Deretan Justice Collaborator, Richard Eliezer hingga 'Office Boy' Divonis Bebas

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 16 Februari 2023 16:34 WIB
Jakarta, MI - Terdapat beberapa kasus dengan terdakwa mendapatkan justice collaborator mulai dari kasus pembunuhan berencana hingga pada kasus tindak pidana korupsi (Tipikor). Namun sebelum membahasnya, pelu diketahui dulu apa dasar hukum dari justice collaborator itu sendiri. Seperti dirangkum Monitor Indonesia, Kamis (16/2), bahwa ada dua jenis peraturan penerapan justice collaborator yakni Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 dan Undang-Undang (UU) Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 31 Tahun 2014. Kedua jenis acuan tersebut memiliki perbedaan, salah satunya dikarenakan tahun pengesahannya yang berbeda. Adapun penerapan keduanya, jika mengacu pada pernyataan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), keduanya digunakan sebagai acuan yang saling melengkapi dalam penerapan justice collaborator di pengadilan. SEMA itu sebenarnya sebagai acuan bagi Hakim untuk menyidangkan kasus-kasus terkait dengan justice dan WB (whistleblower). Akan tetapi, UU Perlindungan Saksi dan Korban tahun 2014 yang muncul setelah penerapan SEMA nomor 4 tahun 2011, tentunya menjadi lebih terbaru dan terperinci dalam implementasinya. Perbedaan mendasar jika menilik pada SEMA Nomor 4 Tahun 2011, status penanganan khusus justice collaborator di dalam pengadilan diambil berdasarkan Pasal 10 UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Menurut ketentuan SEMA, perlakuan khusus bagi justice collaborator hanya diberikan dalam dua bentuk pertimbangan. "Menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus; dan/atau menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan di antara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud," tulis keterangan SEMA pada nomor sembilan dalam poin C. Sedangkan perbedaan justice collaborator yang terbaru mengacu pada Pasal 10 A UU Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 31 Tahun 2014, yang didalamnya mendapatkan penambahan terkait penanganan secara khusus dalam pengadilan. Penanganan khusus yang dimaksud menitikberatkan pada penghargaan atas kesaksian yang diberikan oleh justice collaborator atau saksi pelaku. Harus diketahui, bahwa pelaku justice collaborator memang memperoleh perlindungan hukum, tetapi tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila terbukti bersalah. Namun, menurut pasal 10 UU Nomor 13 tahun 2006 kesaksian pelaku justice collaborator bisa dipertimbangkan oleh hakim untuk meringankan pidananya. Pasal 10 (1)Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. (2)Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. (3)Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap Saksi, Korban, dan pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan itikad baik. Berikut terdakwa yang mendaptakan status justice collaborator hingga meringankan hukumannya dari pada tutuntutan jaksa penunut umum (JPU). 1. Pembunuhan berencana Brigadir Yosua Majelis hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, mengatakan keterangan Richard Eliezer membuat terang kasus pembunuhan Yosua dan sangat membantu perkara terungkap.  "Menetapkan terdakwa sebagai saksi pelaku yang bekerja sama," ujar hakim di PN Jaksel, Rabu (15/2). Hal yang membuat vonis Richard Eliezer lebih ringan adalah permintaan maaf Richard Eliezer ke keluarga Yosua, hingga dimaafkan. Selain itu, Richard Eliezer masih muda dan diharapkan mampu memperbaiki kelak di kemudian hari dan menyesali perbuatannya, bahkan juga berjanji tidak menyesali perbuatannya lagi. Layak diapresiasi semua pihak, karena dengan sikap kejujurannnya hingga membongkar kasus pembunuhan Brigadir Yosua yang diotaki mantan komandannnya sendiri yang tak lain adalah Ferdy Sambo yang saat itu masih menjabat sebagai Kadiv Propam Polri 'Polisinya Polisi". 