Firli Bahuri Jebak Istana?

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 23 Desember 2023 15:08 WIB
Firli Bahuri tersangka kasus dugaan pemerasan terhadap Syahrul Yasin Limpo (Foto: MI/An)
Firli Bahuri tersangka kasus dugaan pemerasan terhadap Syahrul Yasin Limpo (Foto: MI/An)

Jakarta, MI - Firli Bahuri menyatakan mundur dari jabatannya sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Firli menyampaikan pengunduran diri tersebut kepada Dewan Pengawas KPK pada Kamis (21/12), setelah terjerat kasus kasus dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL). 

Pengunduran diri tersebut telah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo melalui surat pada 18 Desember 2023.

Setelah menyatakan mundur sebagai ketua sekaligus pimpinan KPK, Firli Bahuri meminta maaf kepada rakyat Indonesia lantaran tidak menyelesaikan masa jabatan yang seharusnya berakhir pada 20 Desember 2024 mendatang.

Kendati demikian, menurut Istana Keppres pemberhentian Firli belum bisa diproses lebih lanjut karena dalam surat tersebut tidak menyebutkan mengundurkan diri, tetapi menyatakan berhenti.

Lagian, pernyataan berhenti tidak dikenal sebagai syarat pemberhentian Pimpinan KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 32 UU KPK. Oleh karena itu, surat pengajuan pengunduran diri yang diajukan mantan Kabarharkam Polri itu tidak dapat diterima.

Berangkat dari hal ini, mantan penyidik KPK, Yudi Pranomo menilai apa yang dilakukan mantan jenderal polisi bintang tiga itu bisa saja untuk menjebak istana, jikalau kemudian Presiden melakukan kesalahan mengelurkan keppres pemberhentian mantan orang nomor satu di lembaga antirasuah itu.

"Apa yang dilakukan Firli tersebut merupakan tindakan setengah hati untuk mundur sekaligus bisa menjebak Presiden melakukan kesalahan ketika mengeluarkan keputusan presiden memberhentikan Firli," kata Yudi kepada wartawan, Sabtu (23/12).

Sudah tepat Setneg tidak memproses pemberhentian Firli dengan hormat, tambah Yudi, karena pemberitahuan atau pernyataan berhenti Firli memang tidak mengatur pemberhentian karena masalah itu.

Yudi pun menilai belum diprosesnya surat pengunduran diri Firli oleh Istana membawa dampak tidak langsung pada penanganan pemerasan Firli kepada SYL.

Maka dari itu, dia mendesak Firli untuk tidak lagi mangkir dalam pemeriksaan tersangka yang direncanakan pekan depan. "Firli sebagai tersangka tindak pidana korupsi untuk koperatif terhadap proses dan tidak mangkir karena bisa berakibat ditangkap," katanya.

Sementara Keputusan dari Setneg itu juga diharapkan bisa membawa angin segar terkait proses pelanggaran etik Firli yang tengah bergulir di Dewan Pengawas (Dewas) KPK. 

Yudi menilai masyarakat menunggu putusan dari Dewas terkait sanksi etik untuk Firli. "Masyarakat menanti hukuman etik Firli dari Dewas seperti apa yang akan dijatuhkan. Semoga putusannya berat untuk menjaga marwah KPK," tegasnya.

Sebelumnya Koordinator Staf Khusus Presiden (KSP) Ari Dwipayana membenarkan bahwa Firli Bahuri menyerahkan surat pengunduran diri dari jabatan Ketua KPK.

"Kementerian Sekretariat Negara telah menerima surat tertanggal 18 Desember 2023 dari bapak Firli Bahuri kepada Presiden yang menyampaikan pengunduran diri beliau dari Jabatan Ketua dan Pimpinan KPK," kata Ari Dwipayana, Kamis (21/12).

Ari menjelaskan, pengunduran diri Firli Bahuri itu tengah dalam proses. Selanjutnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) terkait pengunduran diri Firli Bahuri.

"Saat ini, surat pengunduran diri tersebut tengah diproses untuk dapat segera ditetapkan dengan Keputusan Presiden," imbuhnya.

Sementara itu, Firli Bahuri menyatakan bahwa, meski berstatus sebagai komisioner KPK nonaktif, dirinya memilih untuk tidak melanjutkan masa jabatannya di KPK. 

"Saya juga menyatakan tidak berkeinginan untuk memperpanjang masa jabatan saya, dan saya mengucapkan terima kasih kepada pak presiden, bapak Jokowi, wakil presiden bapak Ma'aruf Amin, dan segenap anak bangsa dimanapun berada," kata Firli.

Firli pun menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat, tidak bisa menyelesaikan masa tugasnya di KPK. Sebab, dirinya ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya.

"Saya mohon maaf kepada seluruh rakyat Indonesia, karena saya tidak mampu menyelesaikan dan tidak juga tidak bisa menyelesaikan untuk perpanjangan," pungkas Firli.

Dalam kasus pemerasan, Firli dijerat dengan tiga pasal yakni Pasal 12e, atau Pasal 12B, atau Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 65 KUHP.

Kasus ini terjadi di wilayah hukum Polda Metro Jaya sekitar tahun 2020 sampai dengan tahun 2023.  

Adapun ancaman hukuman dalam Pasal 12e dan Pasal 12B UU Pemberantasan Tipikor, pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, serta denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Sedangkan, Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor, ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun penjara, serta denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta. (Wan)