Duh!! DPR Sebut Ribuan IUP Dicabut, Izin Terbitnya Belum Jelas!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 18 Maret 2024 15:52 WIB
Lokasi penambangan nikel yang dioperasikan Harita Nickel di Pulau Obi, Maluku Utara (Foto: MI Rerpo Bloomberg/Dimas Ardian)
Lokasi penambangan nikel yang dioperasikan Harita Nickel di Pulau Obi, Maluku Utara (Foto: MI Rerpo Bloomberg/Dimas Ardian)

Jakarta, MI - Dugaan permainan izin tambang yang menyeret Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia , bermula sejak Mei 2021. Diduga, Bahlil mematok fee cabut hidupkan IUP miliaran rupiah.

Presiden Joko Widodo alias Jokowi sebelumnya menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 11 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Percepatan Investasi. 

Melalui Keppres inilah, Jokowi menunjuk Bahlil sebagai Ketua Satuan Tugas (Satgas) dengan tugas utamanya memastikan realisasi investasi dan menyelesaikan masalah perizinan, serta memungkinkan Bahlil menelusuri izin pertambangan dan perkebunan yang tak produktif.

Kemudian pada Januari 2022, Jokowi kembali mengeluarkan Keppres Nomor 1 Tahun 2022 tentang Satgas Penataan Lahan dan Penataan Investasi. Keppres ini memberikan kewenangan kepada Bahlil untuk mencabut izin tambang (Izin Usaha Pertambangan/IUP), hak guna usaha (HGU), dan konsesi kawasan hutan, serta memberikan kemudahan kepada organisasi kemasyarakatan, koperasi, dan lain-lain untuk mendapatkan lahan.

Jokowi kembali keluarkan Perpres Nomor 70 Tahun 2023 tentang Pengalokasian Lahan bagi Penataan Investasi pada Oktober 2023. 

Melalui regulasi ini, maka Satgas Investasi yang dipimpin Bahlil kembali diberikan tugas untuk untuk mencabut izin tambang, perkebunan, dan konsesi kawasan hutan, serta memberikan izin pemanfaatan lahan untuk ormas, koperasi dan lain-lain.

Dalam perjalanannya, Satgas Investasi mencabut 1.118 IUP dan 15 Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPKH). Izin-izin ini merupakan bagian dari 2.078 IUP, 192 ISK, dan 34.448 hektar HGU perkebunan yang ditelantarkan, yang diumumkan Presiden Jokowi pada Januari 2022.

Berangkat dari itu, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Mohamad Hekal memastikan pihaknya bakal meminta penjelasan kepada Menteri Bahlil. “Tentu kita minta klarifikasi. Bisa juga kita tindak lanjuti dengan panja,” tegas politikus Partai Gerindra itu kepada wartawan, Senin, (18/3/2024).

Hekal sapaannya mengklaim bahwa memang ada sekitar 2.000 IUP yang dicabut, namun untuk pemberian izin penerbitan terhadap sejumlah perusahaan tambang jumlahnya belum jelas hingga saat ini. “Pencabutan kan sekitar 2000, penerbitan belum jelas".

Maka dari itu, pihaknya memastikan akan menelaahnya. “Kita dalami di komisi 6 dulu. Bisa kita gali pas raker berikut,” katanya.

Di lain sisi, Komisi VI kata dia, juga mendapat informasi bahwa ada dugaan permintaan fee dalam kasus tersebut. “Ada isu penyalahgunaan wewenang dalam pencabutan dan penerbitan izin-izin tambang dan HGU, bahkan permintaan uang dalam penerbitannya,” kunci Hekal.

Bantahan Bahlil

Bahlil membantah tudingan tentang adanya biaya atau fee besar dalam pengurusan IUP. Bahlil menyanggah klaim bahwa ia menetapkan tarif atau fee sebesar Rp 25 Miliar untuk pemulihan IUP yang dicabut dan menantang pihak yang menuduhnya untuk membuktikan hal tersebut.

Ia juga meminta agar siapapun yang terbukti melakukan permainan izin tambang segera ditangkap. “Dari mana itu? Siapa yang bilang? Dari mana kabarnya? Lapor ke polisi dan tangkap itu orang,” ungkap Bahlil dalam acara peresmian Pabrik PT Kaltim Amonium Nitrat (KAN) di Bontang, Kalimantan Timur (Kaltim) belum lama ini.

Politisi Partai Golkar ini memastikan seluruh perizinan tidak dapat dipermainkan dengan pemberian uang pelicin atau amplop. Dia pun meminta masyarakat apabila menemukan kejadian semacam itu untuk melapor kepada polisi atau kepadanya langsung.

“Gak bener lah, mana ada. Sekarang urus-urus izin gak boleh ada macam-macam amplop-amplop. Kalo ada yang kayak begitu, ada yang mengatasnamakan, lapor ke polisi. Kalau gak, lapor ke saya,” tegasnya.

Bahlil menyebut telah mencabut sebanyak 2.078 IUP yang tidak produktif. Ia juga membantah soal adanya isu IUP tidak produktif yang belum dicabut oleh BKPM. “Oh udah dicabut semua. Jadi gak bener, semua 2.078 IUP aku udah cabut,” ungkapnya.

Izin yang dicabut itu lantaran perusahaan yang telah mengantongi izin usaha, termasuk Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), tidak kunjung menyerahkan Rencana Kerja Anggaran dan Biaya (RKAB). Bahkan ada juga perusahaan yang sudah diberikan izin usaha namun justru dijual ke pihak lain.

Bisnis Tambang Bahlil

Terlepas dari isu tersebut, mantan Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) periode 2015—2019 itu dikabarkan juga sudah lama memiliki bisnis pertambangan, seperti di sektor nikel melalui PT Meta Mineral Pradana.

Menurut pantauan data di Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Ditjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), nama Bahlil memang benar pernah tercatat di perusahaan tersebut.

Minerba One Data Indonesia (MODI) yang dikelola Ditjen Minerba mendata PT Meta Mineral Pradana dengan kode perusahaan 5012 yang berkantor di kawasan Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta Pusat.

Pemilik/pemegang saham perusahaan tersebut adalah PT Rifa Capital dan PT Bersama Papua Unggul, dengan porsi kepemilikan saham masing-masing 10% dan 90%. Kedua perusahaan tersebut diketahui merupakan milik Bahlil.

Di jajaran kepengurusan, nama Bahlil pernah tercatat sebagai komisaris pada susunan direksi awal perusahaan. Sayangnya, data Ditjen Minerba tidak menjelaskan dengan lengkap periode Bahlil menjabat sebagai komisaris.

Namun, terdapat perubahan direksi perusahaan ke-1, di mana IR Made Suryadana merupakan komisaris pada 30 November 2022 hingga 30 November 2027. Sementara, jabatan direktur perusahaan tetap dipegang oleh Tresse Kainama.

Adapun, kedua IUP milik PT Meta Mineral Pradana berlaku untuk tahapan kegiatan operasi produksi komoditas nikel. IUP Operasi Produksi (IUPOP) dengan luasan 470 hektare berlaku mulai 14 Juli 2010 hingga 14 Juli 2030. Sementara itu, IUPOP dengan luasan 165,5 hektare berlaku mulai 20 September 2010 hingga 20 September 2030.