Pemprov DKI Berhasil Bangun Kantor Megah Kejati DKI Jakarta dengan Dana Hibah

Rekha Anstarida
Rekha Anstarida
Diperbarui 11 Agustus 2023 16:48 WIB
Jakarta, MI - Usai dikritisi banyak pihak soal tata kelola keuangan Pemprov DKI Jakarta yang gemar menggelontorkan triliunan dana hibah kelintas instansi, kali ini Pemprov DKI menorehkan satu karya agung dipersembahkan untuk Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Hanya dalam tempo singkat tiga tahun anggaran itu pun dimasa sulit dan krisis keuangan, kesehatan dan keselamatan dunia akibat dihantam wabah Covid-19. Namun, tekad Pemprov DKI Jakarta tak bisa dihalangi oleh siapapun. Kini tekad itu telah membuahkan hasil. Kantor megah di Kawasan Strategis Rasuna Said setinggi 16 lantai tersebut berikut meubelairnya yang terbilang mewah pula, sudah bisa digunakan Korps Adyaksa mulai Senin (21/8) mendatang. Guna memasuki gedung mewah hasil hibah dari Pemprov DKI tersebut, pihak Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta mengeluarkan surat pemberitahuan terkait itu. Yakni pada hari Jumat (18/8), pihak Kejati DKI Jakarta tidak menerima surat-surat ataupun berkas perkara dan selanjutnya ditegaskan hari Senin (21/8), operasional Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta kembali ke alamat HR Rasuna Said No. 2 Jakarta Selatan. [caption id="attachment_559547" align="aligncenter" width="300"] Surat Pengumuman tentang pemberitahuan pindah alamat oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.[/caption]   Demikian isi surat pemberitahuan yang dikeluarkan pihak Kejati DKI Jakarta, yang diterima Monitorindonesia.com, yang ditandatangani oleh Kabag TU Kejati DKI Jakarta, Afni Calolina tertanggal hari ini Jumat (11/8). Sebagaimana diketahui, bahwa Kantor kejaksaan Tinggi DKI Jakarta ini dibangun dengan biaya seluruhnya dari dana hibah Pemprov DKI Jakarta mulai tahun anggaran 2021 hingga 2023. Pengerjaan Pisiknya dikerjakan oleh BUMN yakni PT Amarta Karya dengan anggaran cukup fantastis senila kurang lebih Rp 212 miliar, dan pengadaan Meubelairnya sebesar Rp 56.964.329.372.00 oleh PT Binacitra Teknologi Indonesia. Dalam perjalanan pembangunan kantor Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta tersebut ditengah krisis ekonomi, krisis kesehatan akibat hantaman wabah covid 19, hingga pemerintah merecofusing hampir seluruh anggaran pembangunan keanggaran penanggulangan bencana dan penanganan kesehatan global. Salah satunya yang bersuara keras yakni Prof Jhon Pieris. Berikut ini kutipannya. Prof John Pieris Soal Hibah Rp 270 M Kejati Harus Dibiayai APBN Tidak Boleh Hibah dari Pemda Menyikapi perkembangan yang menarik perhatian publik soal dana hibah Jumbo, yang diberikan pemprov DKI Jakarta membangun gedung Kejati DKI Jakarta berikut Meubelairnya yang mencapai Rp 270 Milyar. Berbagai kalangan turut bersuara. Khususnya Komisi A DPRD DKI Jakarta. Terkini, Monitor Indonesia mewawancarai Profesor Hukum Tata Negara. Profil pakar hukum ini dimintai pendapatnya karena publik merasa risih dengan praktek Ketata negaraan yang berulangkali dinilai menyimpang. Dimana pembagian kekuasaan yang jelas dibagi antar Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif yang menjadi azas untuk mewujudkan pemerintahan yang berwibawa. Profesor John Pieris yang Guru Besar Hukum Tata Negara yang diwawancarai Monitor Indonesia, Senin malam (27/3). Berikut wawancara lengkapnya. Bagaimana Profesor pendapatnya atas kebijakan Pemprov DKI yang memberikan hibah Jumbo kepihak Kejati DKI Jakarta? Prof John Pieris menyatakan, Kejaksaan itu tidak bisa diotonomkan, termasuk instansi lain seperti Hukum Luar Negeri dan Pertahanan. Tapi kalau pemprov DKI merasa Kejati berada diwilayah DKI mau menghibahkan anggaran itu, tidak salah juga. Sepanjang uang itu dimanfaatkan untuk pembangunan itu, tentunya lebih besar dari rancangan semula yang dibiayai oleh APBN. Tetapi kalau ada dugaan bahwa itu harus dibiayai pusat/Kejagung, tetapi ada hibah dari Pemprov DKI, itu harus dibuka dipublik, harus dibuka katanya menegaskan. Berarti ada double anggaran, sehingga anggaran dua kali lipat. Nah yang dua kali lipat itu larinya kemana harus dibuka. Ataukah bantuan dari pusat itu pemanfaatannya harus dibuka kepublik. Karena publik berhak untuk mengetahui mengenai Good Governance. Sehingga DPRD DKI minta semacam pertanggungjawaban keuangan secara publik untuk mengatasi masalah ini. Prof juga menegaskan implikasi dari pemberian hibah yang jor joran kepenegak hukum ini. Ewuh pakewuh itu pasti muncullah. Bisa saja pihak kejaksaan sebagai penyidik terhadap masalah korupsi yang dilakukan pemprov DKI, dia bisa bermain mata dengan Pemda untuk menutupi kecurangan kecurangan atau ketidak terbukaan anggaran yang harus dipertanggungjawabkan secara institusional kepada publik. "Nah udah, kalau sudah