Gunakan Acuan Lama, Kemiskinan Ekstrem di 2024 Bisa Dibuat Nol Persen

Rendy Bimantara
Rendy Bimantara
Diperbarui 15 Desember 2023 09:57 WIB
Ilustrasi Kemiskinan Ekstrem (Foto: Antara)
Ilustrasi Kemiskinan Ekstrem (Foto: Antara)

Jakarta, MI - Bank Dunia (World Bank) telah mengubah ambang batas kemiskinan ekstrem menjadi US$1,9 atau Rp29.461 per hari, tetapi pemerintah tetap menggunakan acuan lama  US$1,9 atau Rp29.461 per hari untuk mencapai target nol persen kemiskinan ekstrem pada 2024.

Kemiskinan ekstrem adalah kondisi ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, air bersih, sanitasi layak, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan, serta akses informasi terhadap pendapatan dan layanan sosial.

Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan Sekretariat Wakil Presiden Suprayoga Hadi menuturkan pihaknya dan Badan Pusat Statistik (BPS) sepakat tetap menggunakan angka US$1,9 untuk batas garis kemiskinan ekstrem.

Menurutnya, saat ini tak ada sanksi bagi negara yang tetap menggunakan batas garis kemiskinan yang lama, yakni US$1,9 per hari. Karena itu, data angka kemiskinan ekstrem pun tetap valid.

"Bank Dunia, benar, mengubah jadi US$2,15. Tapi kami sepakat untuk target 0 persen ini tetap menggunakan US$1,9, sampai 2024," katanya dalam media briefing di Kantor Setwapres, Jakarta Pusat, Kamis (14/12).

Berdasarkan data BPS, jumlah kemiskinan ekstrem di Indonesia mencapai 1,2 persen atau 3,1 juta orang per Maret 2023. Angka itu turun dibandingkan Maret 2022, yang mencapai 1,74 persen atau 4,79 juta orang.

Sementara untuk tingkat kemiskinan nasional, per Maret 2023 angkanya baru mencapai 9,36 persen. Padahal, target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 adalah 6,5 persen hingga 7,5 persen.

Meski pandemi telah berakhir, nyatanya angka kemiskinan di Indonesia masih tergolong tinggi. Indonesia menjadi rawan akan konflik sosial jika masalah ketimpangan pendapatan dan kesenjangan sosial tidak diselesaikan.

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan mengkhawatirkan masalah kesenjangan yang terus naik. Ketimpangan pengeluaran menurut BPS naik dari tahun 2022 sebesar 0,381 (09/22), menjadi sebesar 0,388 (03/23) pada tahun 2023.

“Tetapi, kalau berdasarkan pendapatan, ketimpangan pendapatan 2022 bisa capai lebih dari 0,6. Ini rawan konflik social,” tulis Anthony pada akun Twitternya @AnthonyBudiawan (29/11).

Data dari badan pusat statistik menunjukkan per maret tahun ini, masih ada 25,9 Juta penduduk Indonesia yang hidup di bawah kemiskinan. Selain itu, ketimpangan dalam hal pendapatan yang diukur melalui gini ratio juga makin melebar.

“Gini index lebih besar dari 0,5 berarti distribusi pendapatan sangat buruk, kalau lebih besar dari 0,6, tinggal menunggu waktu terjadi revolusi sosial, ungkapnya.

Dia juga menyatakan bahwa segala bentuk penindasan tidak akan bertahan selamanya. Akan tiba waktunya rakyat bergerak menuntut hak mereka.

“Penindasan terhadap rakyat miskin tidak bisa abadi. Pada saatnya, rakyat akan bangkit merebut hak mereka untuk sejahtera,” pungkasnya. (Ran)