MK Tolak Uji Materiil Anak Usaha Harita Group, Aktivitas Tambang Tak Boleh Masuk Pulau Kecil

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 22 Maret 2024 04:41 WIB
Mahkamah Konstitusi (MK) (Foto: MI/Aswan)
Mahkamah Konstitusi (MK) (Foto: MI/Aswan)

Jakarta, MI - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan uji aturan larangan penambangan mineral di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dimohonkan oleh PT. Gema Kreasi Perdana yang merupakan anak usaha Harita Group.

Sidang pengucapan Putusan Nomor 35/PUU-XXI/2023 ini dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi, pada Kamis (21/3/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.

Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, MK menyatakan dalil Pemohon yang menyatakan norma Pasal 23 ayat (2) UU 1/2014 tidak memberikan hak atas pengakuan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil adalah tidak beralasan menurut hukum. 

Adapun norma Pasal 35 UU 27/2007 secara utuh pada pokoknya mengatur ihwal larangan kepada setiap orang baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. 

Larangan yang diatur dalam Pasal 35 huruf k UU 27/2007 dikuti dengan sanksi, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 73 ayat (1) huruf f UU 27/2007 yang menyatakan, "Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) setiap orang yang dengan sengaja melakukan penambangan mineral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf k".

Enny menjelaskan, pengaturan larangan yang diikuti dengan sanksi tersebut dimaksudkan sebagai bentuk pengendalian terhadap kegiatan penambangan mineral di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil karena secara filosofis pulau-pulau kecil sangat rentan dan terbatas sehingga memerlukan perlindungan khusus. 

Termasuk terhadap kegiatan yang dikategorikan sebagai abnormally dangerous activity yang dalam doktrin hukum lingkungan harus dilarang untuk dilakukan karena akan mengancam kehidupan seluruh makhluk beserta ekosistem di atasnya.

“Segala kegiatan yang tidak ditujukan untuk menunjang kehidupan ekosistem di atasnya, termasuk juga tidak terbatas pada kepentingan di luar yang diprioritaskan, in casu pertambangan, yang dapat dikategorikan sebagai abnormally dangerous activity yang dalam doktrin hukum lingkungan harus dilarang untuk dilakukan,” terangnya.

Dikatakan Enny, kata "Pengecualian" dalam Pasal 35 huruf k UU 27/2007 yang dirumuskan dengan persyaratan "yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya", tidak dapat dilepaskan dari pemahaman secara komprehensif terhadap UU 1/2014, khususnya Pasal 23 UU 1/2014 yang menentukan adanya kewajiban memenuhi syarat kumulatif apabila akan dilakukan pemanfaatan pulau-pulau kecil dan  perairan di sekitarnya, yakni dengan kewajiban memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan; memerhatikan kemampuan dan  kelestarian sistem tata air setempat, dan menggunakan teknologi yang ramah lingkungan serta memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian, Enny melanjutkan, pemenuhan yang bersifat wajib atas persyaratan dimaksud, berarti tidak menutup kemungkinan dapat dilakukannya kepentingan lain di luar yang diprioritaskan sepanjang memenuhi persyaratan yang bersifat wajib tersebut. Namun, untuk memenuhi hal dimaksud tidaklah mudah karena kunci utamanya adalah sebaik apa pemerintah daerah mendesain pengaturan rencana tata ruang wilayah sesuai dengan peraturan perundang-undangan sehingga izin yang terbit karena adanya pengaturan tata ruang wilayah tidak menjadi alat komoditas yang merugikan inter dan antar generasi. 

Artinya, dalil Pemohon yang mengaitkan adanya pembedaan kegiatan kepentingan pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya antara yang diprioritaskan dan di luar yang diprioritaskan bukanlah bentuk diskriminasi, melainkan langkah-langkah antisipatif upaya perlindungan dan pengaturan yang bertujuan untuk memastikan keberlanjutan ekosistem pulau-pulau kecil serta lingkungan sekitarnya.

Terhadap dalil Pemohon yang beranggapan ketentuan a quo tidak memberikan jaminan hak atas pengakuan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sehingga dianggapnya bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak tepat.

