HARUN MASIKU DPO Sejak Tahun 2020, Apa Susahnya Ditangkap?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 29 Mei 2024 20:20 WIB
Harun Masiku DPO sejak tahun 2020 (Foto: Dok MI/Aswan)
Harun Masiku DPO sejak tahun 2020 (Foto: Dok MI/Aswan)

Jakarta, MI - Harun Masiku masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) sejak 29 Januari 2020. KPK menginformasikan National Central Bureau (NCB) Interpol Indonesia telah menerbitkan red notice atas nama Harun Masiku pada Jumat, 30 Juli 2023.

Teranyar, lembaga antirasuah itu memanggil pengacara bernama Simon Petrus pada hari ini, Rabu (29/5/2024). "Bertempat di Gedung Merah Putih KPK, tim penyidik menjadwalkan pemanggilan dan pemeriksaan saksi," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri.

Belum dirinci Ali soal pemanggilan Simon. Namun, dia diduga mengetahui kasus suap pergantian antarwaktu (PAW) yang menjerat bekas calon legislatif (caleg) PDIP yang masih buron tersebut.

Sebelumnya, KPK berjanji akan terus mencari buronannya itu selama belum ada catatan kematian. Pernyataan ini disampaikan Wakil Ketua KPK Johanis Tanak.

"Secara administratif menurut tentang ketentuan Undang-Undang Kependudukan bilamana seseorang meninggal dunia ada dicatat, dilaporkan kepada bagian kependudukan. Iya, kan,” kata Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak kepada wartawan seperti dikutip di YouTube KPK RI, Kamis (19/1/2024).

"Kalau bagian kependudukan secara formil tidak ada berarti belum mati. Masih hidup dan akan tetap dicari, itu menurut undang-undang kependudukan," imbuhnya.

Hingga saat ini, batang hidung Harun Masiku tak kunjung nongol di KPK. Pegiat anti-korupsi dan mantan penyidik KPK menilai lembaga anti-rasuah itu tidak serius memburu buronan Harun Masiku. Sebab, laporan Polri menyebut politikus PDI Perjuangan itu selama ini 'bersembunyi' di dalam negeri dan tidak mengganti kewarganegaraan maupun identitas.

Menanggapi hal itu, Ali Fikri, memastikan pihaknya serius memburu para buronan untuk selanjutnya melakukan proses penegakan hukum hingga ke persidangan.

Dia juga berjanji bakal menindaklanjuti informasi yang diungkap Kadivhubinter Polri, Krishna Murti.

Kepala Divisi Hubungan Internasional (Divhubinter) Polri, Inspektur Jenderal Krisna Murti, menyatakan Harun Masiku yang menjadi buronan KPK masih berada di Indonesia - merujuk pada data lintas negara yang ditemukan.

Meski sempat pergi ke Singapura pada 16 Januari 2020 atau dua pekan setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, tapi dia disebut kembali ke Indonesia keesokan harinya.

"Setelah dia keluar [negeri], dia balik lagi ke dalam [negeri]. Jadi dia sebenarnya bersembunyi di dalam [negeri], tidak seperti rumor," ujar Krisna Murti di Gedung KPK.

"Sementara Red Notice baru keluar 30 Juni 2021," sambungnya.

Red Notice adalah permintaan kepada penegak hukum di seluruh dunia untuk mencari dan menangkap sementara orang yang terlibat tindakan hukum, atau sedang menunggu ekstradisi, atau penyerahan.

Krisna mengatakan pada waktu Harun Masiku diketahui pergi ke Singapura, Divhubinter Polri belum mendapat permintaan untuk memohon kepada Interpol agar menerbitkan Red Notice atas nama Harun Masiku.

"Artinya 1,5 tahun setelah itu [Harun ke Singapura], jadi pada saat sebelum itu kami belum mendapatkan informasi."

Dalam konferensi pers di gedung Divhumas Polri, Krisna juga mengatakan politikus PDI Perjuangan tersebut belum berganti kewarganegaraan atau identitas setelah menjadi buronan Interpol.

Sebelumnya sempat beredar berbagai kabar bahwa Harun Masiku berada di luar negeri. Ada yang menyebut dia menjadi marbut (pengurus masjid) di Malaysia. Bahkan, bekas calon anggota legislatif dari Dapil Sumatera Selatan I ini dirumorkan bersembunyi di Kamboja.

