Korupsi BTS Seret Menpora Dito dan Nistra Yohan, Kejagung Harus Terbuka!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 5 Maret 2024 10:59 WIB
Konferensi pers usai Kejagung memeriksa  Dito Ariotedjo terkait kasus korupsi BTS 4G, di kantor Kejagung, Jakarta Selatan, Senin (3/7/2023)
Konferensi pers usai Kejagung memeriksa Dito Ariotedjo terkait kasus korupsi BTS 4G, di kantor Kejagung, Jakarta Selatan, Senin (3/7/2023)

Jakarta, MI - Kejaksaan Agung (Kejagung) hingga kini masih memburu alat bukti terkait dugaan korupsi proyek pembangunan BTS 4G Bakti Kominfo ke Menpora RI Dito Ariotedjo dan Komisi I DPR melalui Nistra Yohan, staf ahli dari anggota Komisi I DPR. Menpora Dito diduga menerima Rp 27 miliar, sedangkan Nistra Yohan Rp 70 miliar.

Jumlah tersebut sama dengan uang yang diduga mengalir ke Dito dalam proyek tersebut. Namun, dalam serangkaian persidangan BTS sebelumnya Dito menegaskan tidak mengetahui uang tersebut. 

Dalam serangkaian sidang yang sama, terungkap bahwa Irwan Hermawan menyebutkan bahwa sosok yang mengembalikan uang tersebut adalah Suryo.

Terkait status Nistra Yohan, Kejaksaan Agung tidak kompak. Pasalnya Jaksa penuntut umum menyebut Nistra Yohan telah masuk dalam daftar pencarian orang (DPO), sementara Kejaksaan Agung menyatakan masih mengkajinya. Ketidakkompakan pernyataan dua pihak yang berasal dari satu institusi tersebut dianggap sebagai upaya membatasi kasus ini pada pihak tertentu saja.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgt-Ibz3VaRb4xTZDTPp9qZnxjemsPrKkwCLA8gQ93AUhhXsXOAq4mnw-fttwguG90PwtLAQNvXcFWrBJ0UFSUpXkw0nE3E_BRJaIycMS8SKH5mjpPzJcbcP10RJT0X823ev20985fFU2sBHS6yKIYzb1AowU_Vzc3wNkwGjkB1pWJTrBfOoSLo7ziR6MY/s16000/Profil%20dan%20Biodata%20Nistra%20Yohan%20Staf%20Ahli%20DPR%20RI%20Umur,%20Asal,%20Pendidikan,%20Pasangan%20Hingga%20Perjalanan%20Karir.png

Pada persidangan kasus pembangunan menara BTS di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 8 Januari 2024, majelis hakim bertanya kepada Irwan Hermawan yang duduk sebagai saksi terhadap terdakwa Direktur PT Multimedia Berdikari Sejahtera, Windi Purnama mengenai pihak yang menerima uang dari Irwan Hermawan dalam kasus pembangunan menara BTS.

"Jadi info terakhir Yang Mulia, sudah dilakukan pemanggilan beberapa kali untuk perkara yang lain, Sadikin, (Achsanul) Qosasi kemarin. Orangnya DPO. Belum ketemu," ujar jaksa penuntut umum dalam persidangan terdakwa Direktur Utama Basis Investments, Muhammad Yusrizki Muliawan dan Windy Purnama pada Senin (8/1/2024).

Sementara soal Menpora Dito, meski namanya muncul dalam dakwaan jaksa terhadap terdakwa Windi Purnama di persidangan, namun hal itu dinilai masih belum cukup untuk meningkatkan statusnya menjadi tersangka.

“Satu alat bukti belum cukup untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka. Harus ada dua alat bukti,” kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Kuntadi kepada wartawan, Rabu (21/2/2024).

Ihwal penetapan tersangka baru, menjadi kewenangan penuh yang dimiliki tim penyidik. Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 183 KUHP,  yakni dengan menggali semua alat bukti yang terungkap dalam proses penyidikan dan persidangan. 

Kendati, penyidikan kasus korupsi BTS 4G BAKTI Kominfo terhadap Menpora dan Nistra Yohan masih menggantung hingga kini. Padahal, pengusutan terhadap pihak-pihak lain yang diduga turut bertanggung jawab sudah lebih maju.

https://monitorindonesia.com/storage/news/image/842832b4-87e9-41d5-b671-58f3e1b0f78d.jpg
Menpora Dito Ariotedjo saat menjadi saksi kasus dugaan korupsi BTS Kominfo (Foto: MI/An)

Bahkan Kejagung sempat berjanji akan kembali memanggil Dito ke depan hakim terkait dana Rp27 miliar yang diterimanya dari terdakwa Irwan Hermawan. Namun, langkah tersebut tergantung dengan dinamika persidangan.

"Ya, nanti [akan dipanggil]," ujar Kuntadi, saat ditemui di Kompleks Kejagung, Jakarta, pada Senin (19/2).

