Apa yang Terjadi di BPK?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 18 November 2023 00:32 WIB
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI (Foto: Dok MI)
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sudah kehilangan muka di depan masyarakat Indonesia. Hal ini buntut oknum pejabat BPK acap kali tersandung dugaan korupsi.

Kasus dugaan rasuah yang terus menimpa pemeriksa atau auditor hingga petinggi di BPK juga membuat lembaga ini berada di titik nadir.

BPK sebagai palang pintu terakhir untuk mewujudkan good governance justru terus diterpa isu tentang suap dan korupsi.

Tidak tanggung-tanggung, sosok anggota BPK seperti Achsanul Qosasi menjadi tersangka dalam perkara mega korupsi BTS 4G Bakti Kominfo.

Selain Achsanul, nama Anggota VI BPK Pius Lustrilanang dan lainnya kini juga menjadi sorotan.

Meskipun BPK telah meminta maaf atas berbagai kejadian belakangan ini yang diduga melibatkan oknum BPK.

Namun, lagi-lagi BPK dinilai tak bisa diharapkan lagi.

Menurut pengamat kebijakan publik Agus Pambagio, kasus dugaan rasuah yang menyeret BPK bukanlah barang yang baru.

"Itu bukan barang baru ada korupsi disana. Kan pemeriksaan-pemeriksaan dari mereka itu bisa diaturlah dan segala macam," kata Agus saat berbincang dengan Monitorindonesia.com, Jum'at (17/11).

Karena sekarang musimnya saling sodok-menyodok, maka tak bisa dipungkir saling buka-bukaan satu sama lain.

Pokoknya, kata dia, sudah tidak ada harapan lagi kepada BPK atau penegak hukum dengan segala macam korupsinya. "Mau diapain lagi kalau tidak dibersihkan semuanya. BPK sudah hancur, seharusnya mereka kan yang memeriksa tapi "maling" juga, nggak ada harapan sudah," bebernya.

"Makanya kalau kita mau maju di tahun 2045, saya terus terang ragu orang mentalnya begitu semua, mau diapain "maling" semua," imbuh Agus Pambagio.

Perlu diakui, bahwa BPK sebagai lembaga auditor negara memiliki peran cukup strategis untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih.

Ini adalah alat negara yang bisa menjadi salah satu tolak ukur keberhasilan demokratisasi di Indonesia, khususnya proses pengelolaan anggaran.

Namun demikian, kinerja BPK dan kasus yang belakangan ini menimpa elite-elitenya menimbulkan kecurigaan tentang netralitas BPK.

Apalagi sebagain besar elite atau anggota BPK merupakan bekas atau setidaknya memiliki latar belakang politisi.

Lantas apakah bisa semuanya dibersihkan, tanpa ada bekas-bekas politikus.

Ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof. Mudzakir juga saat dihubungi Monitorindonesia.com, Jum'at (17/11) menilai hal ini masih tanda tanya besar, apakah presiden mau membersihkan bekas politisi di BPK itu?

"Kalau dia agak lemah itu, keterburukan dalam bidang lainnya sukar terbuka. Tapi kalau dia kencang dan kuat, terbuka semuanya nanti, semua lembaga bisa terbuka. Tapi agak sulit untuk demikian, sebab situasi hari ini untuk yang baik saja sulit didukung, apa lagi yang keras tegas, pasti itu lebih sulit," ungkapnya.

Sehingga dengan demikian, lanjut Prof Mudzakir, BPK itu dipilih kepada orang-orang yang miring-miring.

"Dengan yang miring-miring itulah, maka beberapa laporannya bisa selamat gitu. Itulah yang menjadi masalah," lanjut Prof Mudzakir.

Bisa Dibeli?

Prof Mudzakir menambahkan bahwa, BPK sebenarnya paling mengerti apakah perkara itu masuk tindak pidana korupsi (Tipikor) atau tidak.

"Itu kan kewenangannya ada di BPK, nasib banyak orang itu ada di BKP dan kewenangannya dijual mahal. Meskipun harganya mahal banyak yang beli. Karena mungki si pembeli ini kelakuannya tidak bagus," katanya.

Kalau laporannya itu buruk, ujar Prof. Mudzakir, tetap juga membeli agar supaya mendapat laporan yang bagus.

