Jokowi dan Sri Mulyani Beda Sikap Soal Netralitas, Ini Kata Pakar

Dhanis Iswara
Dhanis Iswara
Diperbarui 26 Januari 2024 12:26 WIB
Pakar Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan (UPH), Emrus Sihombing (Foto: Ist)
Pakar Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan (UPH), Emrus Sihombing (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Pakar komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing, menilai sikap pernyataan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati yang meminta seluruh jajarannya untuk menjaga netralitas pada Pemilu 2024 bukan karena berseberangan atau tidak sejalan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

"Saya pikir beda konteks antara Jokowi berpendapat dengan Sri Mulyani, jadi artinya mereka bukan berseberangan, bukan bertentangan," kata Emrus saat dihubungi Monitorindonesia.com, Jumat (26/1).

Menurutnya, pernyataan Jokowi yang mengatakan bahwa Presiden dan Menteri boleh berpihak karena itu jabatan politik, sementara Sri Mulyani menyatakan hal tersebut kepada bawahannya yang merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN).

"Jadi Sri Mulyani mengatakan, kepada jajarannya tentu di bawah jajarannya semua kan PNS ya harus netral, (termasuk) TNI dan Polri. Sementara Pak Jokowi mengatakan pejabat politik, presiden dan menteri, sehingga bukan sebagai PNS loh. Tetapi, mereka pejabat publik yang juga pejabat politik boleh," ujarnya.

"Jadi artinya apa yang dikatakan Joko Widodo berbeda konteks dengan apa yang dikatakan Sri Mulyani berbeda konteks bukan berarti bersebrangan, tapi dua-duanya benar itu," tambahnya.

Sebelumnya, Sri Mulyani meminta kepada seluruh jajarannya untuk menjaga netralitas pada Pemilu 2024. Menurutnya, dalam aturan bernegara pasti ada undang-undang yang mengatur soal tata krama, karena itu ia meminta agar para jajarannya bisa menunjukkan sikap tersebut.

"Tahun Pemilu jaga sikap kita, netralitas itu adalah sesuatu yang sudah menjadi keharusan. Anda bisa punya preferensi apa saja lakukan pada saat anda di kotak suaram. Itu adalah value yang menunjukkan bahwa kita sebagai manusia diatur oleh undang-undang dan diatur oleh tata krama," kata Sri Mulyani kepada wartawan, Kamis, (25/1).

Sementara, presiden Jokowi menyampaikan, bahwa menjelang hari pemungutan suara presiden boleh memihak dan berkampanye untuk paslon tertent. Tetapi, kata dia tak boleh menggunakan fasilitas negara.

"Yang paling penting presiden itu boleh loh kampanye, presiden itu boleh loh memihak, tapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara," kata Jokowi kepada wartawan di Pangkalan TNI AU Halim, Jakarta, Rabu (24/1).

"Presiden itu boleh memihak juga boleh, tapi kan dilakukan atau tidak dilakukan itu terserah individu masing-masing," jelas Jokowi. (DI)