Lagi, Firli Bahuri Dilaporkan ke Polda Metro Jaya, Alexander Marwata Tunggu Giliran?

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 20 Desember 2023 02:30 WIB
Gedung Polda Metro Jaya (Foto: MI/Aswan)
Gedung Polda Metro Jaya (Foto: MI/Aswan)

Jakarta, MI - Setelah gugatan praperadilannya ditolak hingga dugaan pelangaran etiknya diproses Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri kini dilaporkan lagi ke Polda Metro Jaya.

Laporan yang dilayangkan oleh Ketua Lembaga Transparansi Anggaran dan Anti Korupsi Indonesia (Lemtaki), Edy Susilo itu buntut daripada penyerahkan bukti dokumen penanganan kasus dugaan suap eks pejabat Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan dalam sidang praperadilan di kasus pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL) baru-baru ini.

Laporan tersebut sudah teregister dengan nomor LP/B/7588/XII/SPKT/POLDA METRO JAYA tertanggal 18 Desember 2023.

Tak hanya Firli, kuasa hukumnya, Ian Iskandar juga dilaporkan atas Pasal 54 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik juncto Pasal 322 KUHP.

Edy juga beralasan melaporkan mantan jenderal polisi bintang tiga itu, karena Firli Bahuri yang saat ini Ketua KPK nonaktif, tetapi malah membawa dokumen penyelidikan di KPK tersebut ke pengadilan.

"Dia memang Ketua KPK tapi kan nonaktif dan juga dokumen itu tidak boleh sembarangan dikeluarkan ke publik, itu kan hasil penyelidikan KPK, dokumen resmi dan dokumen itu rahasia," kata Edy, Selasa (19/12) kemarin.

Dokumen rahasia itu diduga diambil oleh Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata yang juga pernah menjadi saksi meringankan dalam sidang praperadilan Firli Bahuri.

Kendati, Alex tak turut dilaporkan ke Polda Metro Jaya yang saat ini dipimpin Irjen Pol Karyoto, mantan pegawai KPK.

"Kita telisik dokumen itu diambil oleh pimpinan KPK juga Alexander Marwata. Cuman yang kita laporkan Firli sama tim pengacaranya, biar nanti mengembang sendiri penyelidikannya," jelasnya.

Edy pun menilai langkah Firli dikhawatirkan bisa menjadi celah penyalahgunaan dokumen tersebut. Edy juga menilai langkah itu tidak tepat.

Bahkan, menurutnya hal itu hanya untuk menakuti-nakuti hakim atau pihak Polda Metro Jaya.

"Padahal pak Firli ke situ dalam kasus pemerasan, beliau kan menolak atau melakukan praperadilan terkait menolak status tersangka terkait kasus pemerasan," katanya.

"Apa hubungannya dengan dokumen korupsi terkait DJKA yang sudah jelas sudah ada tersangka yang sudah ditahan," timpalnya.

Untuk itu, Edy meminta Polda Metro Jaya memproses laporan yang ada. 

Dia juga meminta pihak kepolisian memeriksa Firli Bahuri dan kuasa hukumnya terkait kasus yang dilaporkan.

Pasalnya, Edy menduga ada indikasi menyalahi ketentuan perundangan dan penyalahgunaan kewenangan atau jabatan. 

"Termasuk orang yang memberikan akses pemberian dokumen tersebut digunakan di luar lembaga perlu diperiksa nantinya," tandasnya.

Sebelumnya diwartakan, Firli Bahuri membawa bukti dokumen penanganan kasus dugaan suap eks pejabat DJKA dalam sidang praperadilan. 

Buntutnya, ada pandangan bahwa Firli Bahuri diduga melanggar UU Keterbukaan Informasi Publik, menghalangi penyidikan Pasal 21 UU KPK dan kode etik.

Kendati demikian, salah satu pendekar hukum yang mendampingi praperadilan Firli yakni Prof. Suparji Ahmad dari Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) berpendapat bahwa tidak ada peraturan perundang-undangan yang dilanggar dalam penggunaan dokumen tersebut.

Menurut Suparji, dokumen tersebut dibawa Firli Bahuri ke persidangan praperadilan untuk kepentingan pembuktian.

“Karena dokumen tersebut antara lain berupa daftar hadir rapat dan notulen, tidak bersifat rahasia negara dan diajukan sebagai kepentingan pembuktian,” ungkapnya kepada wartawan, Jakarta, Senin (18/12).

Sebab, Suparji menjelaskan, Firli Bahuri mendalikan bahwa perkara yang dijadikan dasar penetapan tersangka terhadap dirinya tidak terlepas dari perkara yang ditangani di KPK.

"Dalam rangka membuktikan dalil tersebut, maka FB menggunakan dokumen tersebut sebagai barang bukti,” lanjutnya.

Suparji mengatakan bahwa sesuai prinsip pembuktian, siapa yang mendalilkan mempunyai sesuatu hak dan untuk meneguhkan haknya itu atau guna membantah hak orang lain haruslah dibuktikan adanya hak atau peristiwa itu.

"Siapa yang mengemukakan atau mengaku mempunyai sesuatu hak harus membuktikan,” katanya.

Pada sisi lain, Suparji mengungkapkan bahwa dokumen tersebut telah dinilai oleh Hakim Praperadilan sebagai bagian dari pembuktian.

“Dengan demikian, tidak perlu ada yang dipersoalkan lagi terkait penggunaan dokumen dari KPK sebagai barang bukti FB,” tandasnya. (Wan)