Dibalik Kata Maaf KPK, Status Tersangka Kabasarnas Henri Terhapus? Ini Penjelasan Ahli Hukum Pidana

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 30 Juli 2023 15:46 WIB
Jakarta, MI - Penetapan tersangka kasus dugaan suap yang menyeret Kepala Badan SAR Nasional (Basarnas) Maresekal Madya (Marsdya) Henri Alfiandi dan anak buahnya menuai pro-kontra. Sebab penetapan tersangkanya dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK yang berujung pada permintaan maaf terhadap pihak Tentara Nasional Indonesia (TNI). Perlu diketahui bahwasanya di dalam doktrin dasar dalam militer, pada awalnya sebelum reformasi tindak pidana yang dilakukan militer itu mendasarkan pada azas personal. Jadi setiap tindak pidana yang dilakukan oleh militer diadili berdasarkan lembaga militer dan oleh peradilan militer. Apapun tindak pidananya, baik tidak pidana dalam militer maupun tindak pidana sipil yang bukan militer. Kemudian terjadilah reformasi tahun 1998 yang sudah menggeser, berusaha untuk menggeser yang menggeser itu esensi pokok menganut asas yang disebut azas perbuatan. Menurut azas perbuatan, oknum militer itu melakukan tindak pidana dibedakan menjadi dua. Apakah dia tindak pidana umum, sipil atau tindak pidana militer. Kalau dia melakukan tindak pidana umum itu diproses dan diadili di pengadilan umum oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan kemudian dituntut oleh jaksa penuntut umum (JPU) dan masuk dalam pengadilan umum. Kemudian, jika oknum militer itu melakukan tindak pidana militer maka diproses secara militer, karena tidak pidana militer oleh penyidik militer dituntut oditur militer, diadili di pengadilan militer. Tapi dalam perkembangannya, kasus demi kasus menggeser lagi kembali pada posisi semula. Kalau di Yogjakarta itu dikenal namanya tidak pidana dalam kasus "Penjara Cebongan" ini diadili militer atau di pengadilan umum perbuatannya membunuh, bukan yang lain-lain. Kalau perbuatan membunuh, pembunuhan itu tak ada hubungan dengan kemiliteran. Tidak ada tugas militer membunuh orang di penjara. Dulu ada tolak tarik di situ, diadili ke sipil atau militer. Dalam proses perkembangannya akhir dan ujungnya diadili di pengadilan militer dan diputus oleh pengadilan militer tentang tindak pidana yang dilakukannya itu. Nah, yang sekarang kasus-kasus di Jakarta itu muncul juga, ada tindak pidana korupsi yang dilakukan militer dan dilakukan oleh sipil dalam suatu tindak pidana korupsi. Oleh jaksa penuntut umum (JPU) dalam hal ini Kejaksaan Agung RI itu diadili dalam tim koneksitas. Ada penyidik tindak pidana korupsi oleh militer dan di dalam pengadilan tipikor ada hakim militer. Penuntut umum juga ada penuntut umum militer dan oditur militer masuk di situ. Maka diproses dan diadili melalui proses yang mungkin sempurnanya disebut sebagai koneksitas. Dalam terakhir ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tiba-tiba mengambil keputusan untuk menetapkan seseorang itu sebagai tersangka dalam hal ini militer aktif yang dia diduga melakukan tindak pidana suap bersama dengan sipil. Tapi ini diduga dilakukan oleh KPK sendiri tanpa koordinasi dan melibatkan militer. Mengapa terjadi seperti itu? Ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof. Mudzakir menyatakan bahwa seharusnya dalam menegakkan hukum ada azas kehati-hatian, menghormati hak orang dan seterusnya dan seterusnya. Jadi sebut saja itu KPK sudah banyak melakukan tindakan-tindakan sudah menetapkan tersangka. Tetapi ini kemudian dikomplen pihak TNI bahwa tidak ada kewenangan KPK disitu. "Kalau tidak mempunyai kewenangan, lantas bagaimana dia menetapkan militer aktif. Mungkin perlu ditinjau kembali, ini yang dilakukan KPK mau masuk ruang mana? Karena hukumnya itu belum tegas dan jelas. Ruang yang mana itu maksudnya adalah ini masuk dalam pemberlakuan azas itu berlaku pra reformasi, pasca reformasi, ataukah berlaku perkembangan sekarang?" ujar Prof. Mudzakir saat dihubungi Monitorindonesia.com, Minggu (30/7). [caption id="attachment_544925" align="alignnone" width="708"] Pakar Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Prof. Mudzakir (Foto: Istimewa)[/caption] Kalau KPK itu menggunakan pasca reformasi, lanjut dia, berarti KPK dalam pengungkapan kejahatan korupsi yang tidak ada hubungan dengan militer, bukan kejahatan militer, maka diproses secara sipil itu sudah benar. Tetapi kalau menggunakan perkembangan hukum yang terakhir ini, tidak seperti itu. KPK harus memberlakukan namanya azas koneksitas. Walaupun proses-prosesnya itu sedikit menyimpangnya dari azas koneksitas itu. Tapi dasarnya itu adalah azas koneksitas. "KPK harus tegas, dia mau ikuti aliran yang mana, mau ngikutin pandangan yang mana? Kalau azas legalitasnya belum jelas sampai pada hari ini, karena KUHP Militer juga disahkan begitu. Nah kalau belum jelas ini, mau yang mana," lanjut Mudzakir. Tetapi KPK sudah membuat suatu pernyatan-pernyataan yang esensi pokoknya merasa bersalah dengan menetapkan seorang militer sebagai tersangka dan KPK merasa bersalah hingga minta maaf dan atregisis kesalahannya itu dari mana, ditimpakan kepada penyidik? Kata Mudzakir, berarti disini ada kesalahan prosedur. "Tapi apapun salah prosedur atau bukan, telah terbit namanya adalah Surat Perintah Dimulainya Peniyidikan (SPDP) dan mestinya juga sudah diterbitkan surat penetapan seseorang sebagai tersangka. Kalau itu benar tersangkanya adalah Kabasarnas, Henri Alfiandi Cs itu," beber Mudzakir. Menurut Mudzakir, kalau itu benar tersangkanya adalah tertangkap tangan atau bahasa KPK sering menggunakan OTT, barangkali kekhilafan itu bisa diterima disebabkan karena proses yang begitu cepat. "Kejadiannya begitu cepat dan kemudian melahirkan keputusan yang begitu cepat juga itu namanya tertangkap tangan. Tetapi itu kalau OTT, itu mestinya sudah ngerti bahwa calon-calon bakal ditangkap itu adalah campuran antara militer dengan sipil kalau OTT," katanya. " 'O' yang pertama itu adalah operasi, subjek yang dioperasi itu jelas, dia adalah Kepala Basarnas dan sudah ngerti bahwa dia itu militer aktif bukan sipil. Kalau itu OTT, berarti itu kan sudah ngerti bahwa itu militer, tapi juga menggunakan kewenangannya. Langsung dia menetapkan itu dan kemudian terbitlah penetapa seorang menjadi tersangka," terang Mudzakir menambahkan. Atas hal inilah melahirkan pro-kontra, kalau tidak salah statement-statement yang dibuat adalah dengan OTT Basarnas itu dianganggap seolah-olah KPK masih eksis, punya nyali dan seterusnya. Bagaimana dengan permintaan maaf KPK kepada TNI? Kata "TT" (Tangkap Tangan), ujar Mudzakir, bolehlah itu salah, karena proses yang begitu cepat dan dia mungkin ada kelhilafan-kekhilafan itu. Tetapi itu kalau "O" nya ini ada unsur kesengajaan melakukan operasi, sudah ngerti biasanya orangnya siapa yang dibidik. Kalau dia meminta maaf kepada TNI, apakah status tersangkanya terhapus dengan sendirinya? Mudzakir menyatakan bahwa prodak surat penetapan tersangka