Alotnya Pembahasan RUU Perampasan Aset

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 12 Desember 2023 14:36 WIB
Rapat paripurna di Gedung DPR RI, Selasa (21/3) (Foto: MI/Dhanis)
Rapat paripurna di Gedung DPR RI, Selasa (21/3) (Foto: MI/Dhanis)
Jakarta, MI - Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset bertujuan untuk menghadirkan cara untuk dapat mengembalikan kerugian negara (recovery asset) sehingga kerugian yang diderita oleh negara tidak signifikan. 

RUU ini telah melewati perjalanan yang cukup panjang sejak awal tahun 2010. Pada periode Prolegnas 2015-2019, RUU ini termasuk dalam program legislasi nasional, namun tidak pernah dibahas karena tidak masuk dalam daftar prioritas RUU. 

Kemudian, pada periode Prolegnas 2020-2024, RUU Perampasan Aset kembali dimasukkan dan Pemerintah mengusulkan agar RUU ini dimasukkan dalam Prolegnas 2020, sayangnya usulan tersebut tidak disetujui oleh DPR RI. 

Pada tahun 2023, pemerintah dan DPR RI mencapai kesepakatan untuk memasukkan RUU Perampasan Aset dalam Prolegnas 2023.

Namun, sejak pemerintah mengirim surat presiden (surpres) RUU Perampasan Aset pada 4 Mei 2023 lalu, pimpinan DPR hingga kini tak kunjung membacakannya dalam rapat paripurna. 

Setidaknya, sudah enam kali rapat paripurna digelar sejak surpres diterima DPR, tetapi nasib RUU Perampasan Aset tetap menggantung. Ini terjadi lantaran proses politik di meja antarfraksi hingga ini belum juga tuntas. 

Padahal, DPR sebelumnya telah memperlihatkan sikap tegasnya dengan mendesak pemerintah agar segera mengirim surpres RUU Perampasan Aset. Akan tetapi, setelah pemerintah mengirim surpres, sikap tegas DPR perlahan memudar hingga membuat nasib RUU Perampasan belum ada kepastian.

Sebenarnya, sejumlah anggota Komisi III DPR dari berbagai fraksi mendesak pemerintah untuk serius menyiapkan pembahasan RUU Perampasan Aset ini. Anggota Komisi III Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, misalnya. Kemudian pendekatan yang dilakukan pemerintah terhadap fraksi-franksi juga tak kunjung terjadi.

Hingga pada akhirnya, Presiden Joko Widodo alias Jokowi pada hari ini, Selasa (12.12) kembali mendesak RUU Perampasan Aset dan Pembatasan Uang Kartal untuk segera diselesaikan. 

Ini supaya bisa memberikan efek jera kepada koruptor. "Terkait penguatan di level regulasi, ini juga diperlukan menurut saya UU Perampasan Aset tindak pidana ini penting untuk segera diselesaikan," kata Jokowi dalam pidatonya di Peringatan Hari Anti Korupsi Dunia, Selasa (12/12).

Menurut Jokowi UU Perampasan Aset itu memberikan efek jera bagi terpidana korupsi, dimana menjadi mekanisme pengembalian kerugian negara.

"Saya harap pemerintah dan DPR bisa segera membahas dan menyelesaikan UU Perampasan Aset," kata Jokowi.

Selain itu ia juga melihat UU Pembatasan uang kartal juga perlu segera diselesaikan. Supaya transaksi uang fisik bisa dibatasi dan harus dilakukan melalui perbankan sehingga lebih akuntabel dan transparan.

Namun demikian, Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil menyatakan Presiden Jokowi tak perlu mendesak DPR untuk segera menyelesaikan RUU Perampasan Aset. Pasalnya, kata dia, yang menjadi atensi dan perlu dibenahi adalah lembaga penegak hukum. 

"Untuk apa didesak-desak soal RUU Perampasan Aset ini? Yang perlu dibenahi soal integrasi dan integritas  lembaga penegakan hukum," kata Nasir saat dihubungi Monitorindonesia.com, Selasa (12/12).

