Amplop dan Sembako Bertebaran Jelang Pemilu 2024, Kampanye KPK "Hajar Serangan Fajar" Piye Kabare?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 9 Februari 2024 21:17 WIB
Amplo berisi uang diberikan kepada calon pemilih dalam pemilihan umum (Pemilu) 2024 (Foto: Dok MI)
Amplo berisi uang diberikan kepada calon pemilih dalam pemilihan umum (Pemilu) 2024 (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Menjelang pemilihan umum (pemilu) 2024, amplop-amplop bertebaran. Meski si calon pemilih telah diminta agar tidak menukar pilihan mereka dengan amplop, sebab pemilu adalah proses untuk menjaga keberlangsungan NKRI dan mempertaruhkan masa depan bangsa.

Namun, ada istilah "siapa yang tak mau duit?" Amplop boleh-boleh saja diterima selagi tidak meminta-minta atau dalam pakasaan. Saat pemilu dihelat pada tanggal 14 Februari 2024 mendatang apakah akan terikat dengan fenomena itu?

Tidak bisa menutup mata soal bagi-bagi amplop, karena pada biasanya 5 tahun sekali dalam pemilihan praktet itu tetap saja bergulir. Ini juga sebagaia bagian daripada jurus para calon-calon.

Tetapi, menurut Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun, aksi itu jelas-jelas pelanggaran. "Orang mengatakan, kan mereka belum calon, ini Bawaslu saya kira mikirnya pendek," kata Refly Harun, saat menjadi narasumber dalam sebuah diskusi virtual, Senin (3/7/2023) lalu.

"Mengapa begitu? Walaupun mereka bukan calon, tapi yang membagikan itu kan kader partai politik," tambahnya.

Refly berharap Pemilu 2024 dapat berjalan jujur dan adil. Meski dia sendiri tidak begitu yakin bakal terwujud. "Paling tidak, ada upaya-upaya untuk membuat Pemilu lebih jujur dan adil," pungkasnya.

Terkait bagi-bagi amplop ini, salah seorang warga di salah satu daerah sebut saja namanya Ramat (30), kepada Monitorindonesia.com pada beberapa waktu lalu mengaku menerima amplo dari partai politik yang mendukung salah satu capres-cawapres.

"Ada uang ada suara," kata Rahmat sembari bercanda.

Lima hari menjelang pencoblosan, salah seorang warga juga mengaku bahwa dirinya diminta pendukung salah satu caleg mengumpulkan suara disekitar kelurganya dengan dijanjikan dibagikan amplop dengan jumlah uang tertentu. 

"Kalau bisa 20 orang," kata Aldo, bukan nama sebenarnya kepada Monitorindonesia.com, Kamis (8/2).

Adapun bagi-bagi amplop ini acapkali disebut sebagai "serangan fajar". “Serangan Fajar” merupakan istilah populer dari politik uang. Berdasarkan Pasal 515 dan Pasal 523 ayat 1-3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Pasal 187 A ayat 1 dan 2 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada bahwa bentuk serangan fajar tidak terbatas pada uang.

Namun, juga dalam bentuk lain seperti paket sembako, voucher pulsa, voucher bensin, atau bentuk fasilitas lainnya yang dapat dikonversi dengan nilai uang di luar ketentuan bahan kampanye yang diperbolehkan sesuai dengan Pasal 30 ayat 2 dan 6 Peraturan KPU (PKPU) Nomor 8 Tahun 2018.

Aturan mengenai bahan kampanye yang diperbolehkan oleh KPU dan bukan termasuk dalam serangan fajar dijelaskan secara rinci pada Pasal 30 ayat 2 yang berbunyi: Bahan kampanye dalam bentuk selebaran/flyer, brosur/leaflet, pamphlet, poster, stiker, pakaian, penutup kepala, alat minum/makan, kalender, kartu nama, pin, dan atau alat tulis.

Adapun pada ayat 6 yang berbunyi: Setiap bahan kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila dikonversikan dalam bentuk uang nilainya paling tinggi Rp 60.000.

Padahal, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI sebelumnya telah mengkampanyekan Hajar Serangan Fajar. Hal ini bahkan mendapat dukungan dari berbagai pihak antara lain KPU dan Bawaslu sebagai lembaga penyelenggara pemilu, Kementerian Komunikasi dan Informatika, partai politik yang telah berkomitmen untuk menjalankan program Politik Cerdas Berintegritas, LSM, media massa, dan CSO.

Kampanye ini diharapkan akan menjadi “bola salju” yang terus bergulir di masyarakat menjelang pemilu sehingga masyarakat semakin sadar tentang bahaya serangan fajar dan mampu menghindari serta menolak segala bentuk serangan fajar. 

Diharapkan proses pemilu dapat berjalan tanpa kecurangan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu terus ditingkatkan sehingga sesuai dengan nilai-nilai kejujuran dan keadilan. 

