BPK Jangan Diam Saja! FITRA Desak Audit Cabut Hidupkan IUP Menteri Bahlil

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 6 Maret 2024 13:47 WIB
Badiul Hadi, Manager Riset di Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) (Foto: Dok MI)
Badiul Hadi, Manager Riset di Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Menteri Investasi/BKPM Bahlil Lahadalia disebut-sebut menyalahgunaan wewenang dalam mencabut dan mereaktivasi izin usaha pertambangan (IUP) serta hak guna usaha (HGU) lahan sawit di beberapa daerah. 

Bahlil diduga meminta sejumlah imbalan uang atau patok fee hingga miliaran rupiah dalam menjalankan tugasnya sebagai pimpinan satgas tersebut. Dia juga dikabarkan meminta porsi saham dari perusahaan-perusahaan yang dicabut dan dipulihkan lagi IUP atau HGU-nya. 

Hal itu berdasarkan Satuan Tugas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi yang diketuai oleh Bahlil itu sendiri. Satgas ini mengacu pada Peraturan Presiden No. 70/2023 tentang Pengalokasian Lahan bagi Penataan Investasi.

Sepanjang 2022, pemerintah melalui Kementerian Investasi/BKPM setidaknya telah mencabut 2.078 IUP, yang terdiri dari 1.776 IUP perusahaan tambang mineral  dan 302 IUP perusahaan tambang batu bara. Secara total, luas wilayah lahan yang dicabut izinnya itu mencapai sekitar 3,2 juta hektare (ha) yang tersebar di seluruh Indonesia.

Musabab pencabutan IUP tersebut  dikarenakan para pemegang IUP itu tidak pernah menyampaikan rencana kerjanya, padahal izin sudah bertahun-tahun diberikan.

Terkait dugaan patok fee itu, Badiul Hadi, Manager Riset di Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menegaskan bahwa sudah seharusnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI melakukan audit cabut hidupkan IUP tersebut.

Pasalnya, kata dia, IUP itu sudah memikiki mekanisme dan prosedur yang sudah ditetapkan yang semestinya menjadi rujukan yang mana kewenangan sudah dibagi soal perizinan-perizinan itu hingga pada level provinsi.

"Artinya kalau ada upaya dugaan permainan yang itu dibaca oleh teman-teman komisi VII DPR RI saya kira wajar saja kemudian didorong untuk dilakukan upaya penanganan secara hukum. Yang paling penting itukan mekanisme audit BPK itu saya kira bisa didorong untuk melakukan investigasi kepada Kementerian Investasi terkait dengan isu permainan IUP tambang itu," kata Baidul Hadi saat berbincang dengan Monitorindonesia.com, Rabu (6/3).

"Sehingga kemudian ini menjadi komperhensif kajiannya. Artinya DPR juga bisa selain ke KPK juga meminta ke BPK untuk melakukan investigasi misalnya dugaan yang dilakukan oleh Menteri Investasi Bahlil Lahadalia. Karena potensi itu sangat besar terjadi," tambahnya.

Adapun cikal bakal Satgas tersebut adalah Keputusan Presiden No. 11/2021 tentang Satuan Tugas Percepatan Investasi. Bahwa dalam Keppres tersebut tertulis satgas yang dimaksud diketuai oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM, dengan wakil ketua Wakil I Jaksa Agung, Wakil Ketua II Wakil Kepala Polri, serta Sekretaris Sdri. Dini Purwono.

Namun, Baidul Hadi tidak melihat adanya dasar hukum berupa Peraturan Presiden (Perpres) atau Undang-Undang yang mengatur peralihan pencabutan IUP dari Menteri ESDM ke Menteri Investasi/Kepala BKPM.

Dia pun menggarisbawahi terdapat Peraturan Presiden Nomor 70/2023 tentang Pengalokasian Lahan bagi Penataan Investasi sebagai landasan hukum pembentukan Satgas, tetapi perpres itu belum mengatur perpindahan kewenangan.

"Perpres itukan teknis kan ya, meskipun ada kekuatan hukumnya tetapikan harus mengacu kepada mekanisme aturan diatasnya. Seberapa besar inpek yang dihasilkan dari Perpres itu ya saya kira juga harus perlu juga dilihat. Pepres itu juga perlu dilihat kembali seperti apa kewenangan yang  diatur," bebernya. 

