni dan Sanny Tan mengganti kemasan garam impor ke dalam kemasan lokal seolah-olah sebagai produk lokal untuk mengelabui garam yang konsumsi dari garam impor dan dapat diperdagangkan dengan harga yang lebih tinggi dari harga garam lokal, sehingga garam lokal tidak laku dan harganya rendah.

Selain merugikan negara Rp 7,6 miliar, aksi brutal para terdakwa itu juga merugikan perekonomian negara atau kerugian rumah tangga petani garam sebesar Rp105,09 miliar merupakan bagian dari total hilangnya laba petani garam nasional sebesar Rp5,31 triliun.

Sehingga majelis hakim pimpinan Eko Aryanto di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, memvonis bersalah Fredy Juwono, Yosi Arfianto, Frederik Tony Tanduk, Yoni dan Sanny Wikodhiono alias Sanny Tan dengan penjara masing-masing selama 2 hingga 3 tahun penjara.

Sedangkan nasib terdakwa M Khayam sendiri masih akan ditentukan dalam persidangan yang hingga kini masih berproses di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.

Pasalnya saat lima rekannya menjalani persidangan, entah mengapa pihak penyidik pidana khusus Kejaksaan Agung tidak melimpahkan berkas perkara M Khayam ke pengadilan. 

Namun setelah pemberitaan marak tentang adik ipar dari politisi PPP, Kejagung akhirnya “menyerah” dan melimpahkan berkas perkara tersebut ke meja hijau.

Dengan fakta persidangan ini, dugaan pihak Kejaksaan Agung pada saat itu terbukti. Bahwa ada dugaan petik untung para terdakwa itu. Saat itu, Kejagung menduga Kemenperin menaikkan kuota impor garam demi mengeruk keuntungan pribadi. 

Dugaan korupsi dalam pemberian fasilitas impor garam industri ini diduga terjadi pada tahun 2016-2022. Pada 2016-2019, Kemenperin dipimpin oleh Airlangga Hartarto yang kini menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Selanjutnya, sejak 2019 hingga kini, Kemenperin dipimpin oleh Agus Gumiwang Kartasasmita.

 "Diduga dalam menentukan kuota impor yang berlebihan dan tanpa memperhatikan kebutuhan ril garam industri nasional, terdapat unsur kesengajaan yang dilakukan oleh oknum untuk mendapatkan keuntungan pribadi," ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana dalam keterangannya, Jumat (7/10/2022) lalu.

Ketut mengunhkapkan bahwa dugaan tersebut didapat usai pihaknya memeriksa mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Susi Pudjiastuti diperiksa sebagai saksi dan dicecar tim penyidik sebanyak 43 pertanyaan. 

"Saksi (Susi) memiliki kewenangan untuk mengeluarkan rekomendasi dan penentuan alokasi kuota impor garam," ujarnya. 

Ketut menjelaskan, berdasarkan hasil kajian teknis Kementerian Kelautan dan Perikanan, Susi mengeluarkan kuota garam sebesar kurang lebih 1,8 juta ton. 

Salah satu pertimbangan dalam pemberian dan pembatasan impor tersebut adalah untuk menjaga kecukupan garam industri dan menjaga nilai jual garam lokal. 

"Namun, ternyata rekomendasi yang dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak diindahkan oleh Kemenperin, yang justru menetapkan kuota impor garam sebesar 3,7 ton," ucap Ketut. 

Setelah ditelusuri, Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Kuntadi mengatakan, para tersangka bersama-sama merekayasa data. Padahal, data itu dijadikan patokan untuk menentukan kuota impor garam. 

"Adapun modus operandi yang mereka lakukan adalah mereka bersama-sama merekayasa data yang akan dipergunakan untuk menentukan jumlah kuota," ujar Kuntadi dalam jumpa pers di Gedung Kejagung, Jakarta, Rabu (2/11/2022) lalu.

Kuntadi memaparkan, data yang direkayasa tersangka itu tidak diverifikasi dan tidak didukung alat bukti yang cukup. Sehingga, ketika ditetapkan kuota impor garam, terjadi kerugian negara yang cukup banyak. Adapun mereka menetapkan seolah-olah Indonesia membutuhkan 3,7 juta ton garam. 

Padahal, Indonesia tidak butuh mengimpor garam sebanyak itu. Akibatnya, kata Kuntadi, garam industri yang masuk ke Indonesia jadi melimpah dan membanjiri pasar garam konsumsi domestik. Hal tersebut berdampak pada turunnya harga garam konsumsi lokal di pasaran. 

"Oleh karenanya, bahkan terjadi penyerapan barang ke pasar industri garam konsumsi, maka situasi menjadi harga garam industri ke konsumsi menjadi turun. Itulah yang terjadi, sehingga penetapan kuota garam oleh pemerintah menjadi tidak valid akibat ulah orang-orang ini," tandas Kuntadi. (Wan)