Pengembalian Uang Jutaan Dolar Korupsi BTS Kominfo: Perdatanya Hilang, Pidana Tetap Jalan Kan?

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 17 Juli 2023 21:38 WIB
Jakarta, MI - Maqdir Ismail selaku kuasa hukum terdakwa kasus dugaan korupsi BTS 4G Bakti Kominfo, Irwan Hermawan baru-baru ini meyerahkan uang Rp 27 miliar dalam bentuk dolar Amerika Serikat yakni USD 1,8 juta ke Kejaksaan Agung (Kejagung) diduga berkaitan dengan kasus tersebut. Tak hanya Rp 27 miliar, Maqdir juga mengaku telah menyerahkan uang Rp 8 miliar sebelumnya dengan harapakan dapat memperjelas posisi kliennya dan sumber uang itu. Perbedaannya adalah Rp 27 miliar dengan cash, sementara Rp 8 miliar ditransfer ke rekening penampungan. “Kami sudah kirim (uang Rp8 miliar) ke rekening penampungan tanggal 17 April 2023,” ujar Maqdir kepada wartawan, Jum’at (14/7) lalu. [caption id="attachment_554157" align="alignnone" width="1600"] Kuasa Hukum Irwan Hermawan, Maqdir Ismail menyerahkan uang Rp 27 miliar ke Kejagung, Kamis (13/7) (Foto: MI/Aswan)[/caption] Kendati demikian, jika merujuk pada Pasal 4 UU Pemberantasan Tipikor menyatakan bahwa "Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3". Dalam hal pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan pasal 3 telah memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, maka pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan. Dikutip Monitorindonesia.com, Senin (17/7) dalam artikel "Pengurangan Hukuman Syaukani Sesuai Doktrin" pakar hukum acara pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakkir berpendapat bahwa pengembalian uang atau kerugian negara oleh terdakwa dapat menjadi alasan bagi hakim untuk mengurangi pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa yang bersangkutan. Selanjutnya... Pengembalian tersebut, menurut Mudzakir, berarti ada iktikad baik untuk memperbaiki kesalahan. Ia menegaskan pengembalian uang itu hanya mengurangi pidana, tetapi bukan mengurangi sifat melawan hukum. [caption id="attachment_531711" align="alignnone" width="675"] Pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakkir[/caption] Dalam praktek, lanjut Mudzakir, pengembalian hasil tindak pidana sering dikaitkan dengan waktunya. Bila pengembalian dilakukan sebelum penyidikan dimulai, seringkali diartikan menghapus tindak pidana yang dilakukan seseorang. Namun, bila dilakukan setelah penyidikan dimulai, pengembalian itu tidak menghapus tindak pidana. Menurutnya, dikembalikan sebelum atau sesudah penyidikan itu tetap melawan hukum. Misalnya seseorang mencuri, lalu mengembalikan barang curian sebelum orang lain tahu, itu tetap tindak pidana. Sementara dalam artikel yang sama, praktisi hukum Teuku Nasrullah berbeda pendapat soal waktu pengembalian hasil tindak pidana. Khusus dalam konteks tindak pidana korupsi, pengembalian kerugian negara sebelum penyidikan bisa menghapus tindak pidana. Salah satu unsur korupsi, lanjutnya adalah unsur kerugian negara. Bila sudah dikembalikan berarti unsur tersebut sudah hilang. Tapi syaratnya harus sebelum ada penyidikan. [caption id="attachment_554692" align="alignnone" width="700"] Pakar hukum pidana, Teuku Nasrullah[/caption] Jika penyidikan telah dimulai, ia menilai pengembalian uang hanya mengurangi sanksi pidana saja. Alasannya, pengembalian kerugian negara dianggap sebagai timbal balik karena telah meringankan tugas negara. Tidak mempersulit dari segi biaya, waktu, tenaga dan pikiran negara. Pengembalian yang juga dianggap sebagai pengakuan bersalah si terdakwa. Jadi, meskipun pelaku tindak pidana korupsi (koruptor) itu telah mengembalikan keuangan negara yang telah ia korupsi sebelum putusan pengadilan dijatuhkan, proses hukumnya tetap berjalan karena tindak pidananya telah terjadi. Selanjutnya... Akan tetapi, pengembalian uang yang telah dikorupsi dapat menjadi faktor yang meringankan