"Supaya nanti dapat predikat tertinggilah gitu. Dan kalau predikatnya tinggi reputasi untuk nyalon lagi, entah itu dia jadi kepala daerah lebih tingginya, Gubernur atau apa, dia lanjutkan lagi," jelasnya.

"Biasanya dalam rangka untuk menutupi kekurangan dalam laporan pertanggungjawaban itu lah dengan cara meminta suap," imbuhnya.

Di lain pihak, pakar hukum tata negara dari UIN Jakarta, Ferdian Andi mengungkapkan pentingnya membatasi batas minimal seorang politisi bisa dicalonkan sebagai anggota BPK untuk menghindarkan tuduhan BPK dikendalikan oleh elite politik. 

"Akibat ketiadaan aturan itu, muncul anggapan terdapat kepentingan politik. Harusnya seperti itu bisa dihindari," katanya.

Sulit Diharapkan

Praktisi hukum dari Universitas Indonesia (UI) Kurnia Zakaria menilai bahwa BPK yang bersifat mengutamakakan bekerja profesional, akuntabilitas serta jujur sangat sulit diharapkan.

"Karena selalu ada dorongan untuk berbuat justice corruption atau mafia peradilan (Mafia Hukum), peran aktif dari para pihak seperti suap aparat penegak hukum (APH) maupun peran pasif APH yang menerima gratifikasi," ujar Kurnia saat dihubungi reporter Monitorindonesia.com, Jum'at (17/11).
 
Berbagai lembaga pengawas pembangunan di daerah salah satunya melibatkan peran BPK sebagai auditor pemerintah.

Tetapi ulah oknumlah merusak kepercayaan masyarakat terhadap proses penegakan hukum “controllable activities of institution.

"Institusi harusnya saling mengawasi dan pencegahan penyimpangan agar tercipta APH yang menganyomi, mumpuni, dan keadilan masyarakat. Tapi itu sulit dicapai," ungkap Kurnia yang juga kriminolog.

Sistem eletronik juga percuma kalau sistem aplikasinya sudah di-setting terlebih dahulu.

Modal kampanye dan pendekatan untuk menjadi pejabat lebih berpengaruh daripada skill dan kemampuan akademik. 

Menurut Kurnia, sistem dan politik hukum dipengaruhi subtansi hukum (legal substance) dimana peraturan dibuat oleh institusi negara dengaan tujuan dan alasan faktor kepentingan. 

Peraturan dibuat yang menguntungkan dan diterjemahkan demi keuntungan pribadi dan kepentingan kelompok.

Aturan dibuat bisa melalui proses peraturan perundang-undangan maupun Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri maupun peraturan pemerintah pengganti undang-undang," beber Kurnia. 

"Maka dari itu, perlu ada pembenahan moralitas dan etika APH sendiri dan reformasi dalam hukum dalam hal independensi kelembagaan hukum, akuntabilitas kelembagaan hukum dan transparansi kelembagaan hukum," imbuhnya.

Pernah Terafiliasi Parpol

Pejabat BPK pernah terafiliasi dengan partai politik. Ketua BPK Isma Yatun, misalnya.

Dia mantan anggota Komisi XI dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP). Pernah menjadi anggota DPR dari tahun 2006 hingga tangun 2017. Selepas dari DPR, dia terpilih sebagai anggota BPK.

Selain Isma Yatun ada juga Daniel Lumban Tobing. Daniel adalah mantan politisi PDIP.

Dia pernah menjabat sebagai anggota DPR dari tahun 2009 hingga tahun 2019.

Mantan politikus lainnya adalah Achsanul Qosasi. Achsanul saat ini berstatus sebagai tersangka dalam perkara korupsi BTS Kominfo. Dia telah ditahan oleh Kejaksaan Agung.

Achsanul juga mantan anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Demokrat.

Selanjutnya ada sosok Khaerul Saleh yang merupakan mantan politikus Gerindra.

Dia juga pernah menjadi anggota parlemen. Mantan politikus Gerindra lainnya yang menjabat anggota BPK adalah Pius Lustrilanang.

Teruntuk Pius Lustrilanang, saat ini disorot usai KPK menyegel dan mengeledah ruang kerjanya.

Politikus atau bekas politikus terakhir yang menjabat sebagai elite di BPK adalah Ahmadi Noor Supit.

Dia adalah bekas anggota DPR dan dikenal sebagai politikus Partai Golkar. (Wan)

Topik:

bpk kpk kejagung