Para calon dari berbagai parpol peserta pemilu diharapkan mampu menahan diri dari dorongan untuk menang dengan cara curang yaitu melalui serangan fajar yang dapat memicu terjadinya korupsi.

Terindikasi Melanggar Hukum

Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) menyatakan bahwa APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) tahun anggaran 2024 disahkan DPR pada 21 September 2023, dan diundangkan pada 16 Oktober 2023 (UU No 19 Tahun 2023 tentang APBN 2024).

Pada hari yang sama, tangga 16 Oktober 2023, Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materi batas usia minimum capres dan cawapres, menjadi paling rendah 40 tahun, atau pernah / sedang menjabat kepala daerah. Putusan Mahkamah Konstitusi ini meloloskan Gibran menjadi calon wakil presiden, mendampingi Prabowo Subianto.

Pasangan calon Prabowo-Gibran kemudian mendaftar ke KPU pada hari terakhir pendaftaran, 25/10/23, dan lulus tes kesehatan pada 26/10/23.

Beberapa waktu kemudian, dalam rapat kabinet 6 November 2023, Presiden Joko Widodo tiba-tiba memutuskan untuk memperpanjang pemberian bantuan sosial sampai Juni 2024, yang seharusnya sudah berakhir pada November 2023.

"Keputusan bantuan sosial secara dadakan ini terindikasi kuat melanggar UU Keuangan Negara dan UU APBN 2024. Karena, anggaran bantuan sosial dadakan Joko Widodo ini tidak ada di dalam APBN 2024, yang diundangkan  pada 16/10/23. Memberikan bantuan sosial tanpa ada mata anggaran melanggar UU APBN," kata Anthony saat dihubungi Monitorindonesia.com, Jum'at (9/2) malam.

Menteri Keuangan Sri Mulyani, kata dia, mencoba ‘memanipulasi’ anggaran, dengan cara mengambil anggaran bantuan sosial dadakan ini dari anggaran kementerian dan lembaga lainnya. "Caranya, dengan melakukan pemblokiran anggaran atau automatic adjustment senilai Rp50,2 triliun."

Sri Mulyani mengaku, ‘manipulasi’ anggaran bantuan sosial dadakan ini sesuai arahan, atau atas instruksi, Presiden Joko Widodo.

Cara realokasi anggaran dari kementerian dan lembaga menjadi bantuan sosial seperti dilakukan Sri Mulyani terindikasi melanggar Pasal 15 ayat (5) UU Keuangan Negara (No 17/2003), yang berbunyi: “APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja”.

"UU APBN yang sudah disetujui DPR tidak boleh diubah pihak manapun, termasuk Presiden Joko Widodo, melalui pemblokiran automatic adjustment. APBN hanya dapat diubah melalui mekanisme Perubahan APBN yang disetujui DPR," tegas Anthony.

Arahan atau instruksi Presiden Joko Widodo untuk memblokir anggaran kementerian dan lembaga juga melanggar UU anti KKN, dan penyalahgunaan kekuasaan presiden.

"Sulit dibantah, keputusan Joko Widodo memperpanjang bantuan sosial secara mendadak ini bermotif politik, dan nepotisme, untuk mendongkrak elektabilitas dan memenangi Gibran. Bantuan sosial dadakan tersebut sama sekali bukan untuk kepentingan masyarakat," ungkapnya.

Karena itu, Joko Widodo terindikasi kuat juga melanggar Pasal 5 ayat (4) UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN: “setiap penyelenggara negara wajib untuk tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme”.

Menurut definisi Pasal 1 angka 5, Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

"Pemberian bantuan sosial dadakan Joko Widodo termasuk perbuatan melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya, anaknya, dan kroninya," bebernya.

Presiden Joko Widodo juga diduga keras melakukan penyalahgunaan wewenang kekuasaannya, dengan memaksakan memberi bantuan sosial sampai Juni 2024 tanpa ada mata anggaran di dalam APBN 2024.

Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi berbunyi: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

Terakhir, pemberian bantuan sosial oleh Presiden dan Menteri lainnya, tanpa melibatkan kementerian sosial, melanggar tugas pokok kementerian, dan termasuk penyalahgunaan kekuasaan.

Karena, pemberian bantuan sosial dadakan tersebut dapat dipastikan tidak tepat sasaran, karena dibagikan di tengah kerumunan massa, tanpa ada data penerima bantuan. Karena data tersebut berada di Kementerian Sosial.

"Melihat dugaan pelanggaran yang serius ini, DPR harus panggil Sri Mulyani untuk menyelidiki dari mana anggaran bantuan sosial dadakan arahan dari Presiden Joko Widodo tersebut diperoleh, berapa besar, siapa penyelenggara negara yang menyalurkan bantuan sosial, dan siapa penerima bantuan sosial tersebut," tegasnya panjang lebar.

"Rakyat tidak bisa menerima uang publik milik rakyat, APBN, digunakan seenaknya seperti uang pribadi mereka," imbuhnya. (wan)