Selamat Datang Persatuan Wartawan Indonesia Perjuangan!

Reina Laura
Reina Laura
Diperbarui 23 Juli 2024 18:40 WIB
Selamat Datang Persatuan Wartawan Indonesia Perjuangan [Foto: Ist]
Selamat Datang Persatuan Wartawan Indonesia Perjuangan [Foto: Ist]

Jakarta, MI - Konflik yang terjadi di tubuh organisasi wartawan terbesar dan tertua, yakni Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) memasuki fase relatif mendaki. Eskalasi yang berkembang bahkan semakin mendidih dengan polarisasi yang terus melebar.

Dewan Kehormatan yang dinahkodai Sasongko Tedjo membuat keputusan kontroversial, karena memberhentikan tetap Hendry Ch Bangun, yang notabene adalah orang nomor satu di jajaran PWI.

Keputusan yang dinarasikan dengan terminologi memberhentikan tetap bukan sembarang keputusan. Apalagi yang menjadi obyeknya adalah Ketua Umum PWI Pusat. 

Gegara keputusan itulah wajar organisasi yang bermarkas di Jalan Kebon Sirih 32-34 Jakarta bergejolak. Tsunami terjadi dengan badai ikutan yang ikut melibas apa saja, tak luput PWI menjadi episentrum perhatian publik santero jagad.

MURI (Museum Rekor Indonesia) perlu mencatatan keputusan ini sebagai kontroversi paling mutakhir di era reformasi. Betapa tidak? Lokomotif yang menjadi penggerak, dan sekaligus simbol atau ikon organisasi bisa dilibas begitu saja. 

Di antara pertimbangan pertimbangan teknis, rasional dan tentu ada alibi secara hitam putih, yakni aspek yurisdiksi yang dijadikan sandaran. Namun, pernahkah terpikir bahwa hukuman itu terlalu naif, alias tidak rasional untuk ukuran orang awam.

Begawan Hukum Prof Satjipto Rahardjo mengatakan, hukum harus mampu mencerna dan memijakkan pada realitas yang ada. Apalagi hal itu menyangkut organisasi wartawan, organisasinya entitas masyarakat madani (civil society).

"Saya sebagai pemegang kartu biru, untuk menyebut Kartu PWI, yang tidak mendalami langsung pernak-pernik teknis, menilai keputusan itu tidak pantas," kata Satjipto.

"Karena hukum tidak dapat dipandang secara hitam putih semata," sambungnya.

Dua kutub argumentasi coba dibeber, diurai oleh kedua belah pihak, yakni Hendry Ch Bangun dari kacamatanya sebagai Ketua Umum PWI Pusat, dan Sasongko Tedjo notabene Ketua Dewan Kehormatan.

Menurut mantan Sekretaris Jendral PWI Pusat ini, tentu dengan mengacu PDPRT, Sasongko tidak dapat begitu saja membuat keputusan seperti itu. Karena yang tidak dapat diutak atik adalah posisi Ketua Dewan Kehormatan.

"Sama dengan Ketua Umum PWI Pusat, Ketua Dewan Kehormatan (DK) dipilih melalui Konggres. Artinya hanya melalui forum yang diatur sesuai PDPRT posisinya dapat diganti atau digugurkan," ujarnya.

"Ketua Dewan Kehormatan pun demikian, Sasongko menjadi Ketua DK karena dpilih melalui Konggres. Yang membedakan adalah personel yang duduk dikepengurusan, baik PWI mau pun DK disusun kemudian oleh formatur," tambahnya.

Bagaimana jika pengurus tersebut tidak dapat melaksanakan tugas, atau faktor faktor lain PDPRT tidak mengatur secara khusus. Dengan begitu pergantian pengurus atau resafel dapat dilakukan melalui mekanisme internal, sesuai dengan peraturan yang lazim disepakati secara organisatoris.

Memijakkan diri pada kondisi di atas, kata dia, menjadi alibi Hendry Ch Bangun, dia melakukan perombakan Dewan Kehormatan dengan pertimbangan telah mengundang pihak terkait, yakni Dewan Penasehat dan Dewan Kehormatan itu sendiri.

Faktanya pada Rapat Diperluas, yang melibatkan Dewan Penasehat dan Dewan Kehormatan, resafel (reshuffle) yang dilakukan tidak ada yang menolak, atau mempersoalkan. 

"Karena itu ketika kemudian dipersoalkan lagi, di sini menjadi aneh. Artinya ada perubahan sikap, namun dalam Rapat Diperluas hal itu tidak terjadi," jelasnya.

Kini kembali pada keputusan Dewan Kehormatan memberhentikan tetap Ketua Umum PWI, jika diidentifikasi secara lebih mendalam sebenarnya biang persoalan telah selesai.

Namun riak-riak yang justru tidak substansial, karena ditumpangi kepentingan dan penumpang-penumpang gelap, komplikasi ikutan terjadi.

Dewan Kehormatan dan Pengurus Pusat PWI, perlu melakukan kanalisasi agar masalah tidak melebar. Namun yang terjadi masing-masing gatal karena tergoda memanfaatkan ruang publik.

"Di sinilah komplikasi muncul termasuk PWI babak belur menjadi bulan bulanan pihak luar," ungkapnya.

Pihak di luar PWI yang ikut rebut dan membuat gaduh suasana mereka, sesungguhnya tidak berpihak pada PWI. 

"Ibarat api jauh dari panggang mereka sekadar memanfaatkan kemelut menjadi panggung untuk agenda dan kepentingannya sendiri. Sadar atau tidak PWI sesungguhnya telah diadu, dipecah belah dan itu yang mereka inginkan," imbuhnya.

Faktor lain yang memperparah komplikasi adalah krisis idealisme, krisis kewibawaan kini sedang berkembang di PWI. PWI telah terjangkiti penyakit parpolisasi, atau melumernya idealisme pasca reformasi. 

"Benteng demokrasi ini kini larut pada euforia materialisme dan hanyut oleh tarik menarik kepentingan praktis," tandasnya.