Pejabat Bakti Kembalikan Rp 300 Juta, Peluang Jadi Tersangka Korupsi BTS Kominfo!

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 26 Juli 2023 15:53 WIB
Jakarta, MI - Pengembalian uang korupsi BTS 4G Bakti Kominfo senilai Rp300 juta ke Kejaksaan Agung (Kejagung) oleh Muhammad Feriadi Mirza selaku Kepala Divisi Lastmile/Backhaul Bakti Kominfo tidak menghapus unsur pidana dalam kasus ini. Uang Rp300 juta itu diterima dari terdakwa Windi Purnama. “Pengembalian hasil kejahatan tidak menghapuskan pidananya, pengembalian hanya akan menjadi hal-hal yang dapat meringankan,” kata pakar hukum pidana, Abdul Fickar Hadjar kepada wartawan, Rabu (26/7). Menurut Abdul Fickar, putusan hukum tetap akan tergantung pada penilaian Majelis Hakim dalam proses hukum atas dugaan rasuah BTS Bakti Kominfo. “Tetapi tergantung pada hak subjektif hakim mempertimbangkanya objek hukum,” jelasnya. Di samping itu, ia juga menjelaskan terkait dengan penerimaan uang senilai Rp300 juta yang diterima oleh Mirza berpeluang menjadikan dirinya sebagai pelaku dari Korupsi BTS. Terlebih jika Mirza mengetahui asal usul uang tersebut secara sadar akan membuatnya terseret dalam kasus korupsi. “Ya penerima uang jika ia secara sadar mengetahui asal usul uang, penerima bisa ditempatkan sebagai bagian dari pelaku juga,” pungkasnya. Sebelumnya, Mirza mengaku menerima uang senilai Rp300 juta dari Windi Purnama. Hal ini disampaikan Mirza dalam sidang lanjutan kasus korupsi BTS Kominfo di PN Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (25/7). Uang tersebut dia gunakan untuk membeli mobil BMW X5 seharga Rp 710 juta. Namun kata Mirza, uang tersebut dia sudah kembalikan ke penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung). "Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saudara menjelaskan pernah menerima sejumlah uang. Apakah benar? Dari mana?" tanya jaksa di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan yang dibenarkan Mirza. "Yang menyerahkan saudara Windi Purnama Direktur PT Multimedia Berdikari Sejahtera yang juga menjadi tersangka kasus dugaan korupsi dan pencucian uang BTS 4G," jawab Mirza. "Berapa jumlahnya?," tanya jaksa lagi. "Rp 300 juta," jawab Mirza. Kemudian majelis hakim Fahzal Hendri mengambil alih pertanyaan. Fahzal ingin mengetahui siapa yang memberi perintah sehingga Mirza menerima uang Rp 300 juta. "Terima atas perintah siapa?" tanya Fahzal. "Atas perintah siapa, saya tidak tau," kata Mirza. "Halah enggak usah bertele-tele saudara," timpal Fahzal. Fahzal terus mencecar pertanyaan tersebut kepada Mirza. Namun, Mirza tetap pada jawabannya. "Astagfirullah. Minum dulu, kayaknya kering tuh bibir saudara. Biasa saja pak, santai saja," ujar Fahzal. Fahzal kemudian meminta Mirza untuk memberikan keterangan dengan jujur. Sebab, menurut Fahzal, keterangan Mirza berpengaruh terhadap benar-salahnya para terdakwa. "Salah keterangan saudara, salahlah semuanya. Rentetan sampai ke belakang. Bisa sesat nanti putusannya," tegas Fahzal. "Kalau saudara gapapa memberikan keterangan di bawah sumpah, nanti saudara pula yang kena perkara. Kalau penuntut umum cuma menuntut. Ini cuma membela. Kami memutus loh, Pak. Jadi, tolong faktanya yang benar saja,"sambung Fahzal. Karena keterangannya terbelit-belit, Fahzal lantas meminta Windi dihadirkan di ruang sidang meski belum pernah dimintai keterangan di tahap penyidikan. "Saya perintahkan untuk dihadirkan, jadi harus jelas. Kalau saya perintahkan itu si Windi Purnama, ya hadirkan. Ada keterangan yang terputus di sini," ucap Fahzal. "Masa si Mirza ini terima duit dari si Windi Purnama, Windi Purnamanya enggak sebagai saksi pula di sini. Enggak jelaslah keterangannya,"sambungnya. Dalam kasus ini Johnny Plate disebut menerima Rp 17 miliar. Anang disebut menerima Rp 5 miliar. Kemudian Yohan menerima Rp 453 juta, Irwan menerima Rp 119 miliar, Windi menerima Rp 500 juta, Yusrizki menerima Rp 50 miliar dan US$2,5 juta. Para terdakwa diduga juga memperkaya sejumlah korporasi. Yakni Konsorsium FiberHome PT Telkominfra PT Multi Trans Data (PT MTD) untuk Paket 1 dan 2 sebesar Rp 2,9 triliun. Konsorsium Lintasarta Huawei SEI untuk paket 3 sebesar Rp1,5 triliun dan Konsorsium IBS dan ZTE Paket 4 dan 5 sebesar Rp 3,5 triliun. Kasus ini menyebabkan kerugian keuangan negara mencapai Rp 8,32 triliun berdasarkan perhitungan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). (Wan)