Sepanjang Januari-Oktober 2023, 89 Kasus Kriminalisasi Gunakan Pasal UU ITE Bermasalah

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 10 Desember 2023 16:21 WIB
Ilustrasi UU ITE (Foto: MI/Net/Ist)
Ilustrasi UU ITE (Foto: MI/Net/Ist)

Jakarta, MI - SAFEnet (2023) mencatat sepanjang Januari-Oktober 2023, setidaknya ada 89 kasus kriminalisasi dengan menggunakan pasal-pasal bermasalah UU ITE. 

Hal ini diungkapkan dalam Indeks HAM 2023 yang dilansir secara bersama oleh Sayyidatul Insiyah (Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute), Ari Wibowo (Program Officer HAM & Demokrasi INFID), dan Ismail Hasani (Peneliti Senior SETARA Institute dan Dosen Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dikutip pada Minggu (10/12).

"Jumlah ini diprediksi akan terus meningkat menjelang momentum politik Pemilu 2024. Skor pada indikator hak turut serta dalam pemerintahan di tahun 2023 mengalami regresi yang sangat signifikan, menurun sebesar -1,0 dibanding dengan skor pada Indeks HAM 2019 dan-0,6 apabila dikomparasikan dengan skor tahun lalu,"  tulis Setara dan INFID.

Disrupsi legislasi dan autokratik legalisme yang dipraktikkan sepanjang empat tahun terakhir telah merampas ruang partisipasi yang berkualitas. Presiden Jokowi pada 31 Maret menetapkan Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang.

Alih-alih membuka proses deliberatif dalam rangka meaningful participation bagi masyarakat luas untuk melakukan perbaikan terhadap UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang telah diputus inkonstitusional bersyarat oleh MK melalui Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020, Presiden justru membuat Perppu untuk untuk menyiasati Putusan MK tersebut. 

"Artinya, Perppu yang merupakan hak prerogatif Presiden sengaja dibuat Presiden Jokowi untuk menghindari aspirasi demokrasi di balik dalih kegentingan memaksa," lanjutnya.

Kualitas partisipasi juga dilangkahi oleh lembaga pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi, yang melahirkan Putusan No. 90/PUU-XXI/2023. Kritik masif dari masyarakat luas terhadap MK untuk bersikap adil dan konstitusional dalam memutus perkara No. 90/PUU-XXI/2023 telah diabaikan.

”Mengabaikan suara publik adalah sama dengan mematikan ruang partisipasi. Kondisi demikian mempertontonkan bahwa bukan saja soal demokrasi yang telah dicederai, namun negara juga tengah melakukan pembangkangan pada nomokrasi,”.

Disebutkan, derogasi terhadap hak turut serta dalam pemeritahan juga tergambar dalam proses elektoral menuju Pemilu 2024.

"Sekalipun secara nasional keterwakilan perempuan dalam calon anggota legislatif (caleg) DPR RI dari seluruh parpol telah di atas 30%, namun pada faktanya, dari 84 dapil anggota DPR dan 18 partai politik peserta pemilu, hanya satu parpol yang memenuhi syarat keterwakilan perempuan 30% pada semua daftar caleg tetap (DCT) di 84 dapil," tulis Setara dan INFID.

Sementara, 17 parpol lainnya tidak mencapai syarat 30% pada seluruh DCT di 84 dapil (Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Keterwakilan Perempuan, 2023).

Fakta ini merefleksikan bahwa syarat minimal 30% keterwakilan perempuan hanyalah retorika semata dan hanya sebagai alat checklist pelibatan perempuan. "Namun tidak sungguh-sungguh memberikan ruang partisipasi substantif bagi perempuan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan agar diakomodir dalam berbagai rencana kebijakan yang akan dirumuskan di parlemen," demikian Setara dan INFID.