Kejagung dan KPK Tegaskan Jurnalisme Investigasi Bantu Ungkap Kasus Hukum

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 13 Mei 2024 15:46 WIB
Ilustrasi - Pers/Press/Jurnalis/Wartawan (Foto: Ist)
Ilustrasi - Pers/Press/Jurnalis/Wartawan (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan bahwa jurnalisme investigasi dapat membantu pengungkapan kasus hukum.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Ketut Sumedana, mengatakan media investigasi sudah ada sejak dulu dan membantu penegakan hukum, serta menjadi bagian dari demokrasi.

“Saya kira tidak masalah. Karena penegak hukum bekerja dan memperoleh alat bukti dari berbagai sumber, termasuk media yang obyektif, transparan, dan tidak tendensius," tegas Ketut saat dikonfirmasi Monitorindonesia.com, Senin (13/5/2024).

Menurut Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Bali ini, Kejagung tidak pernah berseberangan dengan media. Dia menegaskan media justru membantu Kejaksaan dalam hal apapun termasuk opini publik.

“Sepanjang membantu tugas-tugas penegakan hukum saya kira tidak ada masalah, masing-masing memiliki batasan, kewenangan dan tugs, serta tanggung jawab sesuai peran masing-masing lembaga," bebernya.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata mengatakan jurnalisme investigasi justru dibutuhkan di tengah apatisme masyarakat terhadap penegakan hukum.

Jurnalisme investigasi, menjadi bagian dari pengawasan masyarakat yang dilakukan oleh media.

Jurnalisme investigasi justru diharapkan mampu memberikan tekanan kepada aparat penegak hukum agar bekerja secara professional dan berintegritas.

Dia menyebut jurnalisme investigasi kadang membantu KPK dalam penyelidikan. “Saya pribadi senang membaca laporan investigasi. Kadang-kadang laporan investigasi menjadi masukan untuk melakukan penyelidikan. Laporan investigasi tak ubahnya laporan masyarakat," tukasnya.

Sebagaimana diberitakan, Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang tersebar di masyarakat mendapat kritik tajam dari berbagai pegiat jurnalistik dan peneliti media. Sorotan utamanya adalah pasal yang melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengatakan kalimat pelarangan penayangan jurnalistik investigatif “membingungkan” dan menyebut pasal ini dapat “dimaknai sebagai pembungkaman pers”.

“Ini sungguh aneh, mengapa di penyiaran tidak boleh ada investigasi?” ujar Sekretaris Jenderal AJI, Bayu Wardhana, pada Kamis (9/5/2024).

Dalam draf rancangan RUU Penyiaran tercatat ada pasal 56 ayat 2 poin c. Isinya melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.

Anggota Komisi I DPR, Dave Laksono, menyatakan bahwa pihaknya tidak berniat membelenggu kebebasan pers. “Tiada niat sedikit pun baik dari pemerintah hari ini di bawah Presiden Jokowi ataupun nantinya di bawah Presiden Prabowo dan juga DPR akan memberangus hak-hak masyarakat dan kebebasan untuk menyampaikan pendapat, apalagi informasi terhadap masyarakat,” kata Dave, Kamis (9/5/2024).

Dave menyebut masukan-masukan yang ada saat ini akan membantu pembahasan RUU ini supaya lebih sempurna.

Sementara itu, Koordinator bidang Pengawasan Isi Siaran di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Tulus Santoso, menolak mengomentari draf salah satu pasal yang dipertanyakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Tulus mengatakan, rancangan revisi UU Penyiaran diajukan oleh DPR dan bukan oleh pemerintah. “Terkait poin-poin dalam pasal RUU Penyiaran kenapa bunyinya seperti itu, karena ini inisiatif dari Komisi I DPR, maka kemudian pastinya teman-teman di Senayan yang lebih tahu, yang bisa mengomentari secara komperhensif,” kata Tulus, Jumat (10/5/2024).

Dia menambahkan bahwa KPI memiliki posisi sebagai pelaksana dari UU Penyiaran. Bagaimanapun, Sekretaris Jenderal AJI, Bayu Wardhana, mengkhawatirkan potensi dampak pasal RUU Penyiaran terhadap berita yang nantinya ditayangkan televisi dan radio.

"Masyarakat hanya akan mendapat berita-berita seremoni alih-alih berita-berita yang kritis," jelasnya.

Para peneliti media juga menilai RUU Penyiaran ini memiliki pasal-pasal yang “ambigu” dan “membingungkan”. “Ini kan melawan seluruh prinsip jurnalistik, ya? Justru jurnalistik itu bukan hanya harus akurat dan benar, tetapi informasi itu harus aktual,” kata peneliti pusat studi media dan komunikasi Remotivi, Muhamad Heychael, Kamis (9/5/2024).

Rencana pemerintah bersama DPR merevisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sudah memasuki tahap penyelesaian draf revisi UU Penyiaran. Setelah itu, revisi dikirimkan kepada Badan Legislatif DPR untuk dilakukan harmonisasi sinkronisasi.

Ada draf pasal lainnya dalam draf rancangan revisi UU Penyiaran yang dikritik AJI dan sejumlah akademisi.

Yaitu, Pasal 25 Ayat 1 Huruf q, yang menyatakan bahwa KPI boleh menyelesaikan sengketa jurnalistik di bidang penyiaran. Padahal, selama ini sengketa itu ditangani oleh Dewan Pers.