Beda Pandangan antara KPK dan Hakim Soal Penetapan Tersangka Eks Wamenkumham Eddy

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 31 Januari 2024 23:40 WIB
Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy Hiariej (Foto: Istimewa)
Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy Hiariej (Foto: Istimewa)

Jakarta, MI - Status tersangka mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy Hiariej gugur setelah praperadilannya dikabulkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melihat adanya perbedaan pandangan dengan hakim tersebut.

Gugurnya status tersangka Eddy karena hakim menggunakan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Maka berdasarkan ketentuan tersebut, dua alat bukti yang disajikan KPK dinyatakan tidak sah.

"Karena sepertinya ada pandangan yang berbeda antara KPK dengan hakim yang mengadili yang dimaksud hakim lebih banyak menggunakan dasar pertimbangan di ketentuan umum KUHAP ,sehingga ada perbedaan karena tentu ketika KPK menetapkan seseorang sebagai tersangka," kata Kabag pemberitaan KPK Ali Fikri kepada wartawan, Rabu (31/1).

Pasal 184 ayat 1 KUHAP menyatakan dua alat bukti yang sah yakni keterangan saksi, ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Sementara, kata Ali, untuk menetapkan tersangka korupsi, KPK mengacu pada UU KPK pasal 44. Pada ayat (2) pasal itu, bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik.

"Oleh karena itu tentu ke depan kami pelajari terlebih dahulu pertimbangan hakim sehingga kami dapat mengambil langkah-langkah berikutnya terkait dengan penanganan kebutuhan korupsi," jelas Ali.

Di ruang sidang kemarin, hakim memutuskan status tersangka korupsi Eddy tidak sah. Alasannya, bukti yang dilampirkan KPK tidak sah.

"Menimbang, bahwa oleh karena penetapan tersangka terhadap pemohon tidak memenuhi minimum 2 alat bukti yang sah sebagaimana ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana, maka hakim sampai kepada kesimpulan tindakan termohon yang telah menetapkan pemohon sebagai tersangka tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum," kata hakim tunggal Estiono saat membacakan putusan di PN Jakarta Selatan, Selasa (30/1).

Estiono juga menyebut barang bukti yang diajukan KPK dalam praperadilan aquo tidak dapat menjadi rujukannya. Sebab tiap perkara memiliki karakter yang berbeda. Oleh karenanya ia berpendapat penetapan tersangka terhadap pemohon dinyatakan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

"Menimbang, bahwa oleh karena permohonan praperadilan yang diajukan pemohon dikabulkan, maka biaya yang timbul dalam perkara dibebankan kepada termohon," pungkasnya.

KPK Bahas Alat Bukti

KPK segera menggelar rapat guna membahas putusan tersebut. Kata Ketua KPK sementara Nawawi Pomolang, akan bahas bersama dengan teman-teman dari biro hukum yang kemarin mewakili KPK di PN Jaksel bersama jajaran kedeputian penindakan khususnya satgas yang menangani perkara.

Salah satu yang bakal dibahas ialah mengenai alat bukti dalam menetapkan Eddy Hiariej sebagai tersangka. Hakim PN Jaksel menilai KPK tidak memenuhi syarat minimum 2 alat bukti dalam penetapan tersangka, sehingga status tersangka itu dinilai tidak sah.

Tindak lanjut akan diambil KPK setelah ada keputusan berdasarkan rapat tersebut. "Jadi kita akan coba bahas bersama seperti apa nanti sikapnya dari hasil rapat," jelas Nawawi, Rabu (31/1).

Sementara itu, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menjelaskan bahwa KPK sudah sekitar 20 tahun berdiri. Memegang prosedur yang sama dalam penetapan tersangka. "KPK ini kan sudah 20 tahun SOP yang digunakan selama ini seperti itu dan tidak ada persoalan," ujar Alex.

Meski demikian, Alex menyebut bahwa independensi hakim dalam putusan harus dihormati. Kendati demikian, putusan itu tidak mempermasalahkan soal substansi perkara. "Tidak menghilangkan substansi perkara, kan begitu, lah ini terkait dengan masalah prosedural," ujar Alex.