bagi terdakwa saat hakim menjatuhkan putusan. Selain melalui jalur pidana, pengembalian keuangan negara juga dilakukan melalui jalur perdata. Jalur perdata ini ditempuh bila upaya pidana sudah tidak dimungkinkan. Artinya, perampasan dan uang pengganti tidak berhasil dilakukan karena dihadapkan pada kondisi hukum tertentu. Satu-satunya alternatif ialah dilakukan melalui gugatan perdata. Dengan demikian, jalur perdata bersifat fakultatif dan merupakan komplemen dari hukum pidana. UU Antikorupsi tidak mewajibkan gugatan perdata. Tidak adanya kewajiban itu memberikan peluang kepada jaksa pengacara negara untuk melakukan atau tidak melakukan gugatan perdata pengembalian keuangan negara. Buktinya, selama ini gugatan perdata pengembalian keuangan negara tidak banyak dilakukan. Kendati, gugatan perdata tidak dapat hanya disandarkan pada ketentuan yang diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku (HIR), yang ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan pemberantasan korupsi. Gugatan perdata perlu ditempatkan sebagai upaya hukum yang utama di samping upaya secara pidana, bukan sekadar bersifat fakultatif atau komplemen dari hukum pidana, sebagaimana ketentuan UU Antikorupsi. Hal ini tentunya menjadi catatan untuk aparat penegak hukum (APH), apakah pengembalian uang miliaran rupiah itu oleh Maqdir bisa berlanjut pada proses hukum atau tidak. Kejaksaan Agung sendiri telah buka suara terkait asal usul pengembalian uang sebesar US$1,87 juta atau setara Rp27 miliar dari Maqdir itu. Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kuntadi mengaku pihaknya telah memeriksa Maqdir ihwal penerimaan uang tersebut. Selanjutnya... Menurut Kuntadi, Maqdir mengaku kepada penyidik sama sekali tidak mengetahui secara pasti sosok yang menyerahkan uang tersebut. Maqdir juga mengaku uang tersebut tidak diterima secara langsung melainkan oleh rekan kerjanya yang bernama Andika. [caption id="attachment_553829" align="alignnone" width="1500"] Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Kejagung Kuntadi (Foto: MI/Aswan)[/caption] "Setelah kami dalami aliran dana tersebut ternyata diterima oleh mitra kerja yang bersangkutan yaitu saudara Andika dan oleh karenanya yang bersangkutan sekaligus kita lakukan pemeriksaan," ujarnya dalam konferensi pers, Kamis (13/7) lalu. Dari pemeriksaan lanjutan, kata Kuntadi, barulah diketahui bahwa sosok pengembalian uang tersebut berinisial S. "Hasilnya antara lain bahwa katanya tidak tahu siapa yang menyerahkan. Inisialnya 'S' tapi latar belakang dan asal dari mana, maksud, dan tujuannya sampai hari ini kami tidak tahu," ungkapnya. Oleh karenanya, Kuntadi mengatakan saat ini pihaknya masih mendalami dari mana asal-usul uang tersebut, termasuk kaitannya dengan kasus penyediaan menara BTS 4G Bakti Kominfo itu. Pendalaman tersebut, salah satunya dilakukan dengan menggeledah Kantor Pengacara Maqdir Ismail yang menjadi lokasi penyerahan uang. Tidak Menutup Kemungkinan Penegak Hukum Terlibat Anggota Komisi III DPR, Dimyati Natakusumah menyatakan, Jaksa Agung ST Burhanuddin akan menyikat semua pihak yang terkait dengan dugaan korupsi pengadaan BTS BAKTI Kominfo. Tidak terkecuali oknum penegak hukum yang terlibat dalam makelar kasus (markus) BTS BAKTI Kominfo. “Pak Jaksa Agung pasti akan menyikat siapapun yang terlibat, kan sudah disampaikan itu (oleh Jaksa Agung),” kata Dimyati, Minggu (16/7) kemarin. Hal ini disampaikan Dimyati terkait dengan proses hukum yang terus dilakukan Kejagung terhadap aliran dana Rp27 miliar, yang diduga akan digunakan untuk ‘menutup’ perkara BTS BAKTI Kominfo. Selanjutnya... Menurutnya tidak tertutup kemungkinan ada keterlibatan penegak hukum dalam perkara Rp27 miliar ini. Namun Dimyati percaya Jaksa Agung tidak akan tebang pilih dalam penyelidikan masalah ini. Dimyati melihat proses penyelidikan kasus ini sudah