"Karena kalau hanya berdasarkan Perpres kan bisa jadi mundur juga pemerintahan gitu ya kan. Artinya kasus yang terjadi atau isu yang terjadi saat ini yang melibatkan Kementerian Investasi, maka dengan posisi ini menunjukan ada problem di Pepres itu," imbuhnya.

Sebelumnya, Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto menyatakan pihaknya akan segera memanggil Bahlil Lahadalia.

“Kami sudah dengar berbagai dugaan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Ada yang meminta kalau mau menghidupkan kembali Izin Usaha Pertambangan (IUP) serta Hak Guna Usaha (HGU) lahan sawit harus bayar sekian, dan ada yang minta saham katanya. Ya Kami akan segera panggil Pak Bahlil," katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (5/3).

Meski demikian, dia belum bisa memastikan waktu pemanggilan Bahlil, karena masih dalam proses. Selain itu, DPR RI baru memasuki masa persidangan.

Sugeng menilai bahwa pembentukan Satgas tersebut pun mencederai tata kelola pemerintahan. Alasannya, tupoksi Satgas tersebut dalam mengevaluasi IUP milik perusahaan melampaui tugas milik tiga kementerian. "Kami sudah sejak awal tidak setuju yang namanya satgas," ujarnya.

Sementara  Anggota DPR RI Mulyanto mendesak KPK memeriksa Bahlil Lahadalia. Hal ini dikarenakan, kapasitasnya sebagai Kepala Satuan Tugas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi.

Bahlil diduga melakukan penyalagunaan wewenang dalam mencabut dan mengaktifkan kembali Izin Usaha Pertambangan (IUP). Serta Hak Guna Usaha (HGU) lahan sawit di beberapa daerah.

Dalam mencabut dan memberikan kembali IUP dan HGU, dikabarkan Bahlil meminta imbalan uang miliaran rupiah. Atau penyertaan saham di masing-masing perusahaan, terkait info tersebut Mulyanto minta KPK segera memeriksa Bahlil.

"Keberadaan satgas penataan penggunaan lahan dan penataan investasi juga tumpang tindih. Harusnya tugas ini menjadi domain Kementerian ESDM karena UU dan Kepres terkait usaha pertambangan bukan Kementerian Investasi," ujar Mulyanto.

Mulyanto menilai keberadaan satgas yang dipimpin Bahlil sarat kepentingan politik. Apalagi pembentukannya jelang kampanye Pilpres 2024.

"Terlepas dari urusan politik saya melihat keberadaan satgas ini akan merusak ekosistem pertambangan nasional. Pemerintah terkesan semena-mena dalam memberikan wewenang ke lembaga tertentu,” ungkapnya.

Urusan tambang, menurut Mulyanto, harusnya jadi wewenang Kementerian ESDM tapi kini diambil alih oleh Kementerian Investasi. “Padahal terkait pengelolaan tambang tidak melulu bisa dilihat dari sudut pandang investasi tapi juga terkait lingkungan hidup," kata Mulyanto.

Terkait desakan itu, KPK menyatakan bakal mempelajarinya. “KPK mencermati informasi yang disampaikan masyarakat,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, Selasa (5/3).

KPK juga akan meminta klarifikasi dari sejumlah pihak dan bakal berkoordinasi dengan kementerian Investasi. “KPK akan mempelajari informasi tersebut dan melakukan klarifikasi kepada para pihak yang dilaporkan mengetahui atau terlibat dalam proses perizinan tambang nikel,” ungkap Alex.

Monitorindonesia.com telah mengonfirmasi soal cabut IUP itu kepada Bahlil, namun belum merespons. Tetapi, melalui Staf Khusus (Statsus)-nya, Tina Talisa, Bahlil mengadukan salah satu media nasional ke Dewan Pers atas laporan dugaan penyalahgunaan wewenang terhadap izin tambang itu.

“Pak Menteri Bahlil keberatan karena sebagian informasi yang disampaikan ke publik mengarah kepada tudingan dan fitnah, juga sarat dengan informasi yang tidak terverifikasi".

"Kami meyakini ada unsur pelanggaran Kode Etik Jurnalistik, di antaranya terkait kewajiban wartawan untuk selalu menguji informasi dan tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi,” kata Tina dalam siaran pers tersebut. (wan)