2. Suap red notice Djoko Tjandra Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta mengabulkan permohonan Justice Collaborator (JC) Tommy Sumardi selaku terdakwa kasus korupsi pengurusan penghapusan nama buronan Djoko Tjandra. Hakim mengungkapkan Tommy telah memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai JC atau saksi pelaku yang bekerja sama membantu mengungkap tindak pidana dan pelaku lain dalam perkara tersebut. "Terhadap permohonan itu, surat nomor 188 tanggal 2 November 2020, setelah melihat alasan baik oleh tim Penasihat Hukum maupun penuntut umum, dapat diterima sehingga majelis menyetujui permohonan Terdakwa untuk menjadi JC," kata Hakim Saefuddin Zuhri, PN Tipikor Jakarta, Selasa (29/12/2020). Permohonan Tommy Sumardi sebagai justice collaborator diterima dan dibacakan jaksa dalam sidang tuntutan Tommy Sumardi yang digelar pada 15 Desember 2020. Saat itu, Tommy yang berposisi sebagai terdakwa akan bekerja sama menjadi saksi pelapor. Tugasnya ialah memberikan keterangan atau bukti-bukti yang signifikan untuk membongkar sistem dari kasus tersebut. Tommy dituntut denda sebesar Rp100 juta subsider 6 bulan pidana badan, namun jaksa mempertimbangkan sejumlah hal untuk memperingan kurungannya. Hal ini dikarenakan dirinya yang dinilai telah mengakui perbuatannya di dalam persidangan. Berdasarkan hal tersebut, Tommy mendapat hukuman ringan yakni dua tahun penjara daripada ancaman maksimal lima tahun sebagaimana ketentuan Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dalam menjatuhkan vonis dua tahun penjara terhadap Tommy, hakim turut menyampaikan hal-hal yang memberatkan dan meringankan. 3. Penggelapan pajak Asian Agri Group Vincentius Amin Sutanto (Vincent), bebas dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas II Narkoba Cipinang, Jakarta, setelah bebas bersyarat lantaran menjadi justice collaborator dari Polri bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Kasus penggelapan pajak ini diungkapkan dengan metode justice collaborator oleh mantan karyawan PT Asian Agri, Vincentius Amin Sutanto. Alhasil, Vincent mendapatkan pembebasan bersyarat sebagai penghargaan atas jasanya mengungkap kejahatan pajak PT Asian Agri Group. Kasus ini dikenal telah memakan kerugian negara sebesar Rp1,259 trilliun. Dengan adanya pengungkapan laporan dari Vincent membuat Mahkamah Agung telah memutuskan mantan manajer pajak PT Asian Agri, Suwir Laut alias Lie Che Sui, sebagai terdakwa dengan vonis hukuman 2 tahun penjara dan denda Rp2,5 triliun. Vincent, awalnya divonis 11 tahun penjara pada 3 April 2008 karena terbukti melakukan tindak pidana penggelapan pajak PT Asian Agri yang merugikan negara senilai Rp1,259 triliun. Atas kerja sama mantan manajer pajak PT Asian Agri itu, MAmenjatuhi vonis dua tahun penjara dengan tiga tahun masa percobaan, dan denda sebesar Rp2,5 triliun terhadap PT Asian Agri pada akhir 2012. Tanpa remisi dan PB (pembebasan bersyarat) Vincent menjalani hukuman hingga 2017. 4. Korupsi pengadaan E-KTP Tiga terdakwa kasus korupsi e-KTP telah mengajukan diri sebagai justice collaborator dan mengakui perbuatannya. Justice collaborator adalah status untuk terdakwa yang ingin bekerja sama dengan KPK dalam mengungkap kasus korupsi yang melibatkannya.‎ Tiga terdakwa yang mengajukan JC yakni mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri Sugiharto dan mantan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman, yang mengaku telah mengembalikan seluruh uang yang diterimanya. Kasus korupsi e-KTP telah dibantu oleh tiga terdakwa yang menjadi justice collaborator. Ketiga terdakwa tersebut yaitu mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Sugiharto; mantan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Irman; serta pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong. Hakim Ketua, Jhon Halasan, yang mengabulkan permohonan tersebut menilai mereka telah berterus terang pada kesalahannya, ditambah buka pelaku utama. Selain itu, mereka telah membantu mengungkap peran aktor lain dalam perkara e-KTP. Sementara itu, tedakwa Setia Novanto sempat mengajukan justice collaborator, namun Jaksa di KPK menolaknya sebab dinilai tak memenuhi syarat penuh untuk membantu penanganan kasus. Namun demikian, meski Irman dan Sugiharto menjadi justice collaborator, keduanya tetap menjalani proses peradilan. Di tingkat pertama, Irman dan Sugiharto masing-masing divonis tujuh tahun dan lima tahun penjara pada 20 Juli 2017. Keduanya dinyatakan terbukti bersalah terlibat dalam korupsi e-KTP yang merugikan negara dan masyarakat hingga Rp 2,3 triliun. Majelis hakim menyatakan mempertimbangkan status keduanya sebagai justice collaborator sehingga hukuman yang dijatuhkan sama dengan tuntutan jaksa KPK. Namun, di tingkat kasasi, Mahkamah Agung (MA) memperberat hukuman