tepat. Dikatakannya, pengembalian uang tidak berarti menghapus tindak pidananya. [caption id="attachment_554693" align="alignnone" width="640"] Dimyati Natakusumah (Foto: Fraksi PKS)[/caption] “Jika uang tersebut diterima lalu kasus hukum terkuak, lalu uang itu dikembalikan, ya perdatanya hilang, tetapi pidananya tetap jalan,” tegasnya. Sementara itu, anggota komisi III DPR Santoso menyatakan jika penerima tidak tahu ada uang yang diberikan dan dikembalikan sebelum proses hukum maka justru bisa menjadi informasi gratifikasi. “Ini (kasus pemberian uang Rp27 miliar) sudah ada tersangka dan kasusnya sudah berjalan, maka pidananya berjalan,” ungkap Santoso. Pasal pidana yang dijatuhkan kepada mereka yang terlibat, menurut Santoso, juga berbeda-beda. Mulai dari penerima utama, mereka yang memberi, mengumpulkan, maupun aktor intelektualnya. Komisi I DPR RI Bisu Tidak seperti komisi III DPR RI, Komisi I hingga saat ini masih membisu terkait kasus ini. Hal ini tentunya menjadi pertanyaan alasannya mengapa? Padahal Komisi I DPR RI mitra kerja daripada Kominfo. Direktur Eksekutif, Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta, Andre Vincent Wenas menilai aneh jika sampai sekarang Komisi I DPR RI masih membisu soal mega korupsi BTS yang telah menjerat beberapa orang, termasuk Johnny G Plate yang menteri sekaligus sekjen Partai Nasdem. Selanjutnya... Bahkan, kata dia tidak ada pemanggilan rapat dengar pendapat (RDP). "Padahal sekarang sudah pula menyeret Dito Ariotedjo, juga Menpora yang kader Golkar. Sebelumnya nama Happy Hapsoro, pebisnis yang suami Puan Maharani (PDIP) disebut-sebut juga," ujar Andre kepada Monitorindonesia.com, dikutip pada Senin (17/7). [caption id="attachment_525679" align="alignnone" width="692"] Andre Vincent Wenas (Foto: Doc MI)[/caption] Selain itu, Andre bahwa menilai perkara Menpora Dito Ariotedjo juga menggelikan, ia dituduh menerima aliran dana Rp 27 miliar, dimana tidak lama kemudian ada kejadian pengembalian duit dengan nilai setara, juga Rp 27 miliar. "Kok bisa pas ya jumlahnya?" tanya Andre. Lalu perkara Happy Hapsoro. "Kita merasa memang terlalu naiflah kalau dibilang tidak tahu-menahu soal skandal BTS ini," lanjut Andre. Skandalnya terkuak tak kalah juga Dirut PT Basis Utama Prima, namanya Muhammad Yusrizki jadi tersangka kasus ini. Perusahaan ini ternyata milik suami Puan Maharani Ketua DPR RI. Happy Hapsoro alias Hapsoro Sukmonohadi adalah pemilik PT Basis Utama Prima yang telah ditunjuk untuk menyediakan panel surya dalam paket 1 sampai 5 BTS 4G Bakti Kominfo. Isinya mencakup pengerjaan power system, meliputi baterai dan solar panel. Selanjutnya... "Sampai sekarang cuma sampai Dirutnya saja yang diproses, sedangkan pemiliknya?" katanya. Tapi, menurut Andre, pernyataan Sekejn PDIP, Hasto Kristiyanto terdengar aneh. "Begini katanya, “Kami melakukan pelurusan bahwa hal tersebut sama sekali tidak benar. Korupsi adalah korupsi dan itu dimulai dengan siapa pemegang mandat, pemegang kewenangan atas pengguna anggaran, yaitu adalah Kominfo". "Kok nggak nyambung ya pernyataannya. Jadi bagaimana sih keterlibatan oknum-oknum di PT Basis Utama Prima? Tumplekin semua ke Dirutnya saja, padahal semua tahu, sama tahu bahwa untuk proyek segede itu tak mungkinlah pemilik perusahaan tidak cawe-cawe," kata Andre. Menurut Andre, proyek koruptif BTS ini faktanya sudah menyeret nama-nama politisi, pebisnis dan aparat pemerintah. "Semua sudah tidak tahu malu lagi. Delapan puluh persen lebih nilai proyek isinya barang dikorupsi. Duit sebanyak Rp 8,3 triliun itu besar kemungkinan besar kemungkinannya telah meluber kemana-mana. Perorangan maupun berjamaah, dalam proteksi (semu) partai politik," katanya. Mungkin, tambah Andre, inilah yang membuat DPR sampai sekarang membisu. Tak ada pemanggilan RDP untuk menanyakan hal-hal yang substantif. "Bahkan gosip yang