Sri Mulyani Pegawai BPK Saksi Kunci Korupsi DID Tabanan Bali, KPK Bisa Apa?

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 9 September 2023 00:31 WIB
Jakarta, MI - Mantan Bupati Tabanan, Bali, Ni Putu Eka Wiryastuti (NPEW) yang merupakan narapidana kasus  dugaan korupsi Dana Insentif Daerah (DID) Tahun Anggaran 2018 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar telah bebas bersyarat pada tanggal 21 Agustus 2023 lalu. Eka sebelumnya dijatuhi pidana penjara selama 2 tahun dan 6 bulan (2,5 tahun) oleh Mahkamah Agung (MA). Putusan MA ini menguatkan putusan dari Pengadilan Tinggi (PT) Denpasar. Namun dia memperoleh remisi umum (potongan masa pidana). Remisi umum diberikan kepada para WBP, dalam rangka HUT Kemerdekaan RI ke-78. Eka juga divonis terbukti bersalah terlibat melakukan suap sebesar Rp 600 juta dan 55.300 dolar Amerika Serikat terhadap dua pejabat Kementerian Keuangan dalam pengurusan DID Kabupaten Tabanan dengan anggaran 2018. Lantas bagaimana dengan saksi kunci yang tak kunjung diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)? Yakni pegawai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Sri Mulyani. Padahal dalam persidangan, Bupati Tabanan pernah menyebutkan bahwa dalam kasus ini ada dugaan keterlibatan pegawai BPK RI itu Maka lembaga antirasuah itu juga dinilai seolah-olah tidak berani memanggil Sri Mulyani yang saat ini berstatus sebagai pegawai BPK RI. Menanggapi hal ini, ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI) Chudry Sitompul menegaskan bahwa seharusnya hal ini menjadi catatan untuk KPK. "Saya duga sih kebijakan dari penyidikan bahwa dia nggak mau memeriksanya. Seharusnya ini menjadi catatan untuk KPK itu, KPK berarti tebang pilih gitu. Mestinya dikejar terus saksi itu," ujar Chudry saat dihubungi Monitorindonesia.com, Jum'at (8/9). KPK, lanjut Chudry, seharusnya tak pandang bulu memeriksa saksi. Pada prinsipnya, tegas Chudry, demi kepentingan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, dengan kebutuhan yang benar dimata hukum dan memiliki relasi yang jelas dengan suatu kasus siapapun bisa dipanggil tanpa terkecuali. "Kalau sudah dipersidangan dan diungkapkan nanti setelah diputuskan dan putusan itukan menjadi dokumen. Dokumen hukum itu yang artinya bahwa keterangan itu kan kemudian diberikan dibawah sumpah apalagi sudah dibuka dipengadilan," lanjutnya. "Itukan kekuatan pembuktiannya kuat dan saksinya bukan satu, ada beberapa gitu. Kalau KPK tidak memeriksan Sri Mulyani, maka kita perlu pertanyakan ada apa, apa alasannya KPK gitu," imbuhnya. KPK Keliru KPK saat itu akan kembali memanggil Sri Mulyani setelah adanya kekeliruan penulisan jabatan instansi saksi. Ali Fikri yang saat itu menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Jurubicara Bidang Penindakan KPK, mengatakan bahwa tim penyidik telah menjadwalkan pemanggilan saksi untuk tersangka Bupati Tabanan periode 2010-2015 dan 2016-2021, Eka di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada Kav 4, Setiabudi, Jakarta Selatan pada Selasa (17/5/2022). Saksi yang dipanggil atas nama Sri Mulyani selaku Pengadministrasi umum pada subagian pengajaran dan pelatihan bagian administrasi umum IPDN Kampus Jakarta Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). "Yang bersangkutan tidak hadir dan informasi yang kami terima, terdapat kekeliruan yaitu nama saksi yang dibutuhkan penyidikan dimaksud bukan berprofesi ASN pada IPDN," ujar Ali kepada wartawan, Rabu sore (18/5). Akan tetapi kata Ali, saksi Sri Mulyani yang dimaksud seharusnya Sri Mulyani yang bekerja di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). "Tim Penyidik selanjutnya akan mengagendakan pemanggilan saksi lain yang terkait dengan perkara ini," pungkas Ali. Monitorindonesia.com telah mengofirmasi hal ini ke KPK pada beberapa waktu lalu, namun hingga kini belum ada respons. Selain Eka, KPK saat itu juga menetapkan dua orang lainnya sebagai tersangka, yaitu I Dewa Nyoman Wiratmaja (IDNW) selaku dosen dan Rifa Surya (RS) selaku Kepala Seksi Dana Alokasi Khusus Fisik II, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tahun 2017. Eka dalam melaksanakan tugasnya mengangkat I Dewa Nyoman sebagai Staf Khusus Bidang Ekonomi dan Pembangunan. Sekitar Agustus 2017, ada inisiatif Eka untuk mengajukan permohonan DID dari pemerintah pusat senilai Rp 65 miliar. Untuk merealisasikan keinginannya tersebut, Eka memerintahkan I Dewa Nyoman menyiapkan seluruh kelengkapan administrasi permohonan pengajuan DID dan menemui serta berkomunikasi dengan beberapa pihak yang dapat memuluskan usulan tersebut. Adapun pihak yang ditemui I Dewa Nyoman, yaitu Yaya Purnomo selaku mantan Kepala Seksi Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Pemukiman, Direktorat Evaluasi Pengelolaan dan Informasi Keuangan Daerah, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan Rifa Surya yang diduga memiliki kewenangan dan dapat mengawal usulan DID untuk Kabupaten Tabanan Balik tahun 2018 Yaya Purnomo dan Rifa Surya diduga mengajukan syarat khusus untuk mengawal usulan DID pada I Dewa Nyoman dengan meminta sejumlah uang sebagai fee dengan sebutan "Dana Adat Istiadat" dan permintaan tersebut lalu diteruskan I Dewa Nyoman kepada Eka dan mendapat persetujuan. Nilai fee yang ditentukan oleh Yaya Purnomo dan Rifa Surya diduga sebesar 2,5 persen dari alokasi dana DID yang nantinya akan didapat oleh Kabupaten Tabanan di tahun anggaran 2018. Selanjutnya sekitar Agustus-Desember 2017, diduga dilakukan penyerahan uang secara bertahap oleh I Dewa Nyoman pada Yaya Purnomo dan Rifa Surya di salah satu hotel di Jakarta. Pemberian uang oleh tersangka Eka melalui tersangka I Dewa Nyoman diduga sejumlah sekitar Rp 600 juta dan 55.300 dolar AS. Bebas Bersyarat Eka bebas bersyarat dari Lapas Perempuan Kelas IIA Kerobokan, Senin (21/7) lalu. Namun Eka masih harus menjalani wajib lapor ke Bapas Kelas I Denpasar meskipun sudah keluar dari Lapas Kerobokan. "Iya, pembebasan bersyarat," kata Kalapas Perempuan Kelas IIA Kerobokan Ni Luh Putu Andiyani saat dikonfirmasi, Kamis (24/8). Eka bebas bersyarat setelah menjalani dua per tiga masa hukuman. Ia pun sempat mendapatkan remisi umum sebanyak dua bulan pada HUT RI ke 78, Kamis 17 Agustus 2023. "Dengan (menjalani) dua per tiga (masa hukuman) harusnya (Eka bebas bersyarat) pada tanggal 21 Oktober 2023, (namun) dipotong remisi umum Agustus dua bulan. Jadi, dia (bebas bersyarat pada) 21 Agustus 2023," bebernya. (An)