Alot dan Panjang

Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto atau Bambang Pacul memprediksi pembahasan RUU ini akan berjalan alot dan memakan waktu yang lama.
Pacul mengaku fraksinya menyoroti cukup banyak poin dari draf RUU Perampasan Aset. Dia mengatakan hal ini nantinya disampaikan dalam pembahasan RUU.

"Banyak (isi RUU yang disorot Fraksi PDIP). Nah itu nanti didebatkan (poin yang paling dikaji), tetapi kami sudah diskusi. Itu kan menjadi keputusan kita bareng," ujar Bambang Pacul saat itu.

Tetapi, menurutnya, hal ini baru menjadi standing poin dari Fraksi PDIP sudah dibuat untuk RUU Perampasan Aset. 

"Nah standing poin itu dasarnya apa, setiap poin-poin itu ada dasarnya. Nah ini nanti dalam RDPU diperkaya, pengayaan pendapat oleh para ahli, kita undang semua," katanya.

Pacul pun memprediksi pembahasan RUU ini akan berjalan alot dan memakan waktu lama. Menurutnya, RUU ini juga akan menuai atensi dari kalangan ketum parpol lantaran berdampak cukup luas ke masyarakat. "(Pembahasan) alot, panjang dan alot. Makanya saya ngomong dulu, karena ini panjang dan alot. Menurut saya, yang namanya UU ini, ketum pasti akan bicara. Ketum-ketum partai pasti akan bicara. Itu kan akan mengubah perilaku kehidupan rakyat," ungkapnya.

Senjata Makan Tuan

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai belum dibahas dan disahkannya RUU Perampasan Aset juga karena adanya faktor kekhawatiran dari DPR hingga pemerintah. 

Kehadiran beleid itu diyakini bakal jadi senjata makan tuan. "Undang-Undang Perampasan Aset bisa menjadi senjata makan tuan. Sejatinya perampasan aset hanya dilakukan terhadap aset-aset hasil kejahatan. Jadi setiap aset objek perampasan pasti ada riwayat yuridisnya, meskipun pada saat diketahui secara formal sudah menjadi aset yang legal," ujar Abdul Fickar kepada Monitorindonesia.com, dikutip pada Selasa (12/12).

RUU Perampasan Aset diketahui sudah lewat enam kali sidang paripurna sejak surat perintah presiden (surpres) diserahkan pemerintah. Ini tak ayal ikut mengundang pertanyaan akan keseriusan DPR tentang urgensi pemberantasan korupsi. Padahal, RUU tersebut juga sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2023. 

Aneh, RUU itu hingga saat ini tak kunjung disahkan. "Itu tandanya kekuasaan riil itu ada dikekuatan partai politik, karena itu eksekutif sekelas Presiden saja tidak efektif," tambah Abdul Fickar.

Selain itu, Abdul Fickar melihat upaya yang dilakukan pemerintah dalam mengembalikan aset negara selama ini masih rendah. Fickar memberi contoh bagaimana paradigma hukum dalam menangani kejahatan ekonomi masih kepada pendekatan aspek pidana dengan menghukum orangnya, bukan pada prioritas pengembalian aset negara. 

"Kelemahannya, perkara pidana itu lebih banyak menghukum orangnya ketimbang mengambil secara maksimal aset-aset milik negara. Saya kira kesalahan pertama di situ. Instrumen pidana kita sepertinya masyarakat puas kalau pelakunya dihukum berat. Padahal persoalannya adalah ada banyak aset diambil di situ," jelasnya. 

Atas kelemahan tersebut, menurutnya UU Perampasan Aset dapat mempercepat upaya pengembalian kerugian negara.

Ia juga mengatakan, dengan UU Perampasan Aset, para penegak hukum diyakini akan lebih cepat dan maksimal dalam bekerja mengambil alih aset negara.