santer di luaran adalah soal keterlibatan semua fraksi-fraksi di Gedung DPR. Mereka  katanya  dapat jatah juga? DPR mesti segera klarifikasi soal ini," demikian Andre. Kasus ini telah menyeret 8 orang yakni Johnny G Plate (JGP) mantan Menteri Komunikasi dan Informatika, Anang Achmad Latif (AAL) selaku Direktur Utama Bakti Kementerian Kominfo, Galumbang Menak S (GMS) selaku Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia, dan Yohan Suryato (YS) selaku Tenaga Ahli Human Development Universitas Indonesia (Hudev UI) Tahun 2020. Lalu, Irwan Hermawan (IH) selaku Komisaris PT Solitech Media Sinergy dan Mukti Ali (MA) selaku Account Director PT Huawei Tech Investment. Tersangka Windi Purnama (orang kepercayaan tersangka Irwan Hermawan selaku Komisaris PT Solitech Media Sinergi). Serta Muhammad Yusrizki Muliawan selaku Direktur PT Basis Utama Prima. Selanjutnya.... Johnny G Plate didakwa telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 8,032 triliun. Mantan Sekjen NasDem ini juga didakwa memperkaya diri Rp 17.848.308.000. Eks Dirut BAKTI Kominfo, Anang Achmad Latif didakwa merugikan negara Rp 8,32 triliun dan menerima keuntungan sebesar Rp 5 miliar. Tenaga Ahli HUDEV UI, Yohan Suryanto didakwa dengan sangkaan memerkaya diri sendiri dan orang lain, serta korporasi yang membuat kerugian negara setotal Rp 8,32 triliun. Ia didakwa memperkaya diri sendiri senilai Rp 453 juta. Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia, Galumbang Menak Simanjuntak didakwa merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara sebesar Rp 8,32 triliun. Galumbang didakwa didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang atau TPPU dari hasil dugaan korupsi proye BTS. Ia disebut melakukannya bersama-sama dengan Dirut BAKTI Anang Achmad Latif, Komisaris PT Solitech Media Sinergy Irwan Hermawan dan Direktur PT Multimedia Berdikari Sejahtera Windi Purnama. Irwan Hermawan juga didakwa telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 8,32 triliun dan menerima unag Rp 119 miliar. Menurut Jaksa, Irwan Hermawan melakukan perbuatan dugaan korupsi bersama-sama Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia, Galubang Menak Simanjuntak dan Account Director of Integrated Account Departement PT Huawei Tech Investment Mukti Ali. Kemudian, orang kepercayaan Irwan Hermawan, yakni Windi Purnama menerima uang Rp 500.000.000, Direktur Utama PT Basis Utama Prima (BUP) Muhammad Yusrizki mendapatkan uang sebesar Rp 50.000.000.000 dan 2.500.000 dollar AS. Selanjutnya.... Atas perbuatannya, para terdakwa disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Untuk terdakwa Anang Achmad Latif dan Irwan Hermawan disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan Pasal 3 atau Pasal 4 UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Selanjutnya, Windi Purnama disangkakan melanggar Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Adapun Dirut PT Basis Utama Prima Muhammad Yusrizki ditetapkan sebagai tersangka kedelapan dan dijerat Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kejaksaan Agung hingga saat ini masih melakukan penyidikan terhadap Windi Purnama dan Muhammad Yusrizki. Selanjutnya... Sebagai informasi, pembangunan BTS 4G Bakti Kemenkominfo merupakan proyek prioritas nasional untuk pembangunan sekitar 7.000-an menara komunikasi di wilayah-wilayah terluar Indonesia. Dalam penyidikan terungkap, ada sekitar 4.200 pembangunan dan penyidikan BTS 4G Bakti dalam paket 1, 2, 3, 4, dan 5, yang terindikasi korupsi. Di antaranya, Paket 1 di tiga wilayah; Kalimantan sebanyak 269 unit, Nusa Tenggara 439 unit, dan Sumatra 17 unit. Paket 2 di dua wilayah; Maluku sebanyak 198 unit, dan Sulawesi 512 unit. Paket 3 di dua wilayah; Papua 409 unit, dan Papua Barat 545 unit. Paket 4 juga Paket 5 di wilayah; Papua 966 unit, dan Papua 845 unit. (Wan) #Korupsi BTS Kominfo