Marak Jual-Beli WTP BPK, Pakar TPPU Dorong PwC Audit Semua Kementerian: Jangan-jangan Abal-abal!

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 16 Mei 2024 18:06 WIB
Pakar TPPU, Yenti Garnasih (Foto: Dok MI/Pribadi)
Pakar TPPU, Yenti Garnasih (Foto: Dok MI/Pribadi)

Jakarta, MI - Pakar hukum tindak pidana pencucian uang (TPPU) Yenti Garnasih mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar serius mengusut dugaan adanya jual-beli Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sebagaimana fakta persidangan mantan Mentan Syahrul Yasin Limpo (SYL).

Caranya adalah dengan melakukan pengembangan perkara dengan melakukan upaya penyelidikan dan penyidikan atas indikasi suap menyuap ini dengan segera memanggil dan memeriksa auditor dan anggota BPK yang disebutkan namanya. Yakni Victor dan Haerul Saleh.

Dalam hal ini, KPK harus segera bertindak tanpa harus menunggu persidangan SYL dan dua anak buahnya selesai.

Namun jika KPK tak sanggup mengusut itu sebab masih mempunyai ketergantungan BPK RI dalam hal menghitung kerugian negara, Yenti menyarankan agar pemerintah Indonesia mengandeng PricewaterhouseCoopers (PwC) sebuah firma audit internasional mengaudit semua proyek-proyek atau kementerian.

"Coba saja kementerian atau proyek-proyek diaudit oleh PwC yang merupakan firma audit international," tegas Yenti saat berbincang dengan Monitorindonesia.com, Kamis (16/5/2024).

Kalau perlu, tambah Yenti, ada auditor eksternal atau BPK Watch yang benar-benar independent.

Pasalnya, beberapa kali oknum anggota BPK, maupun pegawai BPK hingga auditornya itu menjadi tersangka korupsi.

"Makanya klarifikasi semua yang dapat WTP, jangan-jangan abal-abal, rakyat dibohongi lagi," tuturnya.

Oknum BPK acap kali tersangkut kasus korupsi, menurut Yenti, karena Indonesia saat ini sedang krisis kepercayaan, morally corrupt yang semakin menggila.

"Rasa malu yang menipis, suka pamer, kurang pengawasan, dan rekruitmennya , bisa jadi karena terafiliasi parpol," katanya.

"Sepertinya di Indonesia ini sangat dikuasai oleh dinamika politik yang menggerus hukum," imbuhnya.

Adapun BPK kini kembali menjadi sorotan sebagai lembaga yang seharusnya memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. 

BPK tersorot usai Sekretaris Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (Sesditjen PSP) Kementerian Pertanian (Kementan), Hermanto mengungkapkan, adanya setoran demi kementeriannya mendapatkan opini WTP.

Bahkan, Hermanto menyebutkan bahwa oknum auditor BPK meminta uang Rp 12 miliar. Tetapi, hanya diberikan Rp 5 miliar. 

Belakangan, sejumlah pejabat BPK dari tingkat pusat sampai daerah memang kerap tersangkut kasus dugaan korupsi. Anggota III BPK, Achsanul Qosasi, misalnya. 

Dia didakwa menerima uang sebesar 2,6 juta dollar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp 40 miliar. 

'Liciknya', dia menyimpan uang tersebut di rumah khusus di Kawasan Kemang, Jakarta Selatan (Jaksel).

Uang itu disebut untuk mengkondisikan temuan BPK dalam proyek penyediaan infrastruktur base transceiver station (BTS) 4G yang dikelola oleh Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).

Lalu, di kasus korupsi proyek Tol Japek II atau MBZ. Bahwa Direktur Operasional Waskita Beton Precast Sugiharto mengakui, dirinya pernah menyiapkan uang sebesar Rp 10 miliar untuk memenuhi permintaan dari BPK.

Selain itu, ada juga ada aliran uang sebesar Rp 1,1 miliar yang berasal dari dugaan korupsi tunjangan kinerja (Tukin) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ke Auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, Robertus Kresnawan dan kasus lainnya.

Topik:

BPK PwC KPK