seperti ini ada maksud tertentu. Pasti ada sesuatu udang dibalik batu. Mudah mudahan saya salah ya", katanya. Misalnya ya, saya tidak menuduh. Misalnya ada kasus korupsi di Pemprov DKI, bisa Kejati merasa berhutang budi ke Pemprov DKI dampak psikologis dari pembangunan gedung tersebut. Lantas ini tidak masuk, atau tidak diteruskan keranah pidana yang menjadi tanggungjawab kejaksaan sebagai penyidik karena ada beban moril yang tinggi dari pihak kejaksaan akibat pemberian dana atau hibah dari Pemprov DKI tersebut. Jadi dia harus ditertibkan sebetulnya. "Sebenarnya kalau instansi vertikal itu biayanya harus APBN, tidak boleh APBD. Gak boleh dalam hibah sekalipun sebetulnya gak boleh. Tapi tergantung dari Kajati DKI kan begitu mau terima hibah itu gitulah" pungkasnya. Kinerja Kejati DKI Minim Prestasi Terkait prestasi atau terobosan hukum oleh Kejati DKI Jakarta tiga tahun terakhir ini, bagaimana pendapat Prof?? Saya kira adem adem aja itu itu ya. Kayaknya tidak ada kasus kasus korupsi yang mencolok dibuka dipublik. Dan publik tau sampai seberapa jauh Pemprov DKI itu secara profesional dapat mempertanggungjawabkan seluruh anggaran APBD itu secara baik dan benar. Kita tidak tau kasus kasus yang dibuka di Kejati DKI Jakarta jika dibandingkan dengan kejaksaan ditempat lainnya. Selanjutnya Profesor Ahli Hukum Tata Negara Guru Besar UKI ini menegaskan mengingat ada sesuatu dibalik pemberian dana hibah jumbo ini harus ditelusuri oleh wartawan. Dan KPK harus masuk ya biar semua terang benderang. Apakah Professor milihat dari sisi penawaran kontraktor yang dimenangkan 99,59% tersebut indikator KKN? Indikator tersebut bukti kuat dugaan KKN diproyek hibah ini dari fakta penawaran yang 99,59% dari HPS. "Jadi indikator ini sudah sangat jelas ya. Saya kira orang orang gak usahlah, orang orang yang elit ini berkelit. Semua juga bisa memaknai fakta itu", katanya mengakhiri. Sebelumnya diberitakan Wakil Komis A DPRD DKI Jakarta Inggard Josua mengkritisi tajam kasus ini. Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta terheran-heran dengan kucuran anggaran Rp 212 miliar oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk pembangunan Gedung Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta. Pasalnya, dana jumbo Rp 212 miliar itu rupanya bersumber dari pagu anggaran di APBD. Padahal, anggaran untuk pembangunan Gedung Kejati DKI Jakarta ini seharusnya bersumber dari APBN. “Seharusnya Kejati salurannya vertikal atau APBN, bukan horisontal atau APBD. Semoga anggaran tersebut tidak terjadi duplikasi,” kata Wakil Ketua Komisi A DPRD DKI Jakarta, Inggard Joshua kepada Monitor Indonesia, Senin (27/3). Pemprov DKI Jakarta kini bangga atas dana hibah yang diperuntukkan bagi institusi penegak hukum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta itu. Anggarannya pun dialokasikan ditengah pandemi covid 19 mulai mencekam seluruh bumi tahun 2020 untuk membangun kantor megah tersebut. Politikus Gerindra itu menegaskan, seharusnya Pemprov DKI lebih memprioritaskan kebutuhan warga Jakarta dan tidak hanya sekedar mengambil hati pejabat lintas sektoral yang jelas-jelas bukan tanggungjawabnya. “Kecuali asa kepentingan mendesak, Itupun harus dibahas Rincian Anggaran Biaya (RAB) nya di DPRD. Masih banyak sarana dan prasarana pembangunan di kelurahan-kelurahan yang banyak sekali belum di biayai,” ungkapnya. Sebelumnya, Pemprov DKI Jakarta telah memasukkan anggaran jumbo itu untuk pembangunan kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta. Sebagai pemenang tendernya adalah PT Amarta Karya (Persero) yang memenangkan tender ini senilai Rp 208.788.827.912,21 dari Pagu Rp 255.653.411.643. Dengan jangka waktu pelaksanaan 394 hari kalender. Kontraktor BUMN ini didampingi konsultan pengawas dengan anggaran Rp 4 miliaran. Sehingga anggaran untuk kantor megah ini menyedot APBD DKI Rp 212 miliar lebih. Belum puas dengan membangun gedung megah, Pemprov DKI Jakarta juga masih mengalokasikan meubelairnya Rp 56,7 miliar tahun ini dan sedang berjalan. Direktur Utama PT Amarta Karya (AMKA) Nikolas Agung SR sebelumnya menyatakan bahwa pembangunan gedung utama Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta ini diharapkan menjadi landmark dari wajah penegakan hukum di Indonesia khususnya DKI Jakarta. “Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta merupakan cerminan penegakan hukum di mata masyarakat Indonesia khususnya DKI Jakarta, sehingga sudah barang tentu dengan penguatan sarana dan prasarana yang lebih representatif melalui pembangunan gedung kantor ini yang akan kami bangun ini,” katanya Sabtu (2/9/2021) saat penandatanganan kontrak proyek tersebut. Hingga berita ini diterbitkan, belum ada keterangan dari Kepala Dinas Cipta Karya Tata Ruang dan Pertanahan Prov DKI Jakarta, Heru Hermawanto sebagai pengguna anggaran. [SP]