Pemerintah Santuni Korban Gagal Ginjal Akut Rp 50 Juta/Nyawa

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 11 Januari 2024 02:51 WIB
Desi Permatasari menunjukkan foto anaknya Sheena yang terbaring di tempat tidur (Foto: BBC Indonesia)
Desi Permatasari menunjukkan foto anaknya Sheena yang terbaring di tempat tidur (Foto: BBC Indonesia)

Jakarta, MI - Pemerintah memberikan santunan kepada keluarga 312 anak korban gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGAPA). Adapun nominal santunan dan bantuan itu terdiri dari Rp 50 juta untuk korban anak GGAPA meninggal dunia dan Rp 60 juta bagi korban anak GGAPA yang masih hidup.

“Untuk hari ini dikhususkan untuk wilayah DKI Jakarta dan nilai santunannya Rp 50 juta. Untuk korban yang hidup itu mendapatkan santunan tambahan Rp 10 juta (total Rp 60 juta),” kata Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (10/1).

Santunan yang diberikan tersebut, jelas dia, bersifat murni bentuk perhatian, kepedulian, dan empati dari pemerintah atas kejadian GGAPA. 

Sementara untuk proses hukum, tegas dia, masih akan terus berlanjut sebagai mestinya. Dia tak ingin publik beranggapan pemberian santunan ini merupakan upaya pemerintah untuk menghindari atau menutup kasus yang tengah berjalan.

Akhirnya Pemerintah Beri Santunan Korban Gagal Ginjal Akut, Capai Rp 16 Miliar

“Jadi jangan sampai ada pemahaman bahwa ini upaya kita untuk menghindari atau untuk menutup kasus ini supaya tidak lagi berproses, tidak ya. Jadi ini jangan sampai dipahami itu,” lanjutnya.

Setelah santunan diberikan, Muhadjir menyatakan, kini menjadi tugas Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin untuk mengobati korban anak yang masih hidup. 

Muhadjir ingin agar korban anak yang masih hidup mendapatkan pelayanan sebaik-baiknya dari pemerintah ketika melakukan pengobatan. “Ini tugas berat Pak Menkes untuk memastikan bahwa para korban hidup akan mendapatkan pelayanan sebaik-baiknya,” tegas Muhadjir.

BPOM Terlibat?

Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri meningkatkan status kasus gagal ginjal akut yang diduga melibatkan Badan Pengawas Obat dan Makanan alias BPOM ke penyidikan. 

"Sudah naik sidik [penyidikan], belum ada penetapan tersangka," ujar Direktur Tindak Pidana Tertentu (Dirtipiter) Bareskrim Polri Brigjen Nunung Saifuddin saat dikonfirmasi, Rabu (20/12).

Nunung menambahkan bahwa saat ini pihaknya telah melakukan pemeriksaan terhadap 11 saksi, mulai dari pihak BPOM hingga saksi ahli. "Saksi bukan hanya dari BPOM saja, dari BPOM ada dari saksi ahli ada, dari PT Afifarma ada," tambahnya. 

Meskipun pengusutan kasus ini dinilai alot dan berpotensi diintervensi, Jenderal Bintang Satu Polri itu juga menegaskan kasus ini tidak bisa diganggu pihak manapun. "Tidak ada intervensi saya jamin 1000% tidak ada intervensi," tegasnya. 

Dalam kasus ini, sebelumnya Bareskrim telah menetapkan empat orang dan lima korporasi sebagai tersangka, di antaranya Endis (E) alias Pidit (PD) selaku Direktur Utama CV Samudera Chemical dan Andri Rukmana (AR) selaku Direktur CV Samudera Chemical. Dua lainnya, Direktur Utama CV Anugrah Perdana Gemilang (APG), Alvio Ignasio Gustan (AIG) dan Direktur CV APG, Aris Sanjaya (AS). 

Sementara, lima korporasi tersangka itu di antaranya PT Afi Farma, CV Samudera Chemical, PT Tirta Buana Kemindo, CV Anugrah Perdana Gemilang, serta PT Fari Jaya Pratama. Diberitakan sebelumnya, BPOM telah melakukan investigasi terhadap obat sirop yang diduga menyebabkan gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGAPA), praxion. BPOM telah menguji sampel pada 2 hingga 3 Februari 2023. Sampel yang diuji adalah: obat sisa obat pasien, sampel dari peredaran, sampel sirop dari tempat produksi yang merupakan retain sample dengan nomor batch yang sama dengan sampel yang dikonsumsi oleh pasien.  

Sebagai informasi, Kemensos mencatat hingga 5 Februari 2023 sebanyak 326 kasus GGAPA dan satu suspek ditemukan di 27 provinsi di Indonesia.

326 Korban

Menteri Kesehatan (Menkes) Budi menyampaikan dari angka tersebut, korban meninggal dunia ada sebanyak 218 anak dan korban yang masih hidup berjumlah 94 orang. Korban anak yang masih hidup ini ada yang sembuh dan ada juga yang rawat jalan. Sebab itu, dia menyatakan, ada dua bantuan kesehatan bagi mereka.

“Bantuan yang pertama adalah bantuan jaminan kesehatan. Jadi BPJS-nya ditanggung oleh pemerintah preminya untuk mereka bisa berobat terus untuk yang selamat di rumah sakit secara gratis. Yang kedua adalah bantuan transportasi kesehatan Jadi kalau mereka tinggalnya agak jauh dari fasilitas kesehatan, dibantu juga oleh pemerintah transportasinya,” tegas Budi dalam konferensi pers pemberian santunan dan bantuan korban GGPAP di Jakarta, Rabu (10/1).

Budi pun berharap, dengan adanya bantuan yang diberikan oleh pemerintah itu dapat lebih meringankan hidup para korban dan keluarga. Menurut Budi, bagi pemerintah, satu orang anak saja yang menjadi korban meninggal dunia sudah terlampau banyak. Sebab itu, dia tak ingin ada korban-korban meninggal dunia lainnya.

“Buat pemerintah satu aja ada anak-anak kita yang wafat itu kan generasi muda yang akan membawa Indonesia ke depan. Jadi buat kami titip ke teman-teman kesehatan satu anak meninggal itu sudah terlalu banyak. Kalau bisa jangan sampai ada anak-anak yang meninggal,” harap Budi. (wan)