Kasus Bunuh Diri Sekeluarga di Jakut, Kriminolog Soroti Akses Bantuan Sosial

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 12 Maret 2024 00:48 WIB
Suasana TKP setelah polisi menemukan 4 orang anggota keluarga meninggal di depan sebuah apartemen di Jakut (Foto: MI/Aswan)
Suasana TKP setelah polisi menemukan 4 orang anggota keluarga meninggal di depan sebuah apartemen di Jakut (Foto: MI/Aswan)

Jakarta, MI - Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Adrianus Meliala menilai keluarga korban yang diduga bunuh diri dengan melompat dari sebuah apartemen di Penjaringan, Jakarta Utara, kurang mendapatkan bantuan dari masyarakat dan keluarga besar sehingga bunuh diri menjadi pilihan terakhir.

Dia menyebut kasus semacam itu dengan istilah desperate death alias kematian putus asa. Sebab, dalam kasus ini, mereka ditengarai tidak mendapatkan bantuan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar.

“Keluarga-keluarga ini terpaksa harus berdiri sendiri, tidak bisa lagi mengakses bantuan sosial. Kalau misalnya [minta tolong] tetangga tidak mungkin, negara juga tidak bisa,” katanya, Senin (11/3/2024).

Kasus ini, menurut Adrianus, membuktikan bahwa masyarakat urban memerlukan intervensi dari warga sekitar ataupun keluarga besar.

Berdasarkan penelitian bertajuk “Profil statistik bunuh diri pertama di Indonesia”, ditemukan bahwa Indonesia memiliki tingkat bunuh diri tidak tercatat tertinggi di dunia, yakni 859,10% untuk bunuh diri.

Dr. Sandersan Onie, salah satu peneliti dari riset tersebut, mengatakan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat komunal seharusnya dapat memperhatikan tanda-tanda bunuh diri dalam diri seseorang atau sekelompok orang.

Namun, sifat masyarakat yang komunal itu justru membuat stigma negatif terhadap orang yang melakukan percobaan bunuh diri semakin kental dan membuat mereka semakin terisolasi.

Adrianus Meliala, mengatakan keluarga seharusnya dapat menjadi jaring pengaman atau safety net dalam pencegahan bunuh diri. Sebab dahulu kala, sambungnya, masyarakat tidak segan untuk meminta tolong kepada keluarga besar saat menghadapi kesulitan hidup, baik secara finansial ataupun sosial. 

Namun, tren itu semakin berkurang dengan semakin berjaraknya anggota-anggota keluarga. “Kalau dulu keluarga besar bisa membantu, tapi mungkin seiring berjalannya waktu, dan anaknya semakin dewasa dan mulai memiliki pemikiran lain. Kalaupun mau minta bantuan ke keluarga besar, sudah tidak ada gunanya lagi,” ujar Adrianus.

Ia mengatakan seringkali dalam kasus bunuh diri sekeluarga, tak hanya orang tua yang menanggung beban, tetapi anak-anak juga. Karena tidak ada pilihan lain, mereka akhirnya memilih tewas sekeluarga.

Contohnya, kasus bunuh diri ibu dan anak, Grace Arijani Harapan (68) dan David Aryanto Wibowo (38), di kawasan Cinere, Kota Depok, pada September 2023 lalu.

Mereka menderita mati lemas (asfiksia) karena mengurung diri di ruang sempit. Rasa frustrasi dan depresi akibat masalah ekonomi setelah ditinggal sang kepala keluarga menjadi alasannya.

Kemudian, ada pula keluarga guru SD di Desa Saptorenggo, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang yang melakukan bunuh diri dengan meminum obat nyamuk karen terlilit utang pada Desember 2023.

“Semuanya sampai pada suatu keputusan untuk kemudian bunuh diri. Itu yang pertama. Yang kedua, selalu mungkin bahwa ada situasi relasi kuasa. Di mana orang tua mempengaruhi anaknya, memaksa anaknya secara halus," ujar Adrianus.

Oleh karena itu, ia menyarankan agar pemerintah serta masyarakat memfokuskan upaya pencegahan bunuh diri lewat pendekatan religius atau komunitas agar masyarakat yang merasa putus asa atau kehilangan harapan tidak memandang bunuh diri sebagai opsi.

Sebagaimana diberitakan, satu keluarga yang terdiri dari empat orang, tewas usai diduga bunuh diri dengan melompat dari lantai 22 Apartemen Teluk Intan, Tower Topas, Penjaringan, Jakarta Utara (Jakut), Sabtu (9/3/2024).

Satu keluarga tersebut terdiri atas ayah berinisial EA (51), ibu AEL (50), dan dua anaknya yang berusia remaja yakni perempuan berinisial JL (15) dan laki-laki JWA (13).

"Keempat korban diduga melompat dari rooftop apartemen tersebut," kata Kapolsek Metro Penjaringan Kompol Agus Ady Wijaya, Minggu (10/3).

Menurut penjelasannya, keempat jasad korban ditemukan petugas keamanan yang berjaga di lobi apartemen. Saat itu, petugas keamanan mendengar ada suara dentuman keras dan langsung menghampiri sumber suara.

Petugas kemudian menemukan empat mayat yang telentang dan langsung melapor ke polisi.