Sementara itu, Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI) menganggap Kejagung telah menyetop penyidikan terhadap Nistra. Karenanya, mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). 

Pun pengamat tindak pidana pencucian uang (TPPU), Yenti Garnasih, mengingatkan Kejagung agar jangan impoten dalam mengusut kasus ini. Baginya, bagaimanapun situasinya, hukum harus ditegakkan. "Harus tuntaskan, hukum harus tetap ditegakkan. Jangan sampai 'lumpuh' hanya gara-gara dinamika politik!" katanya kepada waratwan, Senin (19/2).

https://monitorindonesia.com/2023/04/Yenti-Garnasih.jpeg
Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Garnasih

Mestinya, tegas dia, pemanggilan terhadap Dito jangan cuma mengikuti dinamika persidangan. "Harus diperiksa lebih lanjut, adakah atau memang tidak adakah aliran Rp27 M [kepada Dito]? Sangat perlu demi kejelasan segala sesuatunya," jelasnya.

Sementara itu, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar berpandangan, Dito mestinya sudah menjadi tersangka sejak dahulu. Alasannya, pengembalian uang Rp27 miliar kepada jaksa melalui kuasa hukum Irwan, Maqdir Ismail, menjadi bukti kuatnya. "Khusus untuk Menpora, seharusnya sejak awal sudah ditetapkan sebagai tersangka," tegasnya, Senin (19/2).

https://monitorindonesia.com/storage/news/image/77e70f3a-e466-40e5-9d20-bbc34d8b1208.jpg
Pakar Hukum Pidana, Abdul Fickar Hadjar (Foto: Dok MI)

Berlarut-larutnya proses penetapan tersangka terhadap Dito justru akan mencoreng citra kejaksaan. Sebab, bukti yang kuat tersebut tidak bisa ditindaklanjuti. "Karena itu, saya mengimbau agar KPK mengambil alih kasus tersebut dari kejaksaan sesuai dengan UU Tipikor (Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi)," tandasnya.

Di lain pihak, dalam pengusutan kasus ini diharapkan tidak ada yang dapat "diloloskan" begitu saja.

"Kita tidak ingin mendengar bahwa dalam kasus ini ada yang dibebaskan gitu ya. Bahkan mereka yang kemudian mungkin lari ke luar negeri sehingga mangkir dari penegak hukum, saya kira Kejaksaan Agung harus terbuka termasuk dengan pemangilan orang orang yang diduga terlibat," kata peneliti bidang legislasi Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus saat ditemui Monitorindonesia.com, di Kantor Formappi, Jakarta Timur, Senin (4/3).

https://monitorindonesia.com/storage/news/image/d2bec9ed-6524-4db7-9c21-c23f5625f893.jpg
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus (Foto: MI/Aswan)

"Saya kira itu alat kontrol yang baik memastikan kasus BTS ini bukan hanya kasus politis yang selama ini karena betul-betul karena ada yang korupsi," timpalnya.

Seperti diketahui, Kejaksaan Agung mengungkap kasus korupsi BTS 4G Kominfo pada 2023. Setidaknya ada 16 orang yang dijerat Kejaksaan Agung dalam kasus ini. Termasuk eks Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny Gerard Plate. 

Ia terbukti melakukan korupsi proyek pembangunan menara BTS 4G dan infrastruktur pendukung 1,2,3,4, dan 5 BAKTI Kominfo tahun 2020-2022. Politisi Partai Nasdem itu divonis hukuman penjara 15 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.

Adapun dalam proyek infrastruktur digital ini, Bakti Kominfo menargetkan pembangunan BTS di 7.904 desa dengan total anggaran Rp 28,3 triliun. Ada tiga konsorsium yang memenangkan proyek tersebut. Pertama, konsorsium Fiberhome, Telkominfra, Multi Data Trans (MTD) yang memegang proyek di wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku.

Kedua, konsorsium Lintas Arta, Huawei, Surya Energi Indontama (SEI) yang memegang proyek di wilayah Papua dan Papua Barat. Ketiga, konsorsium Infrastruktur Bisnis Sejahtera (IBS) dan Zhongxing Telecommunication Equipment (ZTE) yang memegang proyek BTS di wilayah Papua.

Namun, dalam perjalanannya, proyek BTS 4G tidak berjalan sesuai rencana. Kejaksaan Agung mengendus bau rasuah dalam proyek tersebut. Menurut Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), korupsi pengadaan BTS 4G dan infrastruktur pendukung paket 1, 2, 3, 4, dan 5 Bakti Kominfo tahun 2020-2022  merugikan negara hingga Rp 8 triliun.

"Berdasaran semua yang kami lakukan dan berdasarkan bukti yang kami peroleh, kami menyimpulkan terdapat kerugian keuangan negara sebesar Rp 8.032.084.133.795," kata Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh  di Kejaksaan Agung pada Senin, 15 Mei 2023.

Kerugian tersebut, kata Yusuf, berasal dari biaya kegiatan penyusunan kajian pendukung, mark up harga, dan pembayaran BTS yang belum terbangun. (wan)