Ini Usulan Ganjar Atasi Konflik Laut China Selatan

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 7 Januari 2024 20:38 WIB
Ganjar Pranowo (Foto: Dok MI)
Ganjar Pranowo (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Calon presiden (capres) nomor urut 3, Ganjar Pranowo membeberkan usulan mengatasi  konflik laut China Selata dalam debat capres kedua pada Minggu (7/1) malam.

"Kita evaluasi perjalanan selama ini bagaimana di Laut Cina Selatan tidak pernah selesai sudah 20 tahun lebih tidak pernah selesai maka usulan kami sangat jelas dan klik apa itu kesepakatan sementara, kenapa kesepakatan sementara ini mesti kita dorong dan kita inisiatif agar kita bisa mencegah sesuatu yang tidak kita inginkan kita tahu persis modernisasi peralatan di Tiongkok akan selesai di tahun 2027," kata Ganjar.

 Artinya, kata dia, seluruh dunia pasti akan mengakui bagaimana peran itu. kedua, kata dia, ketika kemudian peran itu menjadi kuat maka bukan tidak mungkin cerita-cerita potensi terjadinya konflik dengan negara lain akan muncul mungkin perannya tidak sampai ke Indonesia tapi pada sisi lain kita bisa kena dampak yang berikutnya.

"Lalu soal bagaimana patroli bisa kita perkuat juga di wilayah Laut Cina Selatan maka kita butuh tanker-tanker terapung yang bisa dipakai untuk tentara-tentara TNI angkatan laut sehingga logistiknya menjadi sangat murah tidak lagi kembali ke titik awal," beber Ganjar.

Menurut Ganjar, kesepakatan sementara untuk menghindari potensi-potensi yang lainnya lebih tinggi kita akan merendam dengan cara itu. "Selain itu, alutsista juga harus jadi prioritas," tegas Ganjar.


Namun demikian, menurut calon presiden (capres) nomor urut 1 Anies Baswedan, kuncinya adalah penguatan peran Indonesia di ASEAN. Anies mengkritisi bahwa tanggapan Ganjar tidak satu katapun mengatakan soal ASEAN.

"Padahal kata kuncinya menyelesaikan persoalan ini ASEAN. Indonesia negara terbesar di ASEAN, pendiri ASEAN. Indonesia harus kembali menjadi pemimpin ASEAN yang dominan," kata dia.

Ia kembali mengatakan bahwa peran Indonesia di kancah global jangan sekadar jadi hadirin dalam acara konferensi. Indonesia harus menjangkau semua dan negara ASEAN yang jadi pintu masuk kekuatan China.

"Misalnya di LCS apakah itu Laos, Myanmar itu akan menjadi bagian kesepakatan ASEAN terhadap wilayah LCS. Karena kekuatan luar ASEAN yang datang di sini, jadi kita hadapi sebagai satu regional bukan sekadar Indonesia berhadapan dengan negara lain, tapi satu region dan Indonesia memimpin ASEAN itu kata kuncinya," ia memungkasi.

Diketahui, sengketa LCS menjadi topik hangat dalam konferensi internasional belakangan ini. Penyelesaian sengketa ini sulit terselesaikan meski telah melalui perundingan sampai melibatkan hukum international.

Sebelumnya, China dan Filipina telah berselisih atas LCS dan telah mencapai keputusan internasional bahwa klaimnya tidak memiliki dasar hukum.

China terus membuat negara Asia sekitarnya murka dengan menambah menjadi 10 garis putus-putus yang melibatkan wilayah Taiwan, hingga kawasan LCS.

Penanganan isu ini sulit tercapai tanpa adanya gabungan kekuatan negara-negara ASEAN. Pasalnya, China sebagai negara dengan ekonomi terbesar ke-2 dan wilayah terluas ke-3 dunia akan cukup sulit dihadang negara-negara Asia Tenggara yang jauh lebih kecil secara individual.

Khusus di Laut China Selatan (LCS), China merubah konsep wilayah negaranya dari sembilan garis putus-putus, menjadi 10 garis putus-putus.

Sebelumnya, China juga telah mengklaim sembilan garis putus-putus yang termasuk laut dari Kepulauan Paracel (yang juga diklaim Vietnam dan Taiwan) hingga Kepulauan Spratly yang disengketakan dengan Filipina, Brunei, Malaysia, Taiwan dan Vietnam.

Tidak hanya itu, China juga menarik garis putus-putus ke-10 pada wilayah Taiwan yang mengindikasikan sebagai zona teritorinya.

Selama ini Taiwan menganggap pulau itu bagian dari negerinya meski pemerintahan Taipei menolak.

Aksi klaim sepihak ini tentunya tidak dapat dibiarkan. Protes keras telah diajukan berbagai wilayah yang dirugikan, baik untuk negara di kawasan Asia Tenggara maupun Asia lainnya.

Sikap semena-mena ini telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir yang melibatkan wilayah kawasan Indonesia. Pada 2020 silam, RI murka atas pelanggaran pelanggaran Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang dilakukan kapal Negeri Tirai Bambu di perairan Natuna, Kepulauan Riau.