Krisna Murti mengatakan, Polri tidak akan menghentikan pencarian Harun Masiku meski pria itu sudah 3,5 tahun menjadi buronan.

Kata dia, segala informasi mengenai data perlintasan tersangka KPK ini sudah dilaporkan ke pimpinan KPK.

"Jadi rumor-rumor yang beredar seperti itu, ya kami sampaikan. Tapi kami tidak menghentikan pencarian terhadap yang bersangkutan di luar negeri."

Apa susahnya menangkap buronan KPK?
Mantan penyidik KPK, Yudi Purnomo, mengatakan informasi yang disampaikan Polri soal keberadaan Harun Masiku membuktikan lembaga anti-rasuah tersebut tidak serius menangkap buronannya.

Sepanjang pengalamannya memburu koruptor, banyak cara yang bisa ditempuh untuk mendeteksi keberadaan para buronan. Mulai dari membuntuti keluarga mereka, menyadap pembicaraan, memblokir rekening pihak-pihak yang terkait dengan buronan, hingga memutus aliran keuangan jika diduga ketahuan membiayai hidup buronan itu selama tinggal di luar negeri.

Pengalaman menangkap lima buronan KPK juga menunjukkan para buronan paling lama hilang kontak dengan keluarganya selama setahun.

Lebih dari itu mereka bakal menghubungi keluarganya. "Bagaimanapun dia punya keluarga, pasti kangen sama anak dan istri. Jadi 3,5 tahun itu waktu yang lama. Nggak mungkin dia tidak menghubungi keluarganya. Jadi titik psikologisnya satu tahun," katanya dikutip pada Rabu (29/5/2024).

Melihat latar belakang Harun Masiku, Yudi menilai ada pihak-pihak tertentu yang 'melindungi' politikus PDI Perjuangan tersebut. Dan kemungkinan besar orang tersebut membiayai keperluan sehari-hari Harun Masiku selama pelarian.

Sebab sebagian buronan yang ditangkap hidup mewah di negara pelarian. "Dengan latar pendidikan lulusan luar negeri, berasal dari keluarga kelas menengah, dan ingin menjadi caleg artinya dia ingin tempat tidurnya nyaman dan itu butuh banyak uang. Sebutlah sebulan Rp30 juta, tiga tahun berarti hampir satu miliar."

Kasus apa yang menjerat Harun Masiku?
Harun Masiku merupakan politikus PDI Perjuangan. Dia terseret kasus suap terhadap Komisioner KPU, Wahyu Setiawan.

Perkara bermula ketika caleg PDIP Dapil Sumatera Selatan I Nazarudin Kiemas meninggal dunia. KPU memutuskan perolehan suara Nazaruddin, yang merupakan suara mayoritas di dapil tersebut, dialihkan ke caleg PDIP lainnya, Riezky Aprilia. Akan tetapi, Rapat Pleno PDIP menginginkan agar Harun Masiku yang dipilih menggantikan Nazarudin.

PDIP sempat mengajukan fatwa ke Mahkamah Agung. Mereka bahkan menyurati KPU agar melantik Harun. Namun KPU berkukuh dengan keputusannya melantik Riezky. Suap yang diberikan kepada Wahyu diduga untuk mengubah keputusan KPU tersebut.

Wahyu Setiawan diduga meminta duit Rp900 juta untuk mengegolkan Harun Masiku, melalui mekanisme pergantian antarwaktu di KPU. Wahyu juga diduga menerima Rp200 juta dan Rp400 juta dalam bentuk dollar Singapura dari Saeful Bahri dan Donny Tri Istiqomah, melalui orang kepercayaannya, Agustiani Tio Fridelina Sitorus. Saeful dan Donny adalah kader PDIP.

KPK kemudian melakukan operasi tangkap tangan atau OTT pada 8 Januari 2020.Ada delapan orang yang ditangkap dalam operasi senyap itu. Empat orang kemudian ditetapkan sebagai tersangka, termasuk Harun Masiku dan Wahyu Setiawan.

Dua tersangka lainnya yaitu eks Anggota Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu Agustiani Tio Fridelina, dan kader PDIP Saeful Bahri.