Seberapa Pentingkah OTT KPK?

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 20 Juli 2023 16:13 WIB
Jakarta, MI - Operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali dikritik Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan (LBP). Luhut menyebut OTT KPK kampungan. Luhut pada beberapa waktu silam juga sempat mengkritik kinerja KPK dalam upaya pemberantasan korupsi. Dalam kritiknya, Luhut menyoroti KPK yang dianggapnya terlalu banyak melakukan OTT. Karena itu, Luhut meminta agar OTT yang dilakukan KPK tidak perlu terlalu sering. Sebab, menurutnya, akan membuat citra negara Indonesia jelek di mancanegara. “Kita tidak usah bicara tinggi-tinggi. OTT-OTT itu kan tidak bagus sebenarnya. Buat negeri ini jelek banget,” kata Luhut saat memberikan pidato di Launching Stranas PK Tahun 2023-2024, di kawasan Thamrin, Jakarta, Selasa (20/12/2022) lalu. Merespons hal ini, mantan anak buah Firli Bahuri hingga Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) turut buka suara. Mantan Penyidik KPK Novel Baswedan, menilai kasus OTT selalu menjadi pintu masuk untuk ungkap kasus-kasus korupsi besar. Karena merupakan pintu masuk untuk mengungkap kasus-kasus korupsi besar, kata Novel, tidak heran jika banyak penyidik yang takut diOTT. "Sangat dipahami banyak pejabat yang takut terhadap OTT, dan mengarahkan agar OTT tidak dilakukan lagi kedepannya," kata Novel, Kamis (20/7). Sementara itu mantan Penyidik KPK Yudi Purnomo Harahap, blak-blakan mengenai OTT ini. Menjadi penyidik KPK sejak 2007 hingga September 2021, Yudi Purnomo mengatakan OTT sangat penting dalam mengungkap sebuah kasus besar. "Kalau tidak OTT, tidak akan (terungkap)," kata Yudi Purnomo (20/7). Dalam operasi senyap itu, kata Yudo Purnomo, kasus korupsi yang merupakan kejahatan tersembunyi akan terungkap. "(Bisa) bongkar korupsi yang merupakan kejahatan tersembunyi dan sedikit orang tahu," ucapnya. Oleh karena kasusnya bisa menjalar ke mana-mana, maka dengan OTT diungkapkan Yudi Purnomo, bisa mengungkap para pelakunya. Sebelumnya Luhut mengatakan kinerja KPK tidak boleh hanya dilihat dari jumlah orang yang ditangkap. Dia mengatakan strategi pemberantasan korupsi yang hanya berfokus pada penindakan dengan menangkapi orang adalah strategi yang kampungan. Menurut Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman bahwa Luhut telah melakukan intervensi terhadap KPK. "MAKI menanggapi pernyataan Pak Luhut, sangat menyayangkan dan kecewa dengan sikap Pak Luhut yang merupakan bentuk intervensi terhadap KPK," ujar Boy sapaan akrabnya, dikutip pada Kamis (20/7). "Walaupun berada di bawah otoritas eksekutif menurut UU baru, namun tindakan KPK tetap independen, termasuk dalam hal OTT. Oleh karena itu, saya membela KPK yang melaksanakan OTT," sambung Boy. Menurut Boy, kejadian seperti ini tidak boleh terulang lagi. "Pak Luhut harus mencabut kata-kata yang menghina OTT," tegasnya. Sementara itu Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan, Luhut harus banyak memperbanyak literatur soal pemberantasan korupsi. Sebab, dalam pemberantasan korupsi, tidak bisa hanya sekadar pencegahan melainkan dengan penindakan. "ICW menyarankan kepada Luhut Binsar Panjaitan untuk lebih giat membaca literatur mengenai pemberantasan korupsi. Sebab, apa yang ia sampaikan berkenaan dengan upaya penindakan sebagai langkah terakhir, sepenuhnya keliru. Pemberantasan korupsi tidak bisa dipandang hanya mengedepankan pencegahan, namun harus berjalan beriringan dengan penindakan," jelas ICW, Selasa (19/7). ICW tidak sependapat dengan Luhut. Terlebih upaya penindakan korupsi sudah diatur dalam perundangan. ICW pun mengecam pernyataan Luhut yang menganggap upaya penindakan sebagai drama. "ICW pun tidak paham apa yang Sdr Luhut maksud dengan drama dalam penindakan korupsi. Sebab, upaya penindakan itu adalah proses hukum yang dijamin oleh peraturan perundang-undangan. Apalagi, muara penindakan adalah proses persidangan," ujarnya. "Apakah yang ia maksud drama itu adalah proses hukum di hadapan persidangan? Jika itu yang ia maksud, maka Luhut telah melecehkan hukum," sambung ICW. Lebih lanjut, ICW mengingatkan Indeks Persepsi Korupsi anjlok tahun 2022, dari 38 menjadi 34. Bahkan, KPK dalam berbagai survei tak lagi dipercayai masyarakat. "Harusnya Luhut paham bahwa situasi pemberantasan korupsi di Indonesia sedang dalam fase mengkhawatirkan. Indeks Persepsi Korupsi anjlok tahun 2022, dari 38 menjadi 34. Selain itu, KPK yang Luhut banggakan itu tidak lagi dipercaya oleh masyarakat. Lagipun, apa yang dibanggakan? Kualitas penindakan jeblok, kuantitasnya anjlok, rentetan pelanggaran kode etik, baik level pimpinan maupun pegawai, silih berganti," jelasnya. Terakhir, ICW juga menyinggung lewat OTT banyak pejabat yang telah diantarkan masuk bui. Pejabat itu dari level menteri hingga kepala daerah. "Kami juga ingin ingatkan Luhut, OTT yang dikritik oleh dirinya itu telah mengantarkan banyak pejabat publik masuk bui. Mulai dari level Menteri, pimpinan lembaga negara, hingga kepala daerah," bebernya. "Oleh sebab itu, ICW berharap kepada Luhut agar tidak asal bicara. Jika kurang memahami suatu isu, jauh lebih baik untuk belajar terlebih dahulu," pungkasnya. (Wan)