terhadap Irman dan Sugiharto menjadi masing-masing 15 tahun penjara. Selain itu, Irman juga dibebankan denda Rp 500 juta subsider delapan bulan kurungan dan uang pengganti sebesar 500.000 dollar Amerika Serikat dan Rp 1 miliar. Sementara itu, Sugiharto dibebankan uang pengganti sebesar 450.000 dollar AS dan Rp 460 juta. Sebagai justice collaborator, Irman dan Sugiharto telah memberikan keterangan yang signifkan dalam pengungkapan kasus. Keterangan keduanya telah membantu mengungkap pelaku lain yang berperan lebih besar, termasuk mantan Ketua DPR, Setya Novanto. Meski begitu, perbuatan para terdakwa dianggap bersikap masif dan menyangkut kedaulatan pengelolaan data kependudukan nasional membuat dampaknya masih dirasakan oleh masyarakat hingga saat ini. Oleh karena itu, majelis hakim menjatuhkan vonis yang lebih berat dari putusan di tingkat pertama. 5. Suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Dalam kasus korupsi yang ditangani di KPK ini, setidaknya ada dua orang yang sudah disebut sebagai justice collaborator. Pertama, mantan Anggota DPR dari Fraksi PDIP Agus Tjondro Prayitno yang divonis bersalah menerima suap terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI) tahun 2004. Agus sendiri punn sudah memperoleh pembebasan bersyarat. Selain itu, Agus, mantan Direktur Marketing PT Anak Negeri Mindo Rosalina Manulang juga memperoleh label justice collaborator. Rosa sendiri telah divonis bersalah karena menyuap Sesmenpora Wafid Muharram dalam proyek pembangunan wisma atlet di Palembang. Diketahui, Agus Tjondro saat itu mengaku ke penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi soal bagi-bagi cek pelawat yang terjadi pada 8 Juni 2004. Ia juga mengakui bahwa cek tersebut dibagikan setelah kemenangan Miranda Swaray Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004. Akibat pengakuan Agus ini, empat anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004 menjadi terpidana dan 20 orang terdakwa. Saat itu, Agus yang berperan sebagai justice collaborator bekerja sama dengan penegak hukum. Meskipun ia terkena hukuman satu tahun enam bulan kurungan, namun ia banyak mendapat apresiasi 6. Korupsi Videotron di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Perkara korupsi Videotron di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) dengann terdakwa Hendra Saputra, office boy  yang juga Direktur Utama PT. Imaji Media. Perusahaan ini adalah perusahaan fiktif yang didirikan oleh Riefan Avrian, putra Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Syarif Hasan. Perusahaan ini didirikan untuk memenangi tender pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM, setelah perusahaan milik Riefan Avrian, PT. Rifuel, kalah dalam tender pengadaan yang sama. Hendra Saputra telah menyampaikan nota pembelaannya (pledooi) pada Kamis, 7 Agustus 2014. Dalam pledoinya, Hendra mengaku dirinya dipaksa untuk menandatangani sejumlah berkas, yang belakangan diketahui untuk mendirikan perusahaan fiktif yang diinisiasi oleh Riefan Avrian. Dalam pledooinya yang berjudul, “Derita Seorang Office Boy”, Hendra menyampaikan pembelaannya sebagai Office Boy yang dijebak dan dikorbankan oleh atasannya sendiri. Dalam tuntutan yang dibacakan oleh Jaksa, Hendra Saputra dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Tipikor dan dituntut dengan pidana selama 2 tahun 6 bulan penjara dengan pidana tambahan uang pengganti sebesar 19 juta rupiah subsider 1 tahun 6 bulan penjara, dan denda 50 juta rupiah, subsider 6 bulan penjara. Tuntutan ini menjadi pertanyaan, terutama karena Hendra Saputra dinilai merupakan dalah saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) dalam perkara korupsi ini dan dia hanya menerima uang sebesar Rp 19 juta. Hendra juga dinilai kooperatif selama dalam pemeriksaan oleh pihak Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dan telah mendapatkan perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam hal ini sebagai justice collaborator. Namun demikian, pada putusan kasasi yang dikeluarkan Mahkamah Agung yang membebaskan seorang sopir pribadi dan "office boy", Hendra Saputra, yang namanya dimanfaatkan sebagai dirut dalam kasus korupsi videotron. Kasus videotron pada tahun 2012 merupakan tindak pidana korupsi di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah yang dinilai menimbulkan kerugian negara hingga Rp 5,392 miliar.