itu tidak bisa dihapus begitu saja, karena ada permintaan maaf. Karena sudah terbit menjadi prodak hukum. "Kalau dia menjadi prodak hukum, itu mengubahnya harus ada proses hukum juga, menghapusnya juga harus ada proses hukum. Andaikata membuka kembali juga harus ada proses hukum. Ucapan meminta maaf itu tidak menghapuskan tindak pidana yang terjadi suap dan tidak menghapuskan juga surat penetapan tersangka," beber Mudzakir menambahkan. Mungkin pertanyaan berikutnya adalah karena mendasarkan prinsip kata maaf itu tidak menghapuskan surat penetapan tersangka dan juga tidak menghapuskan sprindik. Maka bagaimana mengubah status orang yang karena ada prosedurnya yang salah? "Sebut saja KPK tidak mempunyai kewenangan itu, andai kata simpulan maaf itu karena KPK tidak punya kewenangan itu. Berarti KPK salah didalam prosedur karena diduga menyalahgunaan wewenang," lanjut Mudzakir. Kalau itu disadari bahwa ada dugaan penyalahgunaan wewenang, maka KPK harus mencabut penetapan tersangka seseorang. Setelah mencabutnya menyerahkan perkara pidana yang tidak hapus karena permintaan maaf itu kepada POM TNI. [caption id="attachment_557036" align="alignnone" width="702"] Infografis menanti peradilan militer terhadap Kabasarnas, Henri Alfiandi (Foto: MI/Aswan)[/caption] "Atau lembaga yang kompeten, sebut saja itu prosedur yang pertama dilakukan. Kata maaf tidak menghapus penetapan tersangka dan maaf juga tidak menghapus dugaan terjadinya tindak pidana," tegas Mudzakir. Oleh sebab itu, ungkap Mudzakir, penetapan tersangka bisa dihapus dengan cara KPK sendiri yang mencabut penetapan tersangka itu dengan alasan hukum bahwa adalah telah terjadi pengunaan wewenang yang salah. Namun demikian, karena dia tidak punya wewenang kemudian berani menetapkan wewenang dan kemudian dia cabut. Tentu saja konsekuensinya adalah kesemberonoan dalam penegakkan hukum itu lewat ada punisment-nya. Kalau itu dicabut, terus kemudian oleh KPK kemudian harus dilimpahkan kepada lembaga yang kompeten untuk itu. Maka pencabutan itu harus disertai dengan hasil proses penyelidikan dan penyidikan. "Hasil OTT tadi untuk diserahkan sepenuhnya kepada lembaga yang mempunyai kompeten untuk itu dalam hal ini adalah Polisi Militer (POM) TNI. Atas dasar itu, menurut pendapat saya baru diproses disana dilakukan permulaan kembali dan proses selanjutnya baru kemudian ditetapkan sebagai tersangka," tegasnya lagi. Praperadilan Lebih jauh, Mudzakir menyatakan bahwa, pihak yang dijadikan tersangka juga bisa mengajukan praperadilan kepada lembaga praperadilan untuk meminta diuji keabsahannya penetapan tersangka terhadap militer yang dilakukan oleh KPK. Menurutnya kesalahan harus dihapus dengan hukum juga. "Maka silahkan diminta kepada orang yang dirugikan karena kesalahan KPK itu dalam hal ini adalah Kabasarnas itu untuk mengajukan praperadilan agar supaya diuji keabsahannya penetapan tersangka oleh KPK itu benar atau tidak, sah atau tidak sah," katanya. Kalau itu sah, lanjut, kalau tidak sah close atau berhenti. Mudzakir menilai itu lebih fair disebabkan karena mekanisme dalam proses pengujian-pengujian pengunaan kewenangan yang dilakukan terhadap penyidik. "Kalau itu misalnya salah begitu tetapkan bahwa itu salah," tegasnya. Kemudian, semua berkas perkara juga dilimpahkan kepada POM TNI dengan maksud agar pihak militer itu dapat melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan disertai dengan pencabutan terhadap status tersangka. "Karena