Perguruan Tinggi Negeri Tak Selayaknya Berdagang Cari Untung dengan Mahasiswa

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 8 Mei 2024 13:37 WIB
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian (Foto: Ist)
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Belakangan ini tingginya biaya Uang Kuliah Tunggal atau UKT yang terjadi di sejumlah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi sorotan publik. Aksi demonstrasi pun gencar dilakukan mahasiswa, sebagaimana yang terjadi di Universitas Jenderal Sudirman (Unsoed) Purwokerto dan Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta.

Di UGM membagi UKT ke dalam lima golongan berdasarkan subsidi. Selain subsidi 100 persen, subsidi UKT yang dikenakan adalah 75 persen, 50 persen, 25 persen, dan nonsubsidi. Besaran UKT yang sudah dipotong subsidi ini pun bervariasi tergantung jurusan yang diambil. 

Koordinator Forum Advokasi UGM 2024, Rio Putra Dewanto, mengungkapkan hasil survei ke 722 mahasiswa UGM angkatan 2023. Berdasarkan hasil survei tersebut, ditemukan 70,7 persen merasa keberatan dengan UKT yang telah ditetapkan UGM.

Hal ini pun membetok perhatian Komisi X DPR RI yang membidangi soal pendidikan. Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian misalnya.

Politisi partai Golongan Karya (Golkar) ini mengaku prihatin akan hal itu. Hetifah menegaskan bahwa PTN tidak selayaknya berdagang mencari untung dengan mahasiswa untuk pembangunan kampus.

Hetifah mengakui kenaikan UKT yang tinggi ini dimungkinkan karena adanya status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) yang memungkinkan perguruan tinggi memiliki kemandirian berupa otonomi baik di bidang akademik maupun non akademik. 

Perubahan status tersebut pun membuat PTN-BH memiliki kewenangan mutlak untuk menetukan arah kebijakan PTN tanpa intervensi dari luar.

Namun tetap saja, Hetifah menyayangkan dengan adanya PTN-BH seharusnya PTN dapat meningkatkan reputasi maupun kualitas baik secara institusi maupun lulusan mahasiswa. 

"PTN-BH diberikan keleluasaan untuk untuk mencari dana tambahan dari pihak swasta guna menjalankan aktivitas kampus atau pembangunan infrastruktur lainnya. Namun, bukan berarti PTN ini bisa sewenang-wenang untuk menaikkan UKT mahasiswa," kata Hetifah saat dikonformasi Monitorindonesia.com, Rabu (8/5/2024).

“Kita tahu sendiri kondisi penghasilan rata-rata masyarakat Indonesia saat ini seperti apa, peningkatan UKT 3 hingga 5 kali lipat sungguh tidak logis dan tidak relevan,” tambahnya.

Untuk itu, Hetifah mendesak agar dilakukan evaluasi terhadap otonomi PTN-BH terkait jenis-jenis pendapatan terutama dari bidang akademik atau pendidikan. "Agar ada standar minimum dan maksimum nominal UKT, sehingga tidak memberatkan mahasiswa," tutupnya.

Sementara itu, pengamat kebijakan pendidikan Cecep Darmawan menyarankan adanya redesain soal dana pendidikan 20%. Dana tersebut semestinya hanya untuk operasional kampus saja, bukan untuk gaji guru atau dosennya.

"Kreativitas apa yang bisa dilakukan perguruan tinggi, kerja sama apa yang bisa menghasilkan income perguruan tinggi," kata Cecep dalam sebuah wawancara.

Menurut Cecep, UKT adalah langkan terakhir perguruan tinggi untuk mendapatkan income. Itu pun harus dengan persetujuan orang tua mahasiswa. 

"Diperlukan transparansi dari kampus, kalau perlu KPK masuk ke perguruan tinggi, lihat gaji rektor dan dosennya, saya yakin ada kesenjangan," tandas Cecep.