Justru ketentuan a quo dibentuk dengan tujuan untuk memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dengan memberikan keseimbangan, melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan, sebagaimana tujuan pengaturan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, khususnya yang diatur dalam Pasal 4 huruf a UU 27/2007, yang menyatakan pada pokoknya pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilaksanakan dengan tujuan melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan.

Dalam kaitan dengan hal di atas, sambung Enny,  norma Pasal 23 ayat (2) UU 1/2014 yang mengatur mengenai kata "diprioritaskan", tidak melanggar hak konstitusional Pemohon sebagai warga negara untuk menjunjung hukum dan pemerintahan serta mendapatkan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Oleh karena itu, sama sekali tidak ada relevansinya dalil Pemohon yang mengasumsikan ketentuan Pasal a quo mengurangi hak konstitusional warga negara, termasuk Pemohon.

Terlebih, Pemohon kemudian mengaitkan persoalan konstitusionalitas norma Pasal 35 huruf k UU 27/2007 dengan tindakan diskriminasi. Terkait dengan hal tersebut, makna diskriminasi telah ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 024/PUU-III/2005 yang kemudian dikuatkan kembali dalam berbagai putusan di antaranya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 yang pada intinya menyatakan bahwa diskriminasi dapat dikatakan terjadi jika terdapat setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung maupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.

Mendasarkan pada penafsiran tersebut, setelah Mahkamah mencermati secara saksama Pasal 35 huruf k UU 27/2007, pasal a quo tidak mengandung unsur adanya tindakan diskriminasi.

Terlebih, berkenaan dengan hal tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa UU PWP3K dibentuk untuk melindungi keberlanjutan dan kelestarian kawasan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam NKRI.

Sehingga Mahkamah berpendapat ketentuan Pasal 23 ayat (2) UU 1/2014 dan Pasal 35 huruf (k) UU 27/2007 telah ternyata tidak bertentangan dengan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang diskriminatif yang diatur dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 281 ayat (2) UUD 1945, bukan sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon. Dengan demikian, dalil-dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

Alhasil, MK menolak seluruh permohonan Pemohon. Namun demikian, pengambilan putusan perkara ini diwarnai alasan berbeda (concurring opinion) dari empat orang Hakim Konstitusi yaitu Hakim Konstitusi Suhartoyo, Hakim Konstitusi Anwar Usman, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah.

Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 35/PUU-XXI/2023 dalam perkara pengujian Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU PWP3K ini diajukan oleh PT. Gema Kreasi Perdana yang diwakili oleh Rasnius Pasaribu (Direktur Utama). 

Pemohon merupakan badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas yang memiliki Ijin Usaha Pertambangan di wilayah yang tergolong Pulau Kecil, terdapat keterkaitan sebab akibat (causal verband) dengan berlakunya Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU PWP-PPK. 

Pasal tersebut ditafsirkan oleh Mahkamah Agung sebagai larangan tanpa syarat untuk melakukan kegiatan penambangan mineral di wilayah yang tergolong Pulau Kecil. 

Padahal Pemohon telah memiliki ijin yang sah dan diterbitkan oleh instansi yang berwenang untuk melakukan penambangan nikel di wilayah tersebut. Bahkan Izin Usaha Pertambangan milik Pemohon telah mengalami beberapa kali perubahan dari Ijin semula berupa Kuasa Pertambangan Nomor 26 Tahun 2007 yang terbit sebelum berlakunya UU Pengelolaan Wilayah Pesisir.

Menurut Pemohon, Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU PWP-PPK bila ditafsirkan sebagai larangan terhadap kegiatan pertambangan secara mutlak tanpa syarat, maka seluruh tata ruang terhadap Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang diatur oleh Peraturan Daerah akan bertentangan dengan UU tersebut dan harus dilakukan perubahan. 

Akibatnya, seluruh perusahaan yang berusaha di bidang pertambangan di wilayah-wilayah tersebut harus dihentikan pula. Tentu hal ini akan merugikan banyak perusahaan tambang, dan sama halnya dengan Pemohon. Padahal perusahaan-perusahan tambang telah melaksanakan kewajiban pembayaran kepada negara.