pencabutan status tersangka kalau itu dilakukan berarti perbuatan yang diduga tertangkap tangan atau OTT tadi itu prodaknya berarti harus dikemas sedemikian rupa untuk diserahkan kepada POM. Maka selanjutnya adalah kewenangan Polisi Militer (POM)," katanya. Atau mungkin alternatif lainnya adalah itu tetap berlanjut dan kemudian diubah dari proses penetapan tunggal menjadi proses berikutnya dengan menerapkan prinsip-prinsip koneksitas dalam perkara tindak pidana korupsi. "Saya kira itu ada cantolan dasar hukumnya adalah Mahkamah Agung (MA) juga membuat Sukep atau SE terkait dengan masalah pelaksanaan koneksitas itu dalam pengadilan Tipikor. Kalau itu dilakukan saya kira ada penyelesainnya. Tetapi syaratnya kalau pelimpahan perkaranya itu kalau ada kekeliruan. Itu ada dua prosedur, dicabut dulu berkas perkaranya kemudian diserahkan atau tidak perlu dicabut. Kalau itu nggak bisa lanjut, berarti itu harus dicabut dulu, itu tergantung pada koordinasi antara KPK dengan POM TNI," jelas Mudzakir. Apakah pokok perkaranya itu bisa dihapus begitu saja? Kalau memang sudah OTT dia terbukti dia melakukan tindak pidana suap, kata dia, itu tidak bisa dihapus begitu saja melainkan harus diproses lanjut. "Karena kalau OTT pengalaman yang saya cermati sudah sempurna dalam awal-awal itu sudah sempurna. Seperti sempurnanya orang melakukan tindak pidana TT (Tertangkap Tangan) menurut KUHAP. Jadi ada proses yang begitu cepat. Ini mestinya proses itu bakal cepat karena ada OTT," terang Mudzakir. "KPK kalau sampai meminta maaf itu yang menurut saya agak sedikit janggal gitu. Ini prodak hukum yang tidak hanya dengan meminta maaf. Prodak hukum dihapus dengan prodak hukum juga sehingga status orang itu menjadi jelas dan KPK harus mengevaluasi ini kebetulan kepada militer orangnya memberikan reaksi cepat bagaimana kalau sipil ditetapkan begitu saja tanpa ada proses, tidak sesuai dengan prosedur hukum yang benar. Rekasi tidak akan diperhatikan makanya ini menjadi janggal," ujarnya. Kalau orang lain yang tidak mempunyai kekuasaan yang bisa negosiasi, menurut dia, barangkali akan menjadi korban proses-proses seperti itu, tetapi ini kebetulan militer sehingga reaksi organisasi militer yang begitu cepat. "Namun itu, supaya tidak terjadi sewenang-wenang melalui kontrol horizontal saya usulkan bahwa militer sebaiknya mengajukan praperadilan. Jangan maaf-maaf itu gak boleh harus ada prodak hukum untuk demi kepastian hukum," cetus Mudzakir. Dijelaskan guru besar hukum pidana UII Yogyakarta ini, bahwa penetapan seorang menjadi tersangka adalah pengadilan pertama didalam peradilan pidana. Sementara peradilan yang kedua adalah penetapan seseorang oleh majelis hakim yang menyatakan bahwa dia terbukti melakukan tindak pidana atau tidak terbukti melakukan tindak pidana. "Kalau itu dilakukan pengujian melalui praperadilan berarti nanti ada uji apakah penggunaan wewenang OTT dan apakah penggunaan wewenang penetapan tersangka melalui karena ada OTT itu, sah atau tidak. Kalau misalnya itu tidak sah, KPK harus melakukan evaluasi bahwa prodak hukumnya dibuat tidak sepenuhnya itu benar. Jangan atas nama pemberantasan korupsi , karena penegakkan hukum itu atas nama hukum demi tegaknya hukum dan keadilan berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa," demikian Prof Mudzakir. (Wan) [caption id="attachment_556841" align="alignnone" width="698"] Infografis kode "dana komando" suap Kabasarnas, Henri Alfiandi.(Foto